Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 46 - 45. Empati dan Simpati

Chapter 46 - 45. Empati dan Simpati

Pagi hari sekali Gina, gadis yang saat ini sedang menyetir mobil sudah meminta izin untuk pulang. Ia tidak sendiri, ada seorang gadis dengan mata yang terlihat amat bengkak dihiasi kantung mata berada di sampingnya, menatap kosong ke luar jendela.

Suzy, seseorang yang hilang kesadaran karena tidak bisa membendung rasa sakitnya. Terluka amat dalam oleh seorang remaja laki-laki yang masih ia cintai. 

Sesekali Gina melirik ke arah Suzy memastikan keadaaan sahabatnya itu, jujur ia sangat panik sekali ketika nafas Suzy mulai tersendat lalu tidak lama kemudian kehilangan kesadaran.

Sorot mata Gina berubah nanar, sepintas ia seperti mengingat masa lalu, saat itu Papanya baru saja pergi untuk selamanya. Meninggalkan dirinya dan seluruh kehidupan. Tidak lama kemudian, gejala sakit seperti yang Suzy alami menyerang Gina kecil berumur sepuluh tahun.

Tenggelam dalam rasa sedih akan kehilangan seseorang sungguh menyakitkan. Gina tahu itu. Namun, kasus dirinya dengan gadis di samping jelas berbeda. Kehilangan untuk selamanya, dengan kehilangan sebuah status. 

Keterlaluan, entah sudah berapa kali Gina terus merapalkan satu kata itu di otaknya. Tidak habis pikir Suzy bisa menjadi seperti ini hanya karena seorang lelaki yang baru dikenalnya beberapa bulan.

"Nanti sampe rumah makan dulu baru ketemu sama Dokter Hani, ya." Sebuah titah dengan nada yang bisa dibilang sangat lembut Gina tujukan kepada Suzy.

Sang empu yang mendapat sebuah perintah hanya melirik sejenak menggunakan ujung mata, lalu kembali menatap kaca mobil di sampingnya. Tenaganya habis, enggan untuk sekedar meadeni sekalipun.

Gina yang sangat paham keadaan Suzy tidak terlalu memikirkan respon dari sahabatnya tersebut. Ia sangat tahu apa yang diinginkan gadis manis yang kini sedang dirundung kesedihan.

*****

Keempat roda mobil berwarna hitam milik seorang remaja perempuan tiba di sebuah garasi besar. Garasi pribadi milik keluarganya. Sebenarnya Gina pun bingung untuk apa dibuat garasi sebesar ini sedangkan penghuni rumah hanya empat orang.

Dengan Asisten Rumah Tangga, Supir, dan sebagainya tidak termasuk tentunya.

Meskipun kendaraan milik Adhitama sangat banyak dengan harga yang sangat tinggi, tetap saja yang dipakai adalah merek mobil yang sangat umum dipakai orang-orang. Gian, Gino, Gina, maupun sang Mama sama-sama tidak suka terlihat mencolok akan kekayaan mereka.

Kecuali jika keadaan memaksa mereka apalagi Gina untuk menggunakan seluruh kekayaan milik keluarganya.

Gina berhasil memarkirkan mobilnya dengan rapi, setelah kendaraan tersebut berhenti dengan mulusnya, Suzy yang sedang tidak mendapatkan gairah apapun langsung keluar. Berjalan menuju rumah besar sahabatnya untuk segera menemui Dokter Hani.

Sedangkan Gina masih terduduk diam di dalam mobil, sabuk pengamannya pun belum dilepas sama sekali. Gadis cantik itu menghela nafas, tatapannya terlihat semakin kosong. 

"Suzy udah nggak jarang lagi ngeliat gua kena serangan panik, apalagi dia dulu yang nyaksiin gimana hancurnya hidup gua. Tapi, kenapa pas dunia nyentil sedikit hatinya, anak itu hampir aja kena gangguan mental?" Ia terkekeh, merasa tidak menyangka Suzy akan seperti ini.

Gina menggidikan bahu. Sepertinya ia sendiri sudah tahu jawaban apa yang perlu dijawab atas pertanyaan yang baru beberapa detik ia lontarkan.

"Tingkat ketegaran seseorang ngadepin hidup itu beda-beda, hati tiap orang juga nggak ada yang sama. Jadi, yang menurut gua cuman masalah kecil bukan berarti menurut orang lain juga sama. Bisa aja cuman dengan masalah kayak gitu mereka bisa kena gangguan mental, kan?"

Lirih, sangat lirih Gina menggumamkan hal itu sampai-sampai hanya dirinya saja yang mendengar. Menurut Gina, terkadang hanya dengan bermonolog bersama dirinya sendiri, akan membuat mentalnya sedikit lebih baik daripada sebelumnya.

