Setelah mendapat kabar mengejutkan tentang keadaan Suzy yang notabene nya merupakan sahabat sekaligus adiknya sendiri membuat Gina bergegas menancapkan gas. Ia menjalankan mobil dengan pelan, efek obat penenang yang diminumnya membuat mata Gina terasa berat.
Sebenarnya bukanlah hal baik jika menyetir sesudah meminum sebuah obat yang tentunya memiliki efek samping mengantuk. Akan tetapi, Gina tidak peduli akan hal itu. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah apa yang terjadi dengan Suzy.
Ada apa dengan anak itu? Sesedih apapun seseorang seperti Suzy, sahabatnya tersebut tidak akan pernah menambah beban dengan menahan lapar. Kening Gina terus mengerut samar, memikirkan apa yang terjadi dengan Suzy hingga seperti itu.
Sesampainya ia di garasi rumah Suzy, Gina segera keluar dari mobil. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, tubuhnya seketika terhuyung. Gina memegang kepalanya yang terasa pening, ia merutuki kondisi tubuh lemahnya di situasi tidak tepat seperti ini.
"Argh, kenapa sakit banget." Gina terus saja menopang tubuhnya yang berada di belakang mobil. Ia memejamkan mata dengan erat tatkala rasa pening itu semakin menjadi. Mengundang detak jantung yang semakin cepat.
Ah, sepertinya ia kekurangan darah. Tarikan serta hembusan nafas teratur terus Gina lakukan ketika merasa rasa sakit itu berangsur hilang kemudian melanjutkan langkahnya untuk memastikan keadaan Suzy.
"Ibu," panggil Gina begitu melihat sosok yang melahirkan Suzy berdiri sembari memegang nampan berisi makanan.
Saking dekatnya anak-anak kembar keluarga Adhitama dengan Suzy, bahkan orang tua dari Gina maupun Suzy sudah tidak dipanggil Tante dan Om lagi oleh mereka. Predikat anak sendiri sudah melekat di masing-masing orang tua mereka kepada Gian, Gino, Gina, dan Suzy.
"Gina." Sosok yang dipanggil Ibu oleh Gina itu berpaling dari seonggok pintu yang sudah lama ia tatap sendu. Dirinya menatap Gina penuh harap saat gadis itu menghampirinya.
"Ada apa sama Suzy?" tanya Gina khawatir. Tangannya ia angkat untuk mengelus pipi dari seorang ibu di hadapannya. Kedua netra hitam yang penuh kekhawatiran serta lelah yang ditandai oleh kantung mata hitamnya membuat hati Gina sedikit tersayat.
"Kemaren Ibu liat dia nangis pas pulang sekolah sore-sore. Ibu tanya ada apa, tapi dia nggak jawab." Sosok yang tadi berbicara itu memandang tepat ke arah netra hitam milik Gina. Ia bahkan dapat melihat jelas bahwa ada kekosongan di dalam sana.
"Dari situ dia ngunci diri, dipanggil nggak nyahut, disuruh makan juga tetep aja nggak dibuka. Tapi Ibu bisa denger jelas kalau dia lagi nangis," lanjut wanita itu sarat akan kekhawatiran yang kental.
Gina menoleh, ia meraih gagang pintu untuk memastikan bahwa benda itu terkunci. Dan benar saja, Suzy mengunci dirinya sendiri seperti ini. Belasan tahun sudah ia bersahabat dengan Suzy, baru kali ini Gina melihat gadis manis tersebut sampai seperti ini.
"Ibu mundur dulu, biar Gina buka paksa pintunya."
Ibu dari Suzy itu memandang Gina terkejut. "Kamu nggak apa-apa?" Bukan apa-apa, pasalnya dari awal gadis Adhitama itu menghampirinya, ia sudah melihat bibir pucat serta tubuh yang terlihat kurang baik.
Ditambah dengan beberapa luka di tangan juga kepala gadis itu, membuat sang Ibu tidak kalah khawatir melihat keadaan seseorang yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri.
Sedangkan Gina hanya menjawab dengan senyuman. Setelah meyakinkan seseorang yang sudah ia anggap sebagai seorang Ibu itu, Gina segera berancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar Suzy.
Ia tidak peduli dengan kondisi lemahnya serta efek obat yang terasa menggangunya sekarang ini. Yang Gina pikirkan hanyalah kondisi Suzy di dalam sana. Sungguh, Gina sangat tidak ingin orang-orang yang dirinya anggap berharga terluka dan sakit.
