Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 40 - 39. Kepingan Memori

Chapter 40 - 39. Kepingan Memori

Gina merogoh kantung celana miliknya.

Mencoba mengambil apa yang Dokter Hani berikan sebelum ia pergi ke taman. Dengan gelisah serta menahan rasa sakit yang terus menyerang, Gina mulai panik saat apa yang dicarinya tidak ada.

Obat penenang.

Hanya itu yang bisa menyelamatkan Gina saat ini. Setidaknya memberikan sedikit kekuatan agar bisa bangkit dan segera menjauh dari taman dan kedua manusia lainnya.

Semakin lama nafasnya mulai tersendat, kepingan memori yang berputar di kepalanya membuat Gina semakin tidak bisa mengendalikan diri. Ia kembali mencengkram kuat gelang pemberian sang Papa.

"Nak ... kamu nggak papa?" Pertanyaan serta tepukan di pundaknya membuat Gina semakin membeku. Tubuhnya tegang saat suara serak khas seorang wanita paruh baya mengisi pendengarannya.

Ia dengan reflek menangkis kasar tangan ringkih yang tadi bertengger di pundaknya. Mata Gina memerah, entah karena menangis atau kemarahan yang bergejolak menjadi satu.

Nenek dari anak perempuan tadi terkejut mendapat respon yang sangat kasar dari gadis muda di depannya. Ia mengusap sebelah tangan yang tadi ditepis kasar oleh Gina.

"Pergi!" teriak Gina lantang. Suaranya terdengar sangat serak sarat akan kemarahan dan ketakutan. 

Entah kekuatan dari mana, Gina dengan kencang mendorong Nenek tua tadi hingga terjungkal ke belakang, diiringi suara anak perempuan yang berteriak khawatir melihat sang nenek terjatuh menyakitkan.

Dengan kondisi yang amat buruk, Gina berusaha berdiri. Kakinya dengan gontai berlari secepat yang ia bisa bermaksud untuk mengambil obat penenang yang tertinggal di mobil.

Matanya mulai berkunang-kunang, nafasnya semakin tersendat-sendat. Sampai akhirnya Gina tersungkur. Tangan serta kepalanya terlihat terluka karena sentuhan langsung dari tanah.

"Papa ... " Lirihan itu keluar begitu saja dari mulut Gina saat kepingan memori yang kelam tidak bisa ia kendalikan lagi. Sepersekian detik kemudian, tubuhnya mulai bergetar takut. Semua yang dilihatnya terlihat sangat menakutkan.

Gina berhalusinasi. Seolah di sekelilingnya yang sepi itu, terdapat banyak orang yang terus mentertawakan dirinya. Mencacinya dan menghianya. Menanggapnya tidak berguna dan terus menyakitinya dengan kata-kata menyakitkan.

Ia hampir tidak bisa bertahan, kesadaran Gina perlahan terkikis. 

Sampai sebuah memori menyelusup masuk di balik semua memori menyakitkan di pikirannya. Tubuhnya seakan direngkuh kuat nan nyaman oleh seseorang. Siluet seorang anak laki-laki berada di depannya sembari merentangkan tangan.

Usapan lembut di kepalanya serta isak tangis seorang anak laki-laki terdengar jelas di samping telinganya.

"Gina, bangun. Kakak sama Kak Gian udah ada di sini sekarang."

"Jangan, jangan sakitin Gina lagi Gian mohon. Gina nggak salah apa-apa, jangan siksa Gina lagi, Gina cuman belum bisa nerima kenyataan kalau Papa ... udah nggak ada."

Setelah ucapan dari kedua anak laki-laki tersebut berdengung dengan sangat jelas. Rengkuhan yang tadi terasa hanya oleh satu orang saja, kini bertambah. Ada dua buah rengkuhan hangat sarat akan perlindungan di seluruh sisi tubuhnya.

Gina mengerjap, ketika sadar memori apa yang menyelinap ke dalam pikirannya beberapa waktu lalu. Suara-suara itu, rengkuhan yang terasa sangat nyata. Memorinya tujuh tahun lalu.

Gian dan Gino. Mereka lah anak-anak yang tadi hadir menghantam memorinya, menghancurkan seluruh ingatan kelam yang terjadi sesaat setelah sang Papa pergi untuk selamanya.

Perlahan, rasa sesak yang terus menghantamnya beberapa waktu lalu berangsur-angsur hilang. Tubuh Gina tidak bergetar lagi, rasa pening dan mata yang mulai mengabur perlahan kembali seperti semula. Mengurangi rasa sakit yang amat menyiksa.

Dengan tenaga yang tersisa, Gina berdiri. Kaki ringkih yang bergetar itu melangkah cepat menuju ke mana arah yang di tuju. Cengkraman erat di gelang miliknya tidak pernah meengendur untuk memberikan sang empu kekuatan.

"Kakak ... " gumam Gina. Ia jelas ingat bagaimana hancurnya kedua kakak kembarnya itu saat melihat kondisi mengenaskan dirinya. 

