Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 55 - 54. Telepon Salah Sambung

Chapter 55 - 54. Telepon Salah Sambung

Matahari sudah turun sepenuhnya, membuat malam yang gelap menyambut kehidupan makhluk hidup di waktu tersebut. Dan malam yang dipenuhi kegelapan juga manjadikan kamar yang tidak diterangi oleh pencahayaan apapun bertambah hitam.

Sunyi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam ruangan gelap itu. Semua orang akan menyangka bahwa tidak ada seorang pun di dalam sana, namun nyatanya seorang gadis terdampar menyedihkan di atas lantai yang dingin.

Matanya terpejam, tetapi kesadarannya sama sekali tidak hilang. Gina hanya sedang menahan segala efek obat penenang. Hari ini dan kemarin dia terlalu banyak mengonsumsi obat yang seharusnya dikontrol langsung oleh psikiater.

Gadis tersebut langsung membuka mata ketika merasa handphone yang juga berada di lantai tepat di sampingnya bergetar. Seakan mendapat sebuah cahaya di tengah kegelapan, wajahnya sedikit bersinar dengan senyum yang terukir.

"Mama ... " bisik Gina serak.

Gina yakin sang Mama menelfon balik panggilannya beberapa menit lalu, hatinya terasa lega. Segala pemikiran negatif yang baru saja bersarang, sedikit menguap. 

Benar bukan perkiraannya tadi? Mamanya mungkin sibuk, tapi bukan berarti mengabaikan anak-anaknya sendiri. Menggunakan tangan bergetar dan pengelihatan yang kabur, Gina segera memencet tombol hijau yang tertera, senyumnya semakin mengembang.

Tidak sabar mendengar suara lembut yang ia rindukan.

"Halo Ma--"

"Bu-bunda ... Maaf." Sapaan yang baru saja ingin ia lontarkan tiba-tiba terhenti kala suara berat milik seorang laki-laki yang menyambut telfonnya.

Terkejut? Tentu saja.

Kening Gina mengernyit samar, apa karena obat penenang yang berlebihan pendengarannya juga terganggu? Apa telfon yang barusan ia angkat merupakan telfon dari kedua kakaknya? Tapi sejak kapan Gian dan Gino memanggil dirinya bunda?

Gina menggeleng, tidak. Ia jelas tahu benar bagaimana suara milik kedua kakak kembarnya, suara berat dan tegas milik Gian serta suara lembut nan merdu milik Gino. Bukan suara berat yang terdengar sedikit serak khas seorang laki-laki seperti ini.

"Aku salah, nggak seharusnya tadi aku ngebentak bunda." Gina yang tadinya ingin memutus sambungan telfon, segera menghentikan niatnya. Hatinya sedikit terenyuh begitu mendengar nada tulus dan rasa bersalah dari laki-laki di seberang telfon.

Laki-laki di seberang teleponnya ini sedang meminta maaf kepada ibunya.

"Maaf bun, aku kelepasan. S-sekarang aku nggak papa kalau bunda mau selamanya jadi wanita karir, bener juga kata bunda kalau aku bukan anak kecil lagi." Laki-laki tersebut menjeda kalimatnya dengan kekehan yang Gina tahu merupakan sebuah tawa kesedihan.

"Anak umur tujuh belas tahun nggak sepantesnya minta kasih sayang kayak anak kecil lagi, kan?" Reflek Gina menggeleng saat beberapa kalimat tersebut terucap dari seberang telfon. 

Walau ia yakin anak laki-laki yang kini ia ketahui sebaya dengan dirinya tersebut tidak bisa melihat Gina menggeleng, tetap saja Gina tidak setuju atas apa yang telah terucap dari nada sendu yang terdengar amat jelas.

Selama beberapa menit lamanya, tidak ada suara apapun yang terdengar dari pihak Gina maupun dari pihak sang penelepon. Hening menguasi suasana malam hari itu.

"Bunda kenapa nggak ngejawab? Aku tau bunda marah banget gara-gara aku kelepasan, aku juga terlalu egois tadi. Maafin aku."

Gina masih setia mendengarkan apa yang anak laki-laki di seberangnya ucapkan, entah karena apa tapi Gina tahu sekali bahwa remaja itu sama seperti dirinya. 

Meski baru beberapa kalimat saja yang terlontar dari mulut anak laki-laki itu, Gina dengan mudahnya dapat menyimpulkan semuanya. 

Remaja laki-laki di seberang telepon baru saja bertengkar dengan ibunya. Dan satu-satunya alasan adalah karena 'karir seorang wanita'. 

