Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 37 - 36. Point Penting

Chapter 37 - 36. Point Penting

Gino mengernyitkan dahi tidak suka saat mendengar kata-kata itu terlontar dari Dokter Hani.

"Viona anak baik-baik dan nggak pernah ngelakuin sesuatu yang bakal ngerugiin dia atau orang lain buat kedepannya," ujar Gino yakin. 

Suara lembut yang biasa terdengar di pendengaran orang lain saat remaja laki-laki itu berbicara hilang digantikan nada tegas walau tidak setegas dan seberat suara Gian.

Dokter Hani terus memandang Gino ketika merasakan bahwa ada aura negatif yang keluar dari remaja tersebut. Sebagai seorang psikiater ia sangat bisa merasakan sedikit demi sedikit emosi yang dikeluarkan orang di dekatnya.

"Oke, sebelumnya maaf. Saya bukannya mau berprasangka buruk tentang pacar kamu, tapi coba sekarang pikirin alesan kenapa Gina kena serangan panik kemaren. Sedangkan dia udah nyiapin gelang yang jelas nggak murah ini buat pacar kamu," tutur Dokter Hani.

Jelas sekali psikiater itu sedang menuntut Gino untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkannya. Akan tetapi, Gino terdiam. Lidahnya kelu dan tidak bisa digerakan sama sekali. Ia tidak bisa menyangkal apa yang diucapkan oleh Dokter Hani.

Dan ia juga tidak bisa membiarkan kekasih hatinya dicurigai sebagai seseorang yang tidak baik. Dirinya mengenal Viona lebih baik daripada semua yang berada di ruangan ini. Gino sendiri tentu tahu seperti apa gadis yang menjadi pacarnya tersebut.

Gadis yang memiliki hati seperti malaikat. Dengan wajah ayu yang terus menghantuinya setiap hari, memberikan gelenyar rasa menyenangkan di dadanya.

"Ya, alesan Gina takut sama orang baru juga bisa aja memungkinkan, tapi Gino." Dokter Hani memanggil remaja laki-laki itu sekali lagi, kali ini dengan penekanan yang sedikit keras di ujung.

"Kamu tentu nggak lupa apa yang diucapin sama Gina waktu serangan paniknya hampir kambuh lagi, kan?" lanjutnya. Dokter Hani mengeraskan wajah, alasan mengapa pasien malangnya terkena serangan mental sewaktu makan malam kemarin sudah terpampang jelas di pikirannya.

Gian yang sedari tadi hanya diam memperhatikan kedua orang yang satu ruangan dengannya ini, mulai mengernyitkan dahi bingung. Di dalam benaknya ia bertanya-tanya, apa yang ia lewatkan ketika berangkat sekolah kemarin?

Jika tahu dia melewatkan banyak hal penting tentang Gina, ia tidak akan pergi ke sekolah dan memilih untuk izin saja bersamaan dengan Gino. 

Meskipun banyak pertanyaan yang masuk ke dalam benaknya, Gian tetap diam memperhatikan tanpa ada niatan untuk menyela pembicaraan. Dia ingin tahu ke arah manakah pembicaraan ini berlabuh nantinya.

Di sisi lain, Gino membisu dengan kepala menunduk. Atensinya bukan lagi ke arah Dokter Hani, melainkan ke arah gelang warna hitam berinisial 'Gg' pemberian sang Papa. Hatinya gundah, tidak tahu harus membalas apa.

"Dia nggak mau kamu sakit," tekan Dokter Hani dengan lirih. Ia memperjelas lagi apa yang kemarin Gina ucapkan. Permintaan sarat akan permohonan yang kuat dari Gina kepada dirinya agar kembarannya itu tidak sakit membuat hati psikiater perempuan itu kembali berdenyut.

"Dan makna sakit dari apa yang Gina bilang ini lebih condong ke arah sakit mental daripada fisik." Kedua mata Dokter Hani melirik ke arah Gian. Ia tahu anak remaja itu sedang dilanda kebingungan dan kekhawatiran saat mendengar pembicaraan dirinya dengan Gino.

Maka dari itu, Dokter Hani menyunggingkan senyum tipis untuk menenangkan Gian, meski dirinya yakin tidak akan berefek besar akan kekhawatiran anak sulung tersebut.

"Kita ambil beberapa point penting." Dokter Hani meletakkan gelang yang sedari tadi ia pegang di atas meja. Ia mengetuk beberapa kali meja kayu di hadapannya agar Gian dan Gino kembali fokus ke arah apa yang akan dibicarakannya kali ini.

