Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 32 - 31. Permintaan Izin

Chapter 32 - 31. Permintaan Izin

Gino terdiam berdiri sembari sebelah tangannya memegang kenop pintu kamar Gina. Ia mendengar semua, mendengar apa yang Gina bicarakan kepada kakak kembar mereka. Semua yang dibicarakan adik perempuannya itu pasti tepat mengenai hati seorang Gian yang keras.

Setelah memanggil Dokter Hani yang tidak jauh dari kamar Gina, ia segera kembali untuk mengetahui bagaimana keadaan remaja perempuan tersebut. 

Akan tetapi, belum satu langkah ia masuk ke dalam kamar untuk menemui saudara kembarnya, Gino sudah mendengar sesuatu yang dapat membuat hatinya teremas kembali. 

Ternyata suasana hangat beberapa waktu yang lalu dapat kembali tenggelam dengan suasana yang dirundung kesedihan.

"Mana Gina?" Gino terlonjak kaget begitu sebuah tangan menepuk halus pundak kirinya. Ia segera menoleh ke arah belakang dimana Dokter Hani berada dengan gurat kekhawatiran yang terlihat jelas.

"D-di dalem," balas Gino tergagap. Transisi dari perasaan sedih ke perasaan terkejut membuat kinerja otaknya sedikit terganggu bahkan hanya sekedar membalas sebuah pertanyaan.

Dokter Hani segera masuk ke kamar pasiennya dengan alat yang sudah ia persiapkan sesaat setelah Gino memberi tahu dengan wajah paniknya. 

"Gina cantik, ada apa sayang ... kenapa darahnya bisa naek ke selang infus?" Seperti biasa, dokter Hani menyapa Gina dengan nada yang dibuat riang. 

Gian dan Gina sontak mengalihkan perhatian mereka ke arah psikiater yang sedang berjalan ke arah kasur. Gian yang tidak ingin mengganggu Dokter Hani bekerja, segera beranjak dari atas kasur dan memilih memperhatikan Gina dari samping bersama dengan Gino.

"Makanya jangan banyak gerak. Kalian ini kebiasaan, saking asiknya bertiga kadang sampe nggak sadar keadaan Gina lagi kayak gini." 

Ketiga anak kembar yang dimaksud oleh Dokter Hani dalam ucapannya tadi hanya terdiam. Diantara mereka tidak ada yang menyahut ataupun sekedar memberikan gestur untuk membalas perkataan psikiater perempuan itu.

Suasana hati mereka sedang tidak baik. Maka dari itu, daripada berbicara dan membuka mulut, Gina, Gino, Gian lebih cenderung diam. Lebih baik seperti itu daripada mengeluarkan kata yang dapat membuat malam ini menjadi lebih buruk lagi.

Dokter Hani yang tengah sibuk mengganti infus Gina ke tangan kanan, tahu ada sesuatu yang terjadi sesaat sebelum dirinya masuk ke dalam kamar ini lagi. Tentunya ia tahu bahwa yang menyebabkan ketiga anak kembar ini diam adalah sesuatu yang kurang baik.

Padahal baru beberapa saat lalu ketika ia memeriksa keadaan ketiganya, suasana di kamar Gina terasa sangat hangat. Kasih sayang dan juga kehangatan yang dapat membuat Dokter Hani ikut merasakan sebahagia apa anak-anak remaja ini kala itu.

"Muka kamu pucet, pasti kecapean." Dokter Hani mengusap rambut gadis cantik di depannya, ia juga merapikan rambut halus di sekitar wajah Gina yang menempel karena keringat.

"Udah ya, udah malem. Gina harus tidur, istirahat yang cukup sama jangan sampe banyak pikiran. Gina cantik ini mau sembuh, kan?" tutur Dokter Hani. 

Dari mulai nada, intonasi dan cara berbicara psikiater seperti Dokter Hani terlihat seperti seorang ibu yang sedang berhadapan dengan anak berumur lima tahun. Sorot mata lembut itu menatap Gina dalam, berharap apa yang ia lihat di wajah Gina tidak akan membuat serangan panik gadis ini terpancing.

Dokter Hani mengulum bibirnya ke dalam. Di balik tatapan lembut penuh pengertiannya, terdapat kemirisan serta kesedihan ketika melihat jejak air mata dan mata yang memerah terpajang apik di wajah cantik pasiennya.

"Dokter Hani ... " panggil Gina lirih. Suaranya serak seperti orang yang sangat tersiksa.