Satu kali, gagal.
Dua kali, masih tidak bisa dibuka.
Brrraaakkk ...
Hingga percobaan ketiga, Gina berhasil membuka pintu kamar sahabatnya. Ia memegang lengan sebelah kiri yang bertabrakan langsung dengan pintu kayu jati yang sudah dipastikan amat keras. Sakit juga, pikirnya.
Gina segera masuk ke dalam, sebelum langkah gontainya dengan cepat terhenti ketika mendengar suara pecahan kaca. Gadis itu segera menoleh ke belakang, dan di sana ia mendapati nampan berisi makanan yang tadi dibawa oleh Ibu jatuh begitu saja.
"Ibu!" seru Gina khawatir. Kakinya segera merubah haluan, berniat membantu Ibunya memberesan pecahan kaca serta lauk pauk yang tercecer.
Gina berjongkok berniat untuk membantu membersihkan kaca yang tercecer, akan tetapi sebelum hal tersebut terealisasikan tangannya sudah terlebih dahulu dicekal lembut oleh sosok di depannya. Gina mendongak, menatap sang Ibu yang juga balik menatap dirinya.
"Jangan, ini biar Ibu aja yang beresin. Kamu tolong liat keadaan Suzy." Gina yang mendapatkan perintah seperti itu awalnya ingin memprotes dan balik membantu membersihkan pecahan kaca, namun melihat seseorang itu terlihat memohon kepadanya akhirnnya Gina menyerah lalu mengangguk.
"Pintunya juga tutup lagi dikit, ya? Ibu nggak mau Suzy ngeliat Ibu ngebersihin pecahan beling kayak gini," tutur si Ibu seraya tersenyum. Gina pun hanya menyunggingkan senyuman sebagai jawaban.
Tubuhnya semakin lemas dan tidak berdaya. Seharusnya saat ini ia masih berbaring di tempat tidur untuk memulihkan seluruh tubuhnya yang kembali mendapatkan penyerangan tidak terduga.
Gina bangkit dari posisi jongkoknya dan segera masuk ke kamar Suzy lalu menutupnya. Meskipin tidak bisa ditutup sepenuhnya karena dobrakan tadi, pintu itu masih bisa ditutup. Gina kembali melangkahkan kaki menuju ke arah sesosok manusia yang tengah berbaring.
Dan lagi, tubuhnya terhuyung. Dengan segera gadis itu menopang berat badannya di meja nakas milik Suzy. Gina meringis, rasanya sakit sekali. Rasa yang sama seperti beberapa waktu lalu saat dirinya baru saja keluar dari mobil.
Pandangannya pun berkunang sejenak. Setelah itu normal kembali. Diikuti dengan rasa pening yang sirna begitu saja, menyisakan rasa lemas di seluruh tubuhnya yang semakin menjadi.
"Suzy, lu jangan tidur terus kayak gitu. Setidaknya keluar sebentar buat ngambil nasi terus makan. Jangan bikin orang-orang yang sayang sama lu khawatir."
Gina mendudukan bokongnya di samping kasur Suzy, ia menyentuh pundak bagian samping sahabatnya. Posisi Suzy saat ini menyamping dan terlihat membelakangi Gina.
"Lu ngapain? Keluar, Gina," jawab Suzy setelah beberapa lama ruangan itu terasa hening. Sedangkan Gina yang mendapat respon seperti itu menghela nafas kasar dan sedikit di buat-buat agar lebih keras terdengar oleh gadis remaja di depannya.
"Udah capek-capek kesini, sampe ngedobrak pintu pula. Dan lu dengan entengnya ngusir gua." Gina mencebik kesal, ia sungguh jengkel dengan sikap Suzy sekarang ini.
"Jangan gini, Suzy. Kasian Ibu dari tadi nunggu di luar buat nganterin makan. Lu nggak biasanya kayak gini," tutur Gina pelan.
Matanya semakin lama semakin sayu, sangat berat berusaha mempertahankan agar efek samping obat penenang tidak merasukinya lebih dalam lagi daripada ini.
"Gina ... gua ... " Suara Suzy bergetar ketika mengatakannya. Tentu saja Gina tahu bahwa masalah yang membuat sahabatnya seperti ini bukanlah sesuatu yang kecil.
"Apa? Ceritain aja ke gua, jangan dipendem sendiri," ujar Gina pengertian.
"Buana mutusin gua kemaren." Suara Suzy pecah, tangisan keras keluar begitu saja dari mulutnya yang tidak kuasa menerima kenyataan yang ada.