"Yang pertama, reaksi Gina waktu dia tau kalau Gino punya pacar. Kaget dan keliatan seneng. Itu berarti Gina menerima sepenuh hati bahwa kakak kembarnya punya pacar."

"Yang kedua, serangan panik kecil waktu Gino bilang ke Gina kalau Viona udah tau dia itu hidup. Reaksi wajar buat seseorang yang punya gangguan mental kayak Gina. Tapi, disini kita bisa nandain kalau Gina ngasih izin pake tangan terbuka ke pacarnya Gino."

Tubuh Gian dan Gino menegang serius saat Dokter Hani menjelaskan secara rinci apa yang sebenarnya terjadi dengan Gina kemarin. Otak mereka tidak sulit untuk mencerna penjelasan yang masuk dan hal itu tentu membuat keduanya mengeluarkan keringat dingin.

"Ketiga ... " Dokter Hani menggantungkan ucapannya lalu menelan ludah. Gestur itu tentu membuat kedua remaja di depannya semakin serius dan takut dengan apa yang akan disampaikan oleh psikiater di hadapan mereka.

"Bentar saya minum dulu, haus." Dokter Hani terkekeh kecil melihat reaksi tidak percaya dari Gian dan Gino. Tapi mau bagaimana lagi, dirinya benar-benar haus dan tidak bisa mengabaikan tenggorokannya yang kering.

Setelah menghampiri dispenser kemudian menelan air dalam beberapa tegukan, Dokter Hani kembali duduk lagi di sofa kamar keluarga Adhitama. Ia mendudukan dirinya dengan posisi siap untuk menjelaskan.

"Yang keberapa tadi?"

"Ketiga," jawab Gian malas melihat tingkah laku sosok seorang psikiater perempuan di depannya.

"Oke, yang ketiga. Waktu Mama kalian ngundang Viona buat ke acara makan malam. Disitu serangan panik Gina kambuh lagi dalam skala kecil, kan?"

Gian maupun Gino mengangguk, mereka ingat sekali saat tubuh Gina bergetar dengan air mata mengalir. 

Saat itu, Gino meyakinkan bahwa Viona adalah orang yang baik dan tidak akan melukainya. Kehangatan dari pelukan mereka bersama sang Mama juga berhasil membuat Gina tenang.

"Di point kedua dan ketiga kalian bisa menyimpulkan bahwa serangan panik Gina kemungkinan karena kehadiran orang baru ke kehidupannya." Dokter Hani menghela nafas. Sebelah tangannya memijat ujung pangkal hidung yang berdenyut nyeri.

Sudah berapa kali ia terus mengatakan bahwa serangan panik Gina kali ini bukanlah hal yang patut untuk diremehkan.

"Tapi!" Ucapan disertai gebrakan meja tiba-tiba dari Dokter Hani sontak membuat Gian dan Gino kaget. Mereka meletakkan tangan di depan dada untuk menetralkan detak jantung yang berdetak cepat karena terkejut.

"Reaksi Gina di point satu. Sama," Psikiater itu membuka gelang yang masih nyaman berada di dalam kotak. "gelang ini, alesan serangan panik gara-gara orang baru mulai nggak masuk akal," lanjut Dokter Hani kemudian.

"Ditambah lagi kata-kata Gina yang bilang kalau dia nggak mau Gino sakit. Bukan gara-gara takut diri dia sendiri yang sakit."

Dua pasang mata milik anak kembar di ruangan itu melebar, mereka mulai tahu kemana arah pembicaraan yang Dokter Hani maksud. Jantung keduanya bertalu cepat, apalagi Gino. Ia menolak alasan lain jika itu harus melibatkan kekasihnya.

Viona anak yang baik, Gino yakin itu.

"Gina kena serangan panik sesaat setelah dia ngeliat Viona. Saya yakin kalau sampe Gina udah ngebeliin barang kayak gini ke orang baru, dia udah nyiapin hati dari lama sebelum ketemu sama orang itu."

"Tapi kenapa kalau Gina udah nyiapin hati dan dalam keadaan gangguan mental dia yang mulai membaik, serangan panik sehebat itu bisa muncul?" 

Sebuah senyum dengan maksud lain tersungging di ujung bibir Dokter Hani ketika melihat Gian dan Gino yang terlihat sudah paham seratus persen arah pembicaraan saat ini.

"Sekarang saya tanya sekali lagi ke kamu, Gino. Apa bener kalau Viona itu anak baik-baik?"