Sebuah kepala menyelinap begitu saja dari balik pintu. Suzy segera menarik acara mengintipnya begitu manik hitam Gina melirik dirinya. Ia menremas celana tidur kala rasa takut untuk masuk ke kamar miliknya muncul.
Lucu memang, seorang pemilik kamar yang takut masuk ke kamarnya sendiri, sebuah hak miliknya. Sekaran ada kecoa bessar yang siap terbang dan mendarat begitu saja di wajah manisnya.
Sekali lagi, Suzy mengintip. Memunculkan kepalanya sebatas mata, memandang Gina takut takut. "Lu ngapain sih? Lagi belajar ngerampok apa gimana? Sini masuk."
Gina yang merasa terganggu akan sikap Suzy, segera menegur sahabatnya agar masuk ke dalam kamar milik dia sendiri. Di lain sisi, Suzy yang mendapatkan teguran seperti itu dari Gina terlonjak kaget hingga kepala belakangnya menabrak kayu pintu.
Jantungnya sekana dipompa kuat hingga debarannya tidak terkendali. Sebegitu mengerikannya Gina hanya dengan cara menegurnya yang tidak melirik dan fokus ke makanan yang ia lahap.
Mau tidak mau Suzy masuk, dengan kedua tangannya yang bertaut gelisah serta langkah yang terlihat sangar ragu, gadis itu menghampiri kasur miliknya.
"Gua bukan setan yang harus lu takutin, Suz. Nggak usah ngasih gua bahasa tubuh yang nunjukkin kalau lu beneran bakal jadi korban peneroran setan deh," ujar Gina sebal. Lagi, kepalanya tidak menoleh atau sekedar melirik sahabatnya.
Dan tentu saja, bukannya semakin mendekat Suzy malah terpaku di tempat. Ia bersumpah demi apapun Gina sangat menyeramkan jika berbicara dengan posisi menyamping dan tidak melihat lawan bicaranya.
"Lu memang bukan setan, Gin. Lu lebih condong ke asistennya malaikat maut tau gak."
Ia tidak berbohong, tentu saja Suzy tidak berani membohongi dirinya sendiri jika Gina sungguh seperti pencabut nyawa ketika marah.
Suzy sendiri lebih senang melihat bagaimana sikap Gina kepada kedua kakak kembarnya. sikap manja gadis itu memang menggemaskan, marah pun terlihat seperti bocah yang merajuk.
Akan tetapi, jika sedang sangat serius apalagi di depan Suzy yang ia anggap sepert adik dan tanggung jawabnya sendiri, Gina seratus persen berubah menjadi mengerikan. Aura hitam keluar begitu saja membuat siapapun yang ada di dekatnya tercekik secara tak kasat mata.
"Kebanyakan nonton film lu, cepetan duduk samping gua," titah Gina absolut. Kali ini ia menatap Suzy yang terlihat ketakutan hingga sperti orang yang menahan buang air.
Tanpa ingin membuang waktu lagi, Suzy segera mendudukan bokongnya di atas kasur bersama Gina. Ia terus menatap dengan sorot mata takut yang tidak hilang. Gina sendiri segera meletakkan nampan berisi piring dan kawan-kawannya ke atas nakas.
Setelah mengelap sisa makanan di bibirnya, Gina segera menbalikan tubuhnya sembilan puluh derajat ke arah Suzy. Air mukanya terlihat serius, akan apa yang ingin diobrolkannya dengan Suzy saat ini.
"Gua mau nanya," mula Gina menggantungkan perkataannya agar Suzy juga ikut serius mengikuti alur yang dia buat. Sedangkan Suzy hanya bisa menganggukan kepala sembari menelan ludah gugup.
"Iya, sok tanya aja."
Sebelum melontarkan pertanyaan, Gina menutup mata seraha menghembuskan nafas kasar untuk bersiap.
"Lu beneran cinta sama si Buaya?" Gina menyeringai, merasa senang akan peesetan nama mantan kekasih Suzy. Nama yang cocok untuk panggilan yang cocok. Buana dengan Buaya, huh? Briliant.
"Buana, Gin. Bukan Buaya!" ralat Suzy sewot. Tidak terima jika tambatan hatinya disebut-sebut sebagai aligator yang biasanya disematkan sebagai cowok brengsek bagi banyak orang.
"Oh iya lupa, Buaya," ucap Gina sekali lagi dengan sengaja. Melihat raut wajah kesal dari sahabatnya, membuat gadis itu merasa miris. Sudah disakiti sedemikian rupa, tetapi Suzy masih saja kukuh membela sang mantan walau hanya sebuah nama.