Jadi, tidak heran jika gadis itu sedang sendiri dengan keadaan dirundung banyak masalah, ia akan lebih banyak bermonolog seperti orang gila.

"Lagipula Suzy cuman ngeliat gua hancur, dia sedih pas ngeliat gua kayak gitu. Bukan berarti tau persis apa yang gua rasain." Kepalanya ia sandarkan ke sebalah kacaa mobil, matanya terpejam damai seraya tersenyum.

Jika ada orang lain yang melihatnya pasti akan terpana atas kecantikan seorang Gina. Terlihat damai seperti seorang malaikat, akan tetapi tidak akan ada yang tahu bahwa gadis yang amat cantik itu ternyata menyimpan kepahitan hidup yang amat dalam.

"Sekarang gua lebih dari paham sama pelajaran, kalau empati sama simpati itu seratus persen berbeda."

*****

"Gina cantik, kamu udah pulang?" tanya Dokter Hani girang. Ia berlari menuruni tangga melihat Gina yang berjalan, baru saja memasuki rumah setelah mengunci kembali mobilnya.

Sang empu yang ditanya hanya mengangguk sembari tersenyum, dalam hatinya ia berpikir, kenapa orang-orang selalu menanyakan hal yang seharusnya tidak perlu dijawab? Tinggal melihat saja mereka pasti sudah menemukan jawabannya.

"Tadi Suzy udah masuk ke kamar duluan, kamu kenapa nggak bareng sama Suzy?" Setelah sampai di depan gadis yang ditanyainya, Dokter Hani segera merapikan beberapa rambut Gina yang berantakan.

Mengusap kepala gadis itu, menelisik apa yang terjadi dengan Gina. Bukan merupakan hal sulit baginya untuk mengetahui apa yang dirasakan orang rapuh seperti Gina dan tentu saja Dokter Hani tahu apa yang terjadi.

Binar matanya meredup, memandang Gina yang sedang menunduk membersihkan baju yang terlihat sedikit kotor. Jelas sekali bahwa remaja di depannya enggan untuk menjawab pertanyaan yang ia lontarkan.

Dokter Hani maju selangkah, semakin mendekat ke arah Gina. Dengan lembut dan penuh kehangatan, psikiater perempuan itu memeluk Gina. Menyalurkan ketenangan serta kekuatan kepada Gina agar gadis malang yang menjadi pasiennya ini sedikit merilekskan tubuhnya.

"Kamu itu manusia paling kuat di muka bumi. Seseorang yang terus buat saya kagum setengah mati. Anak bungsu yang punya pemikiran lebih matang daripada dua kakaknya yang lain," bisik Dokter Hani tepat di samping telinga Gina. 

Sedangkan Gina yang mendengar jelas apa yang dibisikkan oleh perempuan yang kini sedang memeluknya hanya memejamkan mata tidak peduli. Dokter Hani selalu mengeluarkan kata-kata itu kepadanya, tetapi Gina sendiri malas untuk memahami perkataannya yang rumit.

Sanga sulit dimengerti. Walau ia tahu bahwa seluruh kata-kata itu memiliki makna yang dalam, tetap saja IQ serta kemalasannya tidak bisa menjangkau lontaran Dokter Hani yang sangat tinggi.

Kedua tangannya terulur, membalas pelukan hangat Dokter Hani. Meskipun tidak senyaman ketika berpelukan dengan orang tuanya, Gina tetap suka pelukan-pelukan yang diberi oleh psikiater tersebut.

Omong-omong soal orang tua, bahu Gina meluruh. Ia merindukan sang Mama. Beberapa hari saja sudah sangat lama baginya. Gina jelas tahu bahwa Mamanya jika sudah sibuk bisa saja melupakan bahwa wanita itu memiliki hal penting selain pekerjaan.

Aliran air mata perlahan merembes keluar membasahi pipinya hingga sampai ke pundak seseorang yang saat ini tengah memeluknya. 

"Papa ... " ujar Gina disertai isakan. Selalu seperti ini, ketika masalah sedang melandanya hanya figur sang Papa yang selalu terlontar serta mengisi seluruh pikirannya. 

Ia bukan hanya merindukan Mamanya, akan tetapi merindukan kehidupan sebelum tujuh tahun yang lalu. Keluarganya yang lengkap, kehidupannya yang sempurna, serta kebahagiaan yang selalu menyertai sungguh hanya menjadi sebuah kenangan yang amat diidamkan sekarang ini.

Di lain sisi, Dokter Hani mengelus punggung seseorang yang saat ini meremas hatinya. Melihat Gina yang menangis dipelukannya sukses membuat psikiater itu memejamkan mata sembari ikut menangis dalam diam.