"K-ka--" Laki-laki itu menggeleng, meralat ucapannya sekaligus terkejut mendengar suara seorang gadis yang bukan ibunya. "Lu siapa? Dimana bunda?"
"Nggak tau," jawab Gina lemah. Ia kembali memejamkan mata saat efek obat penenang menimbulkan rasa pusing dan kepalanya mulai memberat disertai rasa kantuk.
"Terus lu siapa?!" Nada remaja laki-laki di seberang telfon mulai menaik, rasa panik karena yang ia telfon bukanlah bundanya membuat jantungnya berdebar karena gelisah.
"Lu nggak perlu tau siapa gua." Gina membalas dengan dingin. Ia mengangkat sebelah tangan guna memijat kepalanya yang terasa pening. Ditambah lagi dirinya mulai merasakan sakit di bagian perut menjalar ke seluruh tubuh.
Anak laki-laki tersebut mulai cemas, fikiran negatif tentang sang bunda ataupun sambungan telfon yang entah bagaimana bisa tersasar membuatnya tidak bisa menganggap Gina sebagai seseorang yang baik.
"Dimana bunda gua! Kenapa hp bunda bisa ada di tangan lu, ha? Jawab!!" teriak remaja laki-laki tersebut keras.
"Udah gua bilang nggak tau!! Lu nelfon ke hp gua, bukan ke hp bunda lu."
"Gua nggak perca--" Sebelum remaja yang belum diketahui namanya itu meyangkal ucapan Gina, ucapannya terputus saat suara serak yang terdengar dipaksakan meneriaki dirinya.
"Heh bodoh!! Lu bisa mikir nggak sih kalau dari tadi lu salah sambung? Sebego-begonya gua, nggak pernah tuh gua ngomong tanpa mikir dulu kayak lu. Makanya diem dan deng--" Tiba-tiba saja telinga Gina berdenging.
Ia meringis, ketika sebuah batu besar seperti memukul kepalanya berkali-kali tanpa ampun. Gina spontan menjambak rambut saat rasa sakit itu tak kunjung hilang. Apakah ini efek samping jika dirinya mengonsumsi obat penenang terlalu banyak?
Sedangkan di sisi lain, tepatnya di tempat anak laki-laki itu berada ia jelas mendengar rintihan sakit dari Gina. Awalnya karena sudah tahu bahwa yang ditelfonnya bukanlah sang bunda, ia ingin segera memutus sambungan.
Akan tetapi, hati nuraninya tergerak merasa tidak tega dan khawatir saat mendengar ucapan gadis itu berhenti begitu saja disusul oleh rintihan sakit yang memilukan.
"Hei, lu nggak papa?" tanya remaja tersebut cemas.
"Hiks ... Papa, sakit." Gina terus saja menjambak rambutnya kuat, berharap dengan kesakitan yang timbul akibat jambakan dapat membuat rasa sakit di kepalanya berkurang.
"Ah, mana yang sakit? Sini coba liat." Dikarenakan rasa panik ditambah sepertinya benar apa yang Gina bicarakan dirinya bodoh, ucapan itu reflek saja terlontar dari mulutnya.
Tanpa bisa memproses bahwa mereka berdua hanya terhubung lewat sebuah benda pipih untuk berkomunikasi.
Remaja laki-laki di seberang sana mengerjapkan mata saat menyadari hal bodoh yang entah sudah ia lakukan berapa kali hari ini. Ia baru saja sadar bahwa gadis yang tengah kesakitan itu sangat jauh dari jangkauannya dan bahkan tidak tahu dimana.
"Oke-oke, tenang. Coba sekarang tarik nafas, terus keluarin pelan-pelan. Ikutin kata-kata gua." Remaja laki-laki sebaya Gina itu memandu.
Dikarenakan posisi Gina yang tidak berdaya dan hanya ada satu-satunya laki-laki itu yang bisa ia dengar, Gina segera menuruti apa yang remaja itu ucapkan.
"Tarik nafas ... " Gina menarik nafas dalam-dalam, memasukan beberapa oksigen lebih ke dalam paru-parunya. "Buang." Gadis itu menurut, kemudian membuangnya.
Terus saja seperti itu hingga ringisan sakit serta cengkraman di rambutnya perlahan terlepas. Rasa sakit di kepalanya jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Menyadari hal tersebut, remaja laki-laki yang sedari tadi ikut panik lalu dengan sukarela membantu Gina untuk mengendalikan rasa sakitnya ikut merasakan kelegaan.