Dalam hati, Gina terus saja merapalkan beribu-ribu kata bodoh dan sumpah serapah yang ditujukan kepada Suzy agar meredam barang sedikit rasa marahnya.
"Cepetan jawab." Gina melipat kedua tangannya di dada. Menatap Suzy tegas dengan aura mencekam yang ia keluarkan.
"Hah? Lu nanya apa tadi?" Pelototan langsung diterima oleh Suzy sesaat setelah dirinya melontarkan hal bodoh tersebut.
"Lu beneran jatuh cinta sama si Buaya?" Gina mengulang tanpa berniat melureuskan nama sang empu yang sudah di blacklist oleh seluruh anggota tubuhnya.
"Jawab aja, Suzy," sela Gina begitu melihat Suzy yang ingin kembali memprotes dirinya.
"Gua berani ngelakuin apapun buat ngebuktiin seberapa cinta gua ke Buana. Pacar gua itu pantes nerima kata-kata lebih dari cinta."
Gina mendengus, ia tidak habis pikir dengan pemikiran kekanakan yang dimiliki oleh gadis idiot di depannya. Rasanya semua isi makanan yang baru saja tiba di lambungnya tidak lama, ingin ia muntahkan di wajah Suzy agar sahabatnya itu sadar.
"Mantan." Untuk kesekian kalinya Gina meralat.
"Jangan ngingetin gua soal Buana yang mutusin gua kemaren, Gina. Sakit banget rasanya." Entah untuk keberapa kalinya dalam waktu dekat ini, mata Suzy berkaca-kaca. Otaknya terus menpertontonkan reka ulang detik demi detik kejadian menyakitkan tersebut.
Gigi Gina menggertak kuat, tangannya juga tidak ingin kalah mengepal saking kesalnya. Tiba-tiba saja ucapan dari Ibu merasuk ke dalam kepalanya, Gina berfikir, apakah boeh sekarang saja dirinya menggunakan kesempatan emas itu?
Rasanya Gina ingin sekali membuat pipi sahabatnya memerah hingga sudut bibirnya berdarah, namun dengan cepat ia menggeleng. Mungkin lain kali saja, lagipula Gina merasa bahwa ini bukanlah sesuatu yang lebih besar di kemudian hari.
"Oke, gua tanya sekali lagi. Walau sekarang lu udah disakitin sampe segininya sama Buana, kalau dia minta maaf dan mohon buat balikan, lu masih mau?"
Suzy mengaangguk penuh minat, tentu saja ia mau dan tidak berfikir panjang ia langsung memaafkan cowok yang masih sangat ia cintai itu.
"Walau abis lu balikan lu bakal nerima rasa sakit yang lebih banyak, luka yang lebih dalem, dan lu bakal jatoh berkali-kali, lu masih tetep cinta sama dia?" lanjut Gina. Dalam hatinya ia sangat berharap besar bahwa Suzy akan bilang tidak atas pertanyaannya.
Akan tetapi, Gina harus kembali menelan rasa kesal bulat-bulat ketika lagi-lagi Suzy mengangguk dan meniyakan apa yang ia lontarkan tadi.
"Lu masih yakin kalau itu cinta?" Gina menjilat bibirnya yang terasa kering, disertai tatapan garangnya, gadis itu terlihat semakin mengerikan bagi Suzy.
"Bukan semata-mata sebuah obsesi yang sangat besar?" lanjut Gina langsung menjahit mulut Suzy agar tidak terbuka.
Seketika itu juga tubuh Suzy bergetar, air mata yang menumuk di pelupuk matanya secara deras turun mengaliri pipinya yang sedikit chuby.
Walau seluruh perkataan Gina terdengar logis, namun Suzy tidak ingin menyerah begitu saja untuk kukuh pada pendiriannya dalam mencintai Buana.
"Suzy ... lu belum siap buat ngejalin hubungan pacaran sama cowok manapun, apalagi cinta pertama lu si Buana." Gina mendekat, merentangkan tangannya agar bisa merengkuh Suzy dengan erat.
Kali ini ia tidak akan kasar kepada sahabatnya, Suzy sangat tidak bisa dibentak dan dikasari. Walau umurnya hanya lebih muda Suzy beberapa bulan, gadis polos nan lugu sepertinya belum siap untuk merasakan sakitnya mencintai dan disakiti.
"Walau gua nggak berpengalaman soal cinta, entah kenapa gua bisa paham semua rasa sakitnya."