"Iya cantik, ada apa?"

"Sebelum tidur bantuin Gina skincare-an dulu, ya." Dokter Hani terkekeh atas permintaan Gina kepadanya, siapa yang tahu bahwa di balik kekehan gemasnya itu terdapat tangisan yang tercekat di pangkal tenggorokan.

"Iya dong, pasti." Lipatan jari membentuk simbol 'ok' serta senyuman manis dari dokter Hani berhasil membuat pasien remaja di depannya tersenyum. Aura positif dari psikiater itu membuat Gina yang sedang dirundung kesedihan menjadi lebih baik.

Sebenarnya ia merasa gagal.

Sangat gagal.

Tujuh tahun sudah usaha psikiater hebat seperti dirinya berusaha menyembuhkan Gina, satupun usaha penyembuhan total dari trauma gadis malang itu tidak membuahkan hasil yang memuaskan. 

Bahkan tanpa sepengetahuan Gina dan kedua kakak kembarnya, ia pernah berencana untuk berhenti menjadi seorang psikiater lalu menunjuk orang lain yang mampu menyembuhkan salah satu bagian dari keluarga Adhitama tersebut.

Jika bukan karena Mama ketiga anak kembar itu yang memohon kepada dirinya, sekarang Dokter Hani pasti sudah menikah dengan lelaki yang saat ini bernotabane sebagai kekasihnya.

"Dokter Hani," panggil Gina sekali lagi. 

Merasa terpanggil, Dokter Hani tersentak dari lamunanya. "Ya?"

"Kapan selang infusnya dilepas? Kan tadi selang oksigen udah bisa dicopot, terus kalau infus kapan?" Dengan sayu sembari menunjuk selang infus, Gina bertanya kepada perempuan yang sudah seperti sosok ibu ini. 

Efek obat setelah makan sore membuat Gina benar-benar mengantuk, namun ia tidak ingin tidur terlebih dahulu sebelum semua urusannya hari ini selesai. Termasuk perawatan wajah dan pertanyaan terakhirnya.

"Badan Gina kalau udah nggak sakit, besok infusnya udah bisa dilepas kok, cantik." Tangan Dokter Hani berpindah ke arah lengan Gina, mengelus-elusnya pelan. Berusaha memberikan ketenangan serta kenyamanan yang menambah kadar rasa kantuk gadis cantik di depannya.

Gina tersenyum senang. "Kalau besok infusnya udah dilepas, berarti boleh dong ya."

"Boleh apa?" saut Dokter Hani dengan kening berkerut. 

"Gina mau ke taman yang ada di deket rumah Suzy." Mimik wajah Gina terlihat amat memelas, berharap besar bahwa psikiater pribadi miliknya memberikan izin agar ia bisa pergi dari rumah dalam jangka watu tidak lama.

Rasanya sesak.

Ketika sumber masalah berasal dari dalam rumah, Gina lebih ingin keluar sebentar dari suasana pengap di kediaman Adhitama. Sebesar apapun ukuran rumahnya saat ini, hal tersebut tidak akan bisa mengubah pikiran fakta bahwa ia butuh sebuah pemandangan baru.

Pemandangan yang tidak mengingatkannya akan semua masalah yang baru-baru ini terjadi.

Gina meraih kedua tangan Dokter Hani kemudian menggenggam nya erat. Tatapan serta gestur permohonan terus Gina berikan kepada perempuan hebat di hadapannya.

"Boleh, ya?"

Gian dan Gino yang sedari tadi memperhatikan dalam diam menatap bergantian anatara Dokter Hani dengan adik kembar mereka. Kedua laki-laki itu tau pasti jawab apa yang akan psikiater itu berikan kepada Gina.

Jelas saja jawabannya pasti ti---

"Boleh, tapi jangan lupa pesan saya setiap mau bepergian ke luar, oke?" Gian dan Gino spontan terperanjat kaget. Jawaban mengejutkan dari sang ahli membuat keduanya menatap tak percaya ke arah Dokter Hani.

Bagaimana bisa?

Dokter Hani yang merasa hawa menusuk di samping tubuhnya segera mengalihkan tatapan. Ia tentu saja merinding ngeri ketika mendapati dua orang dengan wajah yang sama persis tengah menatapnya sembari melotot.

Merasa tertantang untuk membalas, psikiater perempuan itu balik memelototi Gian dan Gino dengan tatapan seolah mengatakan, 

'Saya lebih tau dari pada kalian. Jadi, diem.'