Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 33 - 32. Tidak Sekolah

Chapter 33 - 32. Tidak Sekolah

Klak...

Suara halus dari pintu yang ditutup menjadi satu-satunya sesuatu yang mengisi kesunyian rumah besar keluarga Adhitama.

"Wuih pintu segede ini pas ditutup suaranya halus banget." Dokter Hani mendongak, memandang tingginya pintu kamar di hadapannya itu. Ia berdecak kagum atas seluruh kekayaan dari keluarga pasiennya.

Setelah puas memandang serta mengagumi sebuah pintu kamar pribadi, Dokter Hani berbalik dan terlonjak kaget saat dilihatnya dua remaja laki-laki sedang berdiri tegap sembari menatapnya dengan tatapan menuntut penjelasan.

"Kalian mau apa? Udah malem, Gina aja udah tidur. Kalian juga tidur sana," titah Dokter Hani setelah menetralkan degup jantungnya.

"Kenapa Gina diizinin keluar padahal kondisinya masih kayak gitu?" tanya Gian penuh penekanan. 

Dirinya masih tidak percaya atas apa yang sudah Dokter Hani lakukan saat Gina meminta izin akan keluar, apalagi tempat yang akan didatangi pengidap gangguan mental seperti Gina adalah tempat umum yang jelas menjadi tempat banyak orang.

"Saya cuman mau yang terbaik buat Gina," jawab serius Dokter Hani.

Sebagai seorang psikiater, dirinya lebih dari paham apa konsekuensi yang akan diterima atas tindakannya memperbolehkan apa yang pasiennya minta.

Gian membuang nafas kasar, ia memijat pangkal hidungnya yang terasa pening. Hari ini banyak sekali yang terjadi dan kebanyakan dari itu merupakan hal yang kurang baik dan semakin menambah beban pikirannya.

"Maksudnya yang terbaik?" Kali ini Gino yang membuka mulut untuk bertanya. Ia menatap kasihan ke arah Gian yang sepertinya sangat frustasi dan tertekan dengan keadaan yang ada.

"Kan saya udah bilang ke kamu kalau kasus serangan panik Gina sekarang bukan soal orang-orang baru, kan?" balas Dokter Hani seraya memegang pundak anak kembar di depannya menggunakan kedua tangan.

Berusaha memberikan ketenangan kepada kedua manusia yang nasibnya tidak kalah menyedihkan dari Gina.

Bahu Gino meluruh jatuh ke bawah, ia menghela nafas pelan agar bisa menenangkan diri. Hampir saja ia lupa atas apa yang terjadi dengan Gina kemarin serta apa yang dikatakan Dokter Hani siang tadi.

"Bukan gara-gara orang baru? Terus apa pemicu serangan panik Gina kemaren?" Nafas Gian mulai tidak beraturan, ada apa lagi ini? Terlalu banyak hal mengejutkan yang menimpanya hari ini. 

Ingatkan dirinya hari apa dan tanggal berapa sekarang, sudah dipastikan ia akan memasukkannya ke daftar hari terburuk sepanjang sejarah hidup seorang Gian Adhitama.

Dokter Hani tersenyum pengertian, ia mengusap-usap puncak kepala Gian. Mengisyaratkan agar remaja laki-laki itu tidak terlalu panik higga dapat menimbulkan dampak buruk kepada kesehatan mentalnya.

"Udah malem, sekarang bersihin dulu badan kalian terus tidur." Sebelum Gian ingin membuka mulutnya kemudian melontarkan sebuah protes, Dokter Hani segera melanjutkan ucapannya yang belum selesai.

"Kita obrolin besok pas Gina udah berangkat. Kalau dalam keadaan kayak gini kita ngomongin kondisinya Gina, nggak bakal baik buat pengontrolan emosi kalian yang belum stabil, oke?"

Dengan terpaksa, Gian maupun Gino menganggukan kepala menuruti perintah dari psikiater perempuan di depan mereka. Lagipula mereka setuju dengan apa yang dikatakan oleh dokter Hani.

Jika saja membicarakan sesuatu yang sangat berat dengan keadaan yang sudah lelah dan mood yang buruk, pasti berakibat buruk pada akhirnya.

*****

"Yeeeyy liat, sekarang Gina udah lepas infus dan mau jalan-jalan yuhuuu." Pekikan girang dari Dokter Hani berhasil membuat kedua anak kembar yang sudah siap duduk manis di depan meja makan sembari menunggu sarapan tiba menoleh ke asal suara.

"Kayaknya lebih seneng Dokter Hani daripada Gina," ucap gadis cantik yang menjadi topik utama pagi ini disertai kekehan geli.

"Oh iya dong, ngeliat kamu udah nggak sepucet kemaren juga saya seneng pake banget." Lontaran kata-kata tulus itu membuat sebuah senyum terbit di wajah Gina.

