"Udah bangun?"
"Belom Kak, Gina masih tidur. Tuh, buktinya mata Gina masih melek," jawab Gina sarkas. Matanya ia lebarkan selebar-lebarnya tepat di hadapan muka Gino.
"Tuh, Kak Gino liat nggak matanya masih nutup?" Sekali lagi Gina tegaskan kepada kakak kembarnya itu bahwa pertanyaan basa-basi yang terlontar dari mulutnya teramat menyebalkan dan tidak perlu diberi jawaban.
Gino spontan tergelak, hatinya selalu dilanda oleh sedikit kelegaan kala Gina sudah kembali normal seperti sekarang. Hanya saja, kondisi mentalnya yang masih rentan membuat Gino maupun Gian perlu menjaga lisan mereka.
Jika ada satu saja kata yang mengingatkan Gina akan trauma masa lalunya ataupun masalah kemarin malam menyusup ke dalam pembicaraan mereka, serangan panik Gina bisa lebih mudah untuk muncul ke permukaan.
Selang beberapa menit sebelum Gina sadar dari pingsannya, Dokter Hani pamit untuk mengistirahatkan dirinya di sebelah kamar Gina.
Lebih tepatnya, kamar itu sudah disediakan khusus untuk psikiater tersebut berjaga-jaga jikalau ada keadaan darurat di tengah kondisi Gina yang seperti saat ini.
"Kak ... " Gina meraba seluruh permukaan wajahnya, meresap bagaimana kadar kelembapan di sana, setelah kemarin malam hingga sekarang saat matahari sudah bersiap untuk turun, gadis cantik itu merasa belum melakukan perawatan rutin untuk wajahnya.
"Malem sama pagi tadi, muka Gina siapa yang ngasih skincare?" Gadis cantik itu cukup merasa tenang dan bahagia mengetahui kelembapan kulitnya terasa normal. Salah satu yang amat Gina khawatirkan jika sakit adalah tidak terawatnya wajah cantik miliknya.
Mungkin serangan panik dengan skala yang dapat lebih mudah dikendalikan akan menyerangnya seperti beberapa minggu yang lalu saat Gina kehabisan sebuah krim wajah dan tidak ada lagi stok yang tersisa.
"Biasa," balas Gino santai. Sudah menjadi tugas wajib bagi Dokter Hani agar apapun yang dapat memicu kambuhnya gangguan mental Gina, psikiater itu cegah secepatnya. Dokter Hani sangat tahu betapa pentingnya skincare bagi Gina karena masa lalunya.
Gina mengangguk sebagai tanda bahwa ia tahu apa yang kakaknya maksud sebagai 'biasa', dalam hatinya ia sungguh berterima kasih kepada Dokter Hani atas segala batuan dan rapinya pekerjaan yang psikiater tersebut kerjakan.
Gino mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, tenggorokannya entah kenapa sangat kering dan terasa sedikit perih.
"Gin, dispenser di mana?"
"Dibawa kabur Kak Gian kemaren pagi, yang ada di kamar dia rusak katanya." Gina mendecak kesal. Kakak kembarnya yang satu itu, ingin rasanya Gina memukul hidung Gian hingga berdarah.
Setiap kamar di kediaman mereka, akan selalu ada dispenser canggih keluaran terbaru yang senantiasa melayani sang pemilik kamar jika sedang haus. Bukannya mengangkut dari kamar tamu yang selalu kosong, Gian lebih memilih membawa dispenser milik Gina sendiri.
Tentu saja dirinya tahu apa maksud terselubung dari tingkah laku Gian yang menyebalkan. Entah sampai kapan anak sulung keluarga Aditama itu puas menjahili Gina hingga kesal.
"Loh? Kenapa nggak dikasihin aja langsung ke kakak? Kan bisa langsung dibenerin." Gino menatap heran ke arah Gina, bersekolah di sekolah khusus jurusan teknik membuat remaja seperti Gino bisa membenarkan apa yang rusak, termasuk kerusakan pada listrik rumah sekalipun.
"Kakak kayak nggak tau aja sikap Kak Gian kayak gimana. Apalagi kalau sama Gina." Tangan kanannya yang tidak di infus Gina gunakan untuk memukul-mukul kasur agar bisa melampiaskan rasa kesalnya.
Terkadang gadis cantik itu bertanya-tanya, sewaktu mereka bertiga ada di dalam rahim yang sama dalam waktu yang bersamaan pula, apakah di sana sama sekali tidak ada pertengkaran antara dirinya dan Gian, dengan Gino yang selalu tergelak memperhatikan tanpa melerai?