Memang tidak salah sebenarnya jika seorang wanita yang sudah memiliki anak bekerja, tetapi kebanyakan dari mereka terkadang lupa bagaimana perasaan anak-anaknya yang ditinggal itu.

Kesepian, hilang arah, dan kekurangan kasih sayang.

Seperti dirinya, kedua kakak kembarnya, dan juga remaja laki-laki yang kini sedang terhubung lewat telepon.

Gina kembali memejamkan matanya erat, ia mencengkram dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada. Sakit, sungguh rasa rindu yang tidak tertuntaskan adalah perasaan yang amat menyakitkan. Terutama rindu kepada seseorang yang sudah membesarkannya sejak kecil.

"Kalau sekiranya bunda bahagia sama pekerjaan bunda dan milih buat terus kerja walau perekonomian ayah udah stabil, silahkan. Aku nggak bakal egois lagi." Kali ini intonasi remaja tersebut terdengar yakin seakan tidak ada keraguan sedikitpun.

Namun, di pendengaran Gina laki-laki itu terdengar jelas sedang berbohong. Berbohong kepada dirinya sendiri dan berbohong kepada ibunya untuk kebahagiaan wanita tersebut. Sebuah seringai tipis terpatri apik di wajah cantik Gina yang pucat.

Hatinya sangat miris setelah menyadari bahwa,

Sebenarnya dirinya juga seperti itu.

Seperti anak laki-laki yang sedang berusaha meminta maaf kepada ibunya walau ternyata salah sambung dan tidak diketahui oleh sang empu.

"Emm .. walau bunda nggak mau ngebales semua ucapan aku di telfon sekarang ini, nggak papa. Aku tau bunda pasti sakit hati banget sama aku, kan? Sekali lagi maaf, aku memang salah." 

Sorot mata Gina meredup, hatinya seakan menerima sinyal dan terhubung langsung oleh anak laki-laki di seberang sana. Rasa sakit yang sama, rasa rindu yang sama, dan kepura-puraan yang menyedihkan. 

"Aku juga tau kalau bunda kerja buat kepentingan aku juga. Jadi, untuk alasan apa aku harus ngelarang bunda buat kerja, iya, kan?" ujar anak laki-laki tersebut. Tanpa sepengetahuan siapapun, ternyata dirinya sedang mengepalkan tangannya kuat.

"Soal kata-kata egois aku beberapa jam yang lalu, aku mohon lupain aja ya bun. Anggap aja itu semua nggak pernah aku ucapin ke bunda dan cuma percakapan kita di telfon ini aja yang bunda denger."

Gina merasa sedikit bersalah sekarang, pasti remaja itu sudah mengumpulkan banyak niat untuk menelfon sang ibu dan meminta maaf kepadanya secara tulus. Tapi, dengan teganya Gina tidak memberitahu bahwa telpon yang dirinya angkat ini ternyata bukan terhubung oleh ibunya.

Tanpa sadar, kesadaran Gina akan dunia yang sebenarnya perlahan kembali. Setelah sebelumnya gadis itu seperti seseorang tanpa jiwa dan nyaris gila. Namun, berkat telfon salah sambung dari anak laki-laki yang sampai saat ini belum diketahui namanya,

Gina seperti tersadar dan merasa hatinya kembali hidup dan sedikit demi sedikit terhubung dengan remaja di seberang sana. Kebetulan juga permasalahan mereka sama, tentang seorang wanita yang melahirkan dan membesarkan mereka.

Terhalangnya kasih sayang dan perhatian lebih dikarenakan sebuah 'kepentingan', yaitu karir.

"A-aku bahagia kalau bunda bahagia, lakuin semua yang bunda suka asal jangan sampe nyakitin diri bunda sendiri. Aku bakal nerima semua itu, bunda jangan terlalu banyak pikiran, ya? Jangan lupa makan sama kalau ada apa-apa langsung kabarin aku atau ayah."

Dalam posisi baringnya, Gina teresentak. Kata-kata itu, seperti ucapan yang dirinya dan kedua kakak kembarnya katakan sehari sebelum sang Mama pergi ke New York. Gina kembali tersenyum lemah, ah ternyata benar.

Anak laki-laki ini sama seperti dirinya.

"Kalau gitu, aku putusin sambungan telfonnya ya? bunda baik-baik di sana." Sesaat sebelum remaja laki-laki di seberang sana memencet tombol merah untuk mematikan telefon, sebuah suara yang tidak dikenalnya sukses menghentikan pergerakan dirinya.

"Gua paham apa yang lu rasain ... kebohongan. Kita berdua sebenernya lagi ngebohongin diri sendiri, kan?"