Tubuhnya terasa lumpuh. Gino termangu di tempat sesaat setelah mendengar apa yang Gina rancaukan. Pesan dari sang kekasih yang baru saja masuk tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari Gina yang kembali di baringkan di atas kasur dalam keadaan tidak sadar.
"Dokter Hani, t-tolongin Kak Gino, Gina t-takut."
Kalimat tersebut terus saja terngiang-ngiang di benak Gino. Ia beberapa kali mengerjap bingung, ada rasa sesak yang tidak bisa hilang tatkala kepalanya terus mengulang adegan demi adegan saat Gina kehilangan kontrol tubuhnya sendiri.
"Ada yang salah, sesuatu yang saya nggak tau dari serangan panik Gina kemarin malem." Dokter Hani menunduk, kedua tangannya sibuk membenarkan letak infusan Gina yang berantakan setelah gadis cantik itu menangis.
"Harusnya Mama kalian nggak berangkat," gumam Dokter Hani. Dirinya menoleh ke arah Gino yang menatap adik kembarnya sendu. Sorot mata lelaki itu redup, kabut kesedihan tergambar jelas di wajah yang sangat mirip dengan Gina tersebut.
"Dia nggak takut dirinya sendiri yang terluka. Alesan Gina kena serangan panik semalem, ada hubungannya sama kamu, Gino." Hanya sebuah kalimat, akan tetapi berhasil masuk tepat mengenai jantungnya.
Gino memilih membaringkan tubuhnya di sofa kamar Gina. Sebelah tangan ia tumpukan di atas kedua bola matanya. Baru beberapa jam yang lalu sang Mama pergi meninggalkan ketiga anaknya ke luar negeri.
Tapi, lihatlah sekarang. Baru sebentar saja, akar masalah baru sudah muncul ke permukaan. Gino hanya berharap bahwa masalah ini dapat dengan cepat menemukan titik terang dan tidak melebar ke mana-mana.
"Kalau Gian udah pulang sekolah nanti, kita obrolin masalah ini bareng-bareng. Jangan lupa telfon Mama kalian biar bisa ikut diskusi."
"Ya," jawab Gino lemah.
"Jangan kayak orang lemah, Gino. Kalau penyebab serangan panik Gina kemaren soal dia yang nggak mau kamu sakit, usahain jangan pernah sakit. Baik secara fisik maupun mental." Dokter Hani tersenyum menenangkan tatkala Gino melirik ke arah dirinya.
Selama bertahun-tahun lamanya dokter itu menangani mental banyak orang, tentu saja ia paham rasa frustasi dan kesedihan Gino saat ini. Selain Gina yang sangat tergoncang akan kejamnya takdir, kedua kakak kembarnya pun tidak jauh berbeda.
Ikatan mereka sungguh kuat, seperti bagian dari oksigen untuk hidup. Satu saja tercemari oleh udara kotor yang menyakitkan, pernafasan mereka akan sangat terganggu. Sesak, itulah yang terus menyerang mereka setelah kematian sang Papa.
Dokter Hani adalah saksi dari perjuangan dan penderitaan tiga anak kembar itu. Bahkan terbesit di dalam pikirannya, jika ia menjadi Gina. Gadis cantik berhati murni yang kehilangan pegangannya.
Dirinya pasti sudah bunuh diri. Sepaham-pahamnya dokter perempuan itu menjadi seorang psikiater, ia yakin dirinya tidak akan pernah sanggup jikalau berada di posisi Gina.
"Tapi kenapa ... " lirih Gino dengan nada bingung di setiap katanya. "Kenapa harus Gino sendiri yang jadi alesannya? Selama tujuh tahun, baru kali ini Gina nyebut nama salah satu dari kami setiap gangguan mentalnya kambuh, kan?"
"Karena kalian berdua yang jadi pusat hidup Gina sekarang. Cuman kalian berdua yang bisa bikin Gina ngontrol dirinya sendiri." Dokter Hani berdiri dari posisi awalnya yang duduk di atas kasur Gina. Ia menghampiri Gino lalu berjongkok di hadapan anak remaja berumur tujuh belas tahun itu.
Gino menatap tepat ke arah manik hitam Dokter Hani. Ia tahu saat ini psikiater tersebut sedang mencari tahu alasan sebenarnya mengapa Gina berbicara seperti itu tadi. Dirinya juga tahu bahwa Dokter Hani sedang berusaha memberinya sebuah pemahaman agar tidak panik.