"Udah mendingan?" tanyanya lembut. Walau suara berat sedikit seraknya itu cukup mengerikan, namun karena nada lembut yang masuk ke dalam telinga Gina membuat bibir gadis itu melengkung sedikit.
"Udah, makasih."
Helaan nafas lega dapat Gina dengar dari laki-laki tersebut. "Ah, syukurlah."
Setelah itu hening.
Gina sendiri merasa ada sedikit keanehan dengan dirinya, seharusnya jika dikarenakan dirinya memiliki gangguan mental tentang orang baru, ia akan takut dan segera menutup telfon. Tapi, apa ini? Bahkan dirinya sangat merasa nyaman dengan remaja laki-laki di seberangnya.
Gina mengedipkan matanya beberapa kali, mungkin karena laki-laki itu sudah membantunya meredakan rasa sakit dan juga Gina sangat kagum akan keberanian remaja itu untuk meminta maaf langsung atas kesalahan yang telah ia perbuat kepada ibunya.
Atau, kemungkinan besar memang gangguan mental Gina tentang 'orang baru' perlahan mulai sembuh dan hilang. Hanya saja ada lagi gangguan mental yang belum ia ketahui hingga bisa menimbulkan serangan panik yang sama parahnya seperti awal dirinya kehilangan sang Papa.
Salah satu dari remaja berbeda jenis kelamin yang sedang melaksanakan sambungan telfon itu tidak ada sedikitpun niatan untuk mengakhirinya.
Mereka juga tidak mengerti kenapa dengan keheningan seperti itu dengan komunikasi jarak jauh yang bahkan dengan orang tidak kenal bisa sesantai ini.
"Maaf, tadi gua udah ngedenger semua yang lu omongin." Akhirnya Gina memulai percakapan dan memecahkan keheningan.
Remaja laki-laki yang juga tengah berbaring di atas kasur miliknya hanya menggumam tidak jelas, ya mau bagaimana lagi. Semua sudah terlanjur dan gadis di seberang telfonnya itu tahu semua.
"Gua paham semua perasaan lu," ujar Gina pelan. Posisinya kini berbaring menyamping dengan kedua tangan memegang perutnya yang sakit, tenggorokannya pun terasa perih karena kering dan dipaksa untuk berbicara.
Remaja laki-laki itu terkekeh, terdengar seperti kekehan meremehkan ke arah Gina. "Lu ngomong seolah-olah lu udah ngerasain rasanya ketika ibu lu lebih milih pekerjaan daripada anak kandungnya sendiri."
Mendengar itu, Gina balik terkekeh sinis. "Kalau nyatanya kayak gitu, gua harus apa?" Dengan suara kecil, Gina kembali berkata, "Bahkan kayaknya jauh lebih parah daripada lu."
Remaja laki-laki tersebut hanya diam, ia merasa sedikit terkejut atas apa yang telah Gina katakan. Oleh sebab itu, ia memilih mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh gadis yang baru saja dikenalnya atau mungkin, gadis yang tidak sengaja terhubung dengan panggilannya.
"Mama gua, bunda lu, memang sosok yang harus kita utamain. Entah soal kebahagiaan mereka, atau soal kebutuhan mereka melebihi diri kita sendiri," jelas Gina lirih. Ia tidak bisa berbicara dengan normal, tubuhnya semakin melemah hanya karena dipaksa untuk berbicara.
"Karena memang seharusnya kayak gitu, bukan? Semua anak yang berbakti sama orang tuanya tanpa sadar dan dari dalam hati mereka sendiri mengutamakan sosok orang tua melebihi dirinya sendiri."
Di seberang sana, laki-laki yang kini menumpukan sebelah tangannya di atas mata menyambung ucapan Gina, mempertegas sesuatu yang berasal dari hatinya sendiri dan berdasarkan fakta.
"Ya, sampe rela ngebohongin diri sendiri, padahal kita tau kalau apa yang kita ucapin sebenernya nggak sesuai sama isi hati yang paling dalam." Helaan nafas keluar dari mulut Gina.
Ia tahu remaja sebaya di seberang telepon itu masih mendengarkan dan menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya.
"Bilangnya nggak papa, tapi sebenernya hatinya nolak. Bilangnya bahagia kalau ayah sama ibu bahagia, tapi sebenernya kita butuh timbal balik yang sesuai."
"Anak yang berbakti dan orang tua yang memberikan kasih sayang melimpah," ujar Gina memberikan contoh. Gadis itu menarik nafas dalam sebelum menyambung lagi apa yang ingin ia sampaikan.
"Bukan cuma anak yang berkorban demi keputusan egois dari orang tua."