Entahlah, mungkin bisa saja tendangan yang terasa di perut sang Mama adalah hasil dari pertengkaran mereka berdua. Hebat sekali.
"Kamu kenapa ngelamun sambil geleng-geleng?" Gina memfokuskan kembali atensinya ke arah Gino. Ia tanpa sadar bergidik ngeri sembari menggelengkan kepala ketika membayangkan pertengkaran rahim antara dirinya dengan Gian.
"Kak Gino kalau tau pasti bakal ketawa sampe guling-guling di lantai. Mending nggak usah tau deh, serius." Gina menatap horor ke arah sang kakak yang menatapnya penasaran.
"Oke, jangan pernah kasih tau itu apa. Kakak juga takut kalau besok ada berita seorang remaja SMA mati mengenaskan karena tertawa." gidikan ngeri dari Gino sukses membuat Gina terpingkal.
Suasana kamar yang dirundung kesedihan serta kegetiran beberapa waktu lalu perlahan kembali menghangat, mengembalikan hawa kebahagiaan yang seharusnya ada setiap mereka berbicara santai seperti sekarang.
Tawa Gina terhenti saat fikiran jahil terlintas begitu saja di kepalanya. Sunggingan seringai yang tertangkap oleh pengelihatan Gino sontak membuat remaja laki-laki itu waspada. Ia tahu jelas apa arti seringaian adiknya ini.
"Jadi, tadi Gina itu mikir gini Kak ... " Memakai nada yang dibuat sejahil mungkin untuk mengerjai Gino, anak bungsu dari ketiga anak kembar tersebut mencoba untuk mengerjai sang Kakak.
"Nggak, nggak, nggak. Kakak haus, bahaya kalau dehidrasi."
"Bahaya dehidrasi atau bahaya resiko mati gara-gara ketawaaa," goda Gina. Ia terbahak keras ketika berhasil membuat Gino berlari terbirit keluar dari kamarnya. Sejenak, Gina melupakan segala hal yang terjadi akibat acara makan malam kemarin.
Dia sudah merusak semua. Acara yang seharusnya menjadi catatan bahagia kakak kembarnya, lagi-lagi malah menjadi sesuatu yang mengerikan bagi ingatan mereka. Gina memandang gelang warna-warni pemberian sang Papa lekat.
Gina menggerakan tangan kirinya yang terdapat gelang juga infusan yang masih tersemat beberapa senti di atas letak tali berharga miliknya. Kening Gina mengerut samar.
Mengapa rasanya ada yang berbeda?
Tangan kirinya kembali ia gerakan, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Gelang berumur tujuh tahun yang tidak pernah Gina lepas terasa lebih sempit dan mengganjal daripada biasanya. Tapi tidak, pikirannya terus menolak pemikiran negatif yang berusaha masuk dan kembali menyerang mentalnya.
Sesaat sebelum Gina ingin mengangkat tangan kirinya kemudian menelisik gelang itu lebih jauh, suara gebrakan pintu yang dibuka kasar berhasil mengurungkan segala niatnya. Gina terperanjat kaget.
Di sana, di depan pintu kamar Gina, Gian berdiri sembari menatap tajam ke arah dirinya. Gadis cantik tersebut spontan meremang takut. Ia jauh lebih menyukai Gian yang jahil setiap waktu daripada Gian dengan aura kemarahan seperti sekarang.
"Kak ... ada ap--"
"Mana Gino?" Suara rendah dan berat milik Gian memotong pertanyaan yang akan dilontarkan oleh Gina. Gadis remaja itu mengatupkan mulutnya rapat, tubuhnya bergetar halus mengirimkan sinyal bahaya ke dalam dirinya.
Kedua alis Gian menukik tajam, nafasnya memburu menahan amarah yang siap meledak kapan saja, kedua tangannya mengepal kuat. Itu sudah cukup menjelaskan kepada Gina bahwa kakak kembarnya sedang dalam mood yang buruk.
"Jangan diem aja, Gina. Anak itu ada di mana sekarang?" Intonasi Gian sedikit demi sedikit menaik.
"L-lagi ngambil minum," cicit Gina ketakutan. Kedua bola matanya melebar saat Gian melemparkan tas sekolah miliknya.
Setelah tahu di mana orang yang sedang ia cari saat ini, Gian segera berbalik mencari ke seluruh penjuru rumah besar mereka dengan kemarahan yang terlihat semakin menggebu-gebu seiring langkahnya yang cepat.
Gina terdiam cemas, ada apa ini?