"Di saat seseorang yang punya gangguan mental kehilangan sesuatu yang buat dia bahagia ketika perjuangannya melawan trauma masa lalu, itu bakal lebih menyakitkan daripada dia nginget lagi gimana sakitnya masa lalu itu," jelas Dokter Hani.
Daripada menjelaskan hal itu kepada Gino, Dokter Hani lebih terkesan mengatakan hal itu kepada dirinya sendiri. Ia tentu sudah tahu apa yang terjadi dengan Gina dan mengapa gadis remaja itu bisa terkena serangan panik lagi kemarin.
Padahal, dari hasil pengobatan Gina selama tujuh tahun lamanya, ketika seorang pengidap gangguan mental seperti Gina datang ke tempat umum seperti mall tanpa ditemani oleh siapapun juga, itu sudah menunjukkan perkembangan yang sangat bagus.
"Terus apa alesan Gina takut kalau Gino sendiri sakit? Maksudnya sakit itu, sakit secara fisik atau mental?" Setelah melontarkan pertanyaan tersebut, Gino bangkit dari posisi tidurnya. Ia terduduk seraya menutup wajah menggunakan kedua tangan.
Rumit, kasus mental Gina kali ini bukanlah suatu hal yang mudah diselesaikan. Di tengah rasa frustasi memikirkan adik kembarnya, Gino teringat sesuatu.
Gian.
Kakak kembar mereka pasti akan jauh lebih frustasi ketika mengetahui apa yang menimpa Gina saat ini. Walaupun mereka bertiga terlahir sebagai saudara kembar, Gian tidak pernah berhenti merasa bahwa dirinya menangung tanggung jawab lebih besar dari kedua kembarannya.
Membuat pribadi seorang Gian menjadi lebih tegas juga ambisius daripada Gino dan Gina.
"Setahu saya kamu sama Gian jarang banget sakit, kan? Setahun sekali kena flu aja nggak. Kalau Gina memang iya, dia ringkih banget dari lahir." Dokter Hani mengangguk-anggukan kepalanya. Kedua tangan perempuan itu terlipat di depan dada dengan tatapan menuju ke arah bingkai foto besar di dalam kamar Gina.
Di foto itu, terpampang ekspresi bahagia dari setiap anggota keluarga. Tanpa sadar kedua sisi bibir Dokter Hani terangkat ke atas. Meskipun hanya sebuah foto, dirinya dapat merasakan bagaimana tulusnya senyuman yang tersungging dari kelima manusia itu.
Begitu pula dengan wajah polos dan bersih dari ketiga anak berwajah sama di sana. Mimik wajah mereka sangat bersinar, masa-masa sebelum kejamnya dunia menghantam mereka.
"Jadi, maksud Dokter yang Gina takutin itu kalau mental kembarannya keguncang?" Selama beberapa detik ruangan itu hanya diisi oleh kesunyian, seseorang yang diberi pertanyaan oleh Gino masih terdiam menatap foto besar di sana.
Gino yang merasa tidak ada tanda-tanda akan adanya jawaban dari Dokter Hani, langsung mengangkat kepalanya untuk mengetahui apa yang sedang perempuan itu lakukan. Ia mengikuti arah pandang psikiater tersebut ke arah foto keluarganya.
Hati Gino bergemuruh rindu saat mengingat masa ketika sang Papa masih bersama mereka. Pada saat itu, ingin rasanya Gino berteriak keras betapa bersyukurnya ia dilahirkan ke dunia dengan limpahan rasa bahagia tiada tara.
"Jangan terlalu dipikirin, jangan juga sampai overthinking hal-hal negatif. Saya sendiri belum tau, kali ini cuman masalah Gina yang takut akan sesuatu yang sepele, atau ada hal lain yang lebih besar dari itu."
"Jaga terus mental kamu, jaga juga fisik kamu. Yang kita tau di sini baru sedikit informasi. Setidaknya yang pasti itu satu, Gina takut kalau kamu atau dalam skala besar yaitu orang-orang yang dia sayang kayak Gian, Mama kalian, Suzy, dan mungkin saya ....
.... ngerasain rasa sakit. Terutama mental pastinya." Dokter Hani menghembuskan nafas kasar. Sebelum kembali membuka mulut untuk kata yang mungkin bisa mengakhiri pembicaraan mereka berdua kali ini.
"Orang pengidap gangguan mental lebih peka sama sesuatu yang bisa bikin mereka atau orang terdekat mereka ngerasa terluka dan tersakiti, Gino."