"Kalau udah ngerasa takut terus sesek, kendaliin diri."
"Jangan deket-deket sama orang yang nggak dikenal, takutnya orang jahat."
"Langsung telepon kakak atau Gino kalau ada apa-apa."
"Itu handphone sama jam jangan sampe lepas atau mati, kalau ada apa-apa cuman itu yang bisa diandelin."
"Kalau ada orang yang ngasih permen, jangan diterima! Takutnya ada bius terus kamu diapa-apain sama orang jahat."
Sederet ocehan dari Gian membuat sosok yang bersiap untuk berangkat hanya sekedar ke taman itu memutar bola mata malas. Mau tidak mau berhubung niat sang kakak kembar ini baik, Gina hanya mengangguk sekali. Tanda paham dengan apa yang Gian ucapkan.
"Iya nggak?" tegas Gian ketika hanya mendapat gestur sebagai jawaban.
Gina menghela nafas lalu menatap Gian dengan manik matanya yang menyorot serius. "Iya Kak ... " jengah gadis cantik itu sambil menghela nafas di akhir.
Kepala Gina langsung menoleh tatkala sebuah tangan yang terasa familiar mengusap puncak kepalanya. Tanpa merusak tatanan rambut hitam yang telah diikat rapi, Gino mengusap rambut adik kembarnya seraya tersenyum.
"Hati-hati." Singkat, padat, dan jelas Gino memberikan ultimatum penuh dengan makna kepada Gina.
Satu-satunya remaja perempuan di ruang makan menatap bergantian Gian dan Gino. Tidak lama setelah melakukan hal konyol tersebut, Gina tertawa renyah mengetahui fakta yang sudah sangat umum terlihat, namun pasti sangat menggemaskan di mata siapapun.
"Kalian berdua tuh beda banget ya, padahal mukanya sama, loh." Hatinya mengembang senang dengan kebersamaan sesaat sebelum dia pergi ke taman untuk menenangkan diri dan kembali tenggelam dalam lautan kesedihan yang perlu segera diatasi.
"Muka kamu juga sama banget kan kayak kami berdua," ujar Gian yang sedari tadi memerhatikan apa yang kedua adiknya lakukan.
"Eitsss ... jangan salah, kita beda gender." Kedua jari telunjuk Gina, sang empu silangkan bersamaan dengan ucapan yang baru saja terlontar.
"Terserah." Gian berdiri dari posisi duduknya kemudian berjalan mendekati Gino dan Gina. Berjongkok di antara kedua saudara kembarnya.
"Kakak sama Gino ada urusan hari ini. Jadi, kita berdua izin nggak masuk sekolah. Sekalian jaga-jaga kalau ada apa-apa sama kamu hari ini." Sebuah senyum menenangkan dari Gian, membuat adik perempuan satu-satunya itu tersenyum lalu mengangguk.
Gina senang mengetahui bahwa Gian tidak berniat menyembunyikan alasan absennya dengan Gino hari ini. Beban di pundak gadis tersebut sedikit terangkat menerima fakta bahwa sang kakak berniat memperbaiki maksud baik yang salah di mata Gino dan Gina.
"Yaudah Gina mau berangkat dulu, kakak-kakak silahkan urusin urusan penting kalian." Gina bangkit dari posisi duduknya, ia merapikan sedikit celana jeans dan hoodie hitam yang ia kenakan untuk pergi ke taman hari ini.
Terlihat monoton dan menyeramkan memang, apalagi untuk pergi ke taman yang pasti memiliki suasana menyenangkan juga menenangkan. Tapi Gina tidak peduli, asalkan baju itu nyaman dan berada di bagian paling atas lipatan bajunya, akan ia pakai.
Toh, dirinya juga enggan jika ada orang yang menghampirinya apalagi mengajak untuk berkenalan. Gina lebih senang orang-orang memandangnya takut dan menjauhi dirinya. Itu lebih baik daripada ada orang baru yang berusaha masuk ke dalam kehidupannya.
Apalagi jika orang baru itu mengetahui bahwa seorang Gina merupakan bagian dari keluarga Adhitama. Seketika gadis cantik itu bergidik ngeri, jangan sampai hal itu terjadi.
"Inget amanat kakak tadi, kalau ada apa-apa langsung kabarin, oke?" ulang Gian entah untuk keberapa kalinya.
Gina menatap jengah ke arah kakak kembarnya itu, sedangkan Gino terkekeh geli melihat sang kakak yang sebegitu khawatirnya kepada adik perempuan mereka yang 'hanya' pergi ke taman.
Meskipun tak ayal Gino juga merasa sama khawatirnya dengan Gian, ia percaya atas apa yang akan Gina lakukan. Ia yakin bahwa kembarannya tersebut sudah menyiapkan diri sebelum pergi ketempat umum dalam kondisi yang baru saja pulih dari serangan panik.
"Gina udah gede, kak. Nggak usah khawatir sampe segitunya."
Mulut Gian terbuka lebar, tatapan dari kedua manik hitamnya menatap terkejut sekaligus terharu ke arah Gina yang baru saja mengatakan bahwa ia sudah besar. Remaja laki-laki itu menengok ke arah Gino yang tepat berada di sampingnya.
Gino yang merasakan hawa-hawa tidak mengenakkan dari sang kakak, segera balik menatap Gian. Ia merinding ketika sekilas melihat adanya kilatan jahil di kedua netra hitam milik kakaknya.
Kedua tangan Gian terulur, secara perlahan ia bergerak memeluk sebelah tangan Gino yang memberikan sinyal waspada. Gino melihat Gina yang juga menatap penasaran dengan apa yang akan dilakukan kakak kembar meraka kali ini.
"Ayah! Bunda nggak nyangka banget ternyata anak perempuan kita udah gede. Liat, pasti bentar lagi bawa pacar tuh ke rumah. Ah, Yah, Bunda terharu banget liatnya."
Gian bergelayut manja di lengan sebelah kