Kedua manik hitam legam milik Gino bergerak tak tentu arah. Ada pertengkaran besar antara hati dan otaknya. Otaknya sama sekali tidak bisa menyangkal apa yang sudah Dokter Hani jabarkan.
Lain halnya dengan hati yang terus memberontak menolak semua yang Dokter Hani katakan. Ia tidak bisa diam begitu saja ketika Viona yang notabene nya adalah pacarnya dicurigai bahkan disebut sebagai anak yang tidak baik.
Sampai pada akhirnya Gino benar-benar terdiam. Pikirannya kosong ketika sudah mengetahui siapa pemenangnya, ia yakin bahwa pilihannya kali ini tidak salah.
Dengan tangan mengepal, Gino berkata, "Viona anak yang baik, saya sebagai seorang Gino Adhitama, menjamin itu semua."
Gian menatap lekat ke arah adik kembarnya. Deru nafasnya sedikit terasa berat saat merasakan aura tidak biasa dari Gino. Baru kali ini ia melihat anak itu berbicara dengan keyakinan yang sangat kuat.
Seakan berani mempertaruhkan nyawa saat kata-kata yang baru saja terlontar keluar dari mulutnya.
Dokter Hani menggigit bibir bagian dalamnya. Ini hanya sebuah perkiraan yang terlihat sangat nyata ketika melihat apa yang dirasakan dari sisi Gina.
Akan tetapi, ia tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaan Gino. Terlihat dari seberapa cintanya remaja itu kepada sang kekasih membuat Dokter Hani tidak tega melihat Gino tersakiti dengan perkataannya jika terkesan memaksa bahwa Viona anak yang tidak baik.
Dokter Hani menghela nafas berat, ia kembali membuka mulutnya saat ingin melontarkan pertanyaan selanjutnya.
"Apa yang ngebuat kamu seyakin itu kalau Viona anak baik? Sedangkan point-point penting penyebab Gina kena serangan panik udah tertuju jelas ke arah sana."
"Saya kenal Viona udah lama dan tau gimana karakter pacar saya yang sesungguhnya. Walau baru kemarin status kami berubah sebagai pacar, saya sama dia udah saling paham satu sama lain," jawab Gino.
Tanpa adanya rasa gentar maupun keraguan dari ucapannya, Gino menatap yakin ke arah Dokter Hani yang juga tengah menatapnya sengit.
"Suami istri yang udah nikah bertahun-tahun aja kadang masih nggak paham sama beberapa karakter masing-masing. Kamu yang masih pacaran kenapa bisa seyakin itu?"
Sebelah alis Dokter Hani terangkat, menantang Gino sekaligus mengukur seberapa kuat keyakinan remaja yang sedang jatuh cinta tersebut.
"Karena Viona satu-satunya yang bisa buat saya tertarik dari sekian banyak perempuan yang pernah saya temui." Gino semakin menegakkan badannya, bersiap membela kekasihnya dari apapun yang Dokter Hani perkirakan.
Meskipun semua teori Dokter Hani masuk akal, tetapi dia tidak akan menyerah hingga penyebab serangan panik Gina yang kemarin itu terungkap.
Baru di situ Gino akan menerima apapun hasilnya.
"Gino tau jelas kalau Viona itu nggak pernah tega buat nyakitin orang lain. Entah itu nyakitin Gino yang notabene nya pacar sendiri, atau berhubungan sama trauma Gina dulu."
Sosok yang baru saja mengucapkan hal tersebut menyenderkan punggungnya ke sofa. Gaya bicaranya tidak lagi seformal tadi. Tubuh Gino terasa lemas, tenaganya seolah tersedot bersamaan dengan topik pembicaraan kali ini.
Tidak jauh berbeda dengan Dokter Hani, psikiater perempuan itu juga ikut menyerahkan punggungnya ke sandaran sofa. Ia menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya kasar.
Tidak baik berdebat seperti ini, apalagi beberapa saat yang lalu api amarah bisa saja terjadi dan mengacaukan semuanya. Ia juga bisa merasakan bahwa remaja yang sedang jatuh cinta tak bisa dengan mudah diberi tahu.
"Gian, tumben kamu diem aja daritadi. Biasanya paling aktif ngejahilin adeknya," ujar Dokter Hani disertai kekehan. Ia berusaha mencairkan suasana daripada melanjutkan percakapan beberapa saat lalu.
Gian memberikan senyum tipis sebagai jawabannya kepada Dokter Hani. Mood nya sedang tidak bisa diajak berkompromi walaupun dipancing sedemikian rupa seperti tadi.