Dan Gina tentu tidak ingin melihat Gian dan Gino kembali hancur karena melihatnya seperti ini. Ia sadar akan ikatan yang mengikat mereka bertiga, salah satu dari ketiga anak kembar itu sakit, keduanya juga akan merasakan apa yang kembarannya rasakan.

Gina tidak boleh lemah, dirinya harus lebih kuat lagi agar bisa membuat kedua kakak kembarnya tenang. Ia akan berkali-kali lipat merasa bahagia jika kedua kakak kembarnya bahagia.

Begitupun sebaliknya, Gina akan merasa sakit melebihi sakit yang dirasakan kakak-kakak kembarnya ketika mereka terluka dan merasakan sakit. Itu kenapa Gina ingin yang terbaik untuk Gian dan Gino.

Salah satunya dengan berusaha berdamai dengan masa lalu yang menyebabkan trauma mendalam hingga gangguan mental parah yang menyerangnya.

Oh dan satu lagi, menyingkirkan orang-orang brengsek yang bisa menghancurkan kedua kakak kembarnya di kemudian hari.

"Lu kuat, Gina. Jangan pernah menyerah buat kebahagiaan Kak Gian sama Kak Gino," monolog Gina kepada dirinya sendiri.

Kakak kembarnya itu sudah banyak mengorbankan segalanya agar bisa membuat Gina bertahan. Membuat dirinya perlahan bangkit dari keterpurukan dan titik balik yang amat menyeramkan.

Dan kali ini, sebisa mungkin Gina akan menyingkirkan apapun yang membuat Gian dan Gino terluka. 

Gina berjanji.

Ia berjanji dengan nyawanya sendiri akan melakukan apapun untuk kebahagiaan sang kakak. Apapun itu akan Gina lakukan.

Setelah sampai di samping mobil miliknya Gina segera membuka lalu duduk di jok mobil dengan lemas. Ia sadar sepeuhnya bahwa kali ini tenaganya sangat terkuras. Akan tetapi, gadis cantik itu amat bersyukur ia tidak kehilangan kesadaran.

Kepalanya tidak bisa membayangkan sepanik apa kedua kakak kembarnya beserta Dokter Hani yang ada di rumah jika mengetahui dirinya tidak pulang dan mendapati kabar bahwa seorang Gina kehilangan kesadaran di sebuah taman.

Berkali-kali tarikan serta hembusan nafas kasar Gina keluarkan. Mencoba mengambil kembali kendali dirinya yang belum sepenuhnya ia dapatkan. Begitu nafasnya mulai terasa sedikit teratur, Gina meraih tas kecil yang lupa ia bawa ke taman.

Di tas kecil berwarna putih polos itu, terdapat beberapa pil obat penenang. Gina termenung sebentar melihat apa yang ada di telapak tangannya saat ini.

Hanya satu buah. Ia tidak ingin mengambil lebih banyak dan merusak organ dalamnya. Walau serangan panik beberapa menit lalu dibilang cukup parah. Dalam sekali tegukan air mineral yang selalu ada di dalam mobilnya Gina meminum obat tersebut.

Triiinnggg ... Triiinnnggg ...

Hingga suara dering telfon dari handphonenya membuat Gina berpaling. Memfokuskan pandangannya dan menelisik siapa yang menelfonnya kali ini. Ia tersenyum, ah sepertinya ikatan batin antara anak kembar sudah bereaksi setelah serangan panik tadi.

"Halo?"

"Halo," jawab Gina sebisa mungkin membuat suaranya tidak terdengar memprihatinkan. Tubuhnya masih terasa amat lemas walau serangan panik tersebut telah usai.

"Gina, kamu dimana? Nggak papa kan?" Gadis yang ditanya itu terkekeh, benar apa perkiraannya tadi. Pasti perasaan tidak enak merasuk ke seluruh bagian tubuh Gian dan Gino.

"Kakak kenapa jadi kayak Kak Gian, sih? Gina nggak papa kok, tenang aja." Setelah mendapatkan balasan baik-baik saja dari sebrang sana, Gino menghela nafas lega.

Baru saja dirinya dan Gian merasakan hal tidak enak satu sama lain, seperti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka bertiga. Dan tanpa menunggu apa-apa lagi Gino segera menelfon Gina yang sedang sendirian di luar sana.

"Kok jadi Kak Gian?" protes sebuah suara tegas di sebrang sana membuat Gina tertawa. Ternyata kakak kembarnya yang satu lagi berada di sana bersama dengan Gino.

"Gina." Kali ini panggilan dari suara yang lebih lembut menyambutnya. Gadis cantik yang dipanggil segera menegakan punggungnya saat mendengar nada serius terdengar dari panggilan Gino kepadanya.

"Ya?"

"Kata Ibu, hari ini Suzy nggak sekolah. Dari kemaren sore sampe sekarang dia nggak mau makan sama keluar kamar."