Seorang psikiater hebat seperti Dokter Hani memang pintar sekali membuat suasana hati pasiennya berubah menjadi lebih baik daripada sebelumnya. 

Dalam hati, Gina selalu berjanji kepada dirinya sendiri jika saja gangguan mentalnya ini sudah sembuh secara total ia akan membalas budi kepada Dokter Hani meski harus mempertaruhkan nyawa sekalipun.

Kedua kakinya yang sedari tadi melangkah menuruni tangga, akhirnya sampai di depan ruang makan. Di sana terdapat dua kakak kembarnya yang tak lain tak bukan adalah Gian dan Gino sedang tersenyum ke arah dirinya.

Gina membalas senyum itu dengan lengkungan bibir yang lebih lebar. Akan tetapi, tidak lama kemudian senyum tersebut luntur dari wajahnya saat melihat apa yang dikenakan kedua kakak kembarnya pagi ini.

"Loh kok kakak nggak pada pake seragam sekolah? Ini baru hari kedua masuk sesudah libur loh, jangan suka bolos ah," ujar Gina sambil berjalan lalu mendudukan bokongnya di kursi makan sebelah Gian seperti biasanya.

"Kamu juga nggak sekolah, kan?" Gian menatap datar ke arah adik perempuannya, sebelah tangannya mengangkat cangkir kecil berisi kopi berniat untuk menyesapnya.

"Ya kan beda kak, kita bertiga beda kasta. Masa murid serajin kak Gian sama sepinter kak Gino bolos sekolah?"

Mendengar penuturan dari adiknya Gino sontak saja terkekeh. "Terus kalau kakak pinter, kak Gian rajin, kamu apa?"

"Murid hoki yang walaupun banyak bolos dan nilai pas-pasan tetep bisa lulus," jawab Gina bangga. Kedua tangannya menyilang di depan dada, dagunya sedikit ia angkat ke atas. Merasa bahwa seorang Gina menjadi manusia paling beruntung di dunia.

Spontan hal itu membuat Gian, Gino, serta Dokter Hani tertawa. Tak ayal para asisten rumah tangga di kediaman mereka pun tertawa diam-diam tanpa sepengetahuan Gina. 

Meskipun keberadaan mereka tidak dianggap oleh gadis cantik itu dan tak jarang perlakuan kasar serta cuek Gina mereka terima, akan tetapi semua asisten rumah tangga yang bekerja di sini tahu benar bagaimana sikap asli gadis itu jika berada di depan orang yang ia sayang dan percaya.

Sejatinya Gina bukanlah anak yang kasar, cuek dan memiliki etika yang buruk kepada orang lain. Hanya saja, trauma masa lalu membuat Gina menjadi seseorang yang seperti itu, merusak kepribadian cerianya kepada orang lain.

"Kalau di SMA ini kamu nggak hoki terus nggak lulus gimana?" tanya Dokter Hani gemas.

"Ck, gampang banget itumah. Tinggal gini aja." Gina menyipitkan mata sembari menggigit bibir bawahnya. Tidak lupa ibu jari dan telunjuknya yang ia gesek sebagai gestur jawaban kepada Dokter Hani.

Dokter Hani kembali tertawa. Sambil menggelengkan kepala ia berkata, "Dasar orang kaya."

"Heh nggak boleh gitu, uang bukan buat disalah gunakan." Seperti biasa seperti kebiasaan yang tidak dapat dihilangkan, Gian menoyor kepala adik perempuannya.

"Iya-iya bercanda, lagian mustahil banget Gina nggak lulus. Kan ada Suzy setiap ujian." Gina menggeser kursi makannya agar tidak berdekatan dengan Gian yang menoleh kasar sesaat setelah ia mengucapkan hal tersebut.

"Itu juga nggak boleh!" pekik Gian kesal disambut dengan suara tawa yang memenuhi meja makan.

Baru tadi malam suasana kembali memburuk, akan tetapi pagi ini seolah masalah yang sedang menghantam mereka hilang begitu saja. Kehangatan perlahan kembali melingkupi ketiga anak kembar tersebut, menghantarkan gelenyar kebahagiaan.

Dokter Hani yang menyaksikan itu semua tersenyum, berharap bahwa suasana seperti ini tidak akan pernah hilang.

Ia sedikit khawatir. Perasaannya terus menerus tidak menunjukkan hal baik setiap dirinya menyaksikan kebersamaan Gian, Gino, dan Gina.

Roda kehidupan terus berjalan, kebahagiaan tidak sanggup untuk selalu melingkupi mereka. Saat ini Dokter Hani hanya bisa berharap, apapun yang terjadi ketiga anak kembar tersebut harus baik-baik saja.