"Soal Gina yang nggak mau Gino sakit, nanti bakal saya jelasin ke kamu, ya? Tapi nggak sekarang nggak papa?"
Gian hanya mengangguk sebagai jawaban, meskipun ia tidak tahu apa yang terjadi tentang Gina yang tidak mau Gino sakit, ia sudah paham bahwa itu yang memperkuat point penting dari apa yang Dokter Hani jelaskan.
Tentu saja Gian tahu bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang baik.
Selama beberapa menit ruangan itu hanya diisi oleh kesunyian yang mencekam, sampai satu-satunya psikiater di sana berdiri. Membuat Gian dan Gino reflek menoleh ke arah Dokter Hani.
"Hah ... Sampai sini aja ya sesi diskusinya. Saya bakal berusaha buat cari penyebab pasti dan bukti dari serangan panik Gina kemaren. Kalian bisa istirahat."
Dokter Hani melangkahkan kakinya menuju dispenser untuk mengambil minum yang kedua kalinya.
Tidak lama kemudian telinganya bergerak saat mendengar pintu ruangan dibuka, tubuhnya tersentak kecil saat mengingat ada hal penting yang harus diucapkan kepada Gian dan Gino.
"Gian, Gino," panggil Dokter Hani. Kedua anak kembar yang merasa terpanggil segera menoleh ke arah dimana asal suara berasal.
"Buat sekarang, saya minta tolong ke kalian. Jangan sampai sakit, baik fisik maupun mental. Jaga diri kalian, ini semua buat kesehatan Gina."
Gian dan Gino entah untuk keberapa kalinya hari ini mengangguk paham, mereka akan berusaha sebaik mungkin agar apa yang terjadi dengan Gina bisa terselesaikan segera. Termasuk dengan menjaga diri masing-masing.
Setelah pintu tertutup dan suara langkah kaki yang terdengar semakin jauh, Dokter Hani dengan cepat berlari menuju ke arah kasur lalu membantingkan tubuhnya di sana. Ia memejamkan mata lelah, perasaan tidak enak terus menerus menghantuinya.
Tiba-tiba di dalam benaknya ia berfikir, jika saja Gina tidak mengalami trauma dan Papa ketiga anak kembar itu tidak meninggal, apa yang sedang ia lakukan saat ini? Bagaimana hidupnya?
Dokter Hani terkekeh.
Tentu saja menikah.
Bahkan mungkin sudah memiliki beberapa anak yang menggemaskan seperti Gian, Gino, dan Gina sewaktu kecil.
Dokter Hani menengok ke arah jendela yang berada tepat di samping tempat tidur. Tatapan getirnya tampak begitu jelas di kedua netra berkilau miliknya. Namun, tidak lama kemudian terdapat kehampaan serta kekosongan di sana.
Berbanding jauh dengan tangannya yang mengepal kuat, hatinya terbakar marah atas apa yang sedang terlintas di kepalanya saat ini.
"Dasar nenek tua sialan," gumam psikiater itu lirih dengan sarat akan amarah yang menggebu di dalamnya.
*****
Di sebuah taman hijau yang terlihat sangat sepi, terdapat sosok remaja perempuan tengah membaringkan tubuhnya di rerumputan bawah pohon. Mata sembabnya tertutup rapat, dengan kecantikan yang tak akan pernah luntur terpatri di wajahnya.
Terlihat sangat damai, seakan angin sekencang apapun tidak pernah bisa membuat gadis cantik itu terbangun. Dunia yang amat keras pun seakan tidak tega menghancurkan seluruh kehidupannya.
Walau faktanya tidak, kehidupan bahkan teramat kejam menghantam di balik wajah damainya yang tengah tertidur.
Hingga tidurnya terusik saat sebuah bola menghampiri dan berhenti tepat di samping kepala gadis itu.
Gina perlahan membuka matanya, menampilkan manik hitam yang amat indah. Sama persis seperti milik kedua kakak kembarnya. Ia menoleh, menatap ke arah benda yang mengganggu saat-saat tenang miliknya.
Gina bangkit dari posisi berbaringnya, dengan keadaan duduk, ia mengambil bola imut berwarna merah muda itu. Gina beberapa kali mengedarkan pandangan untuk mencari tahu siapa yang sedang memainkan bola ini.
Sampai sebuah suara menggemaskan seorang anak perempuan memanggilnya.
"Itu bola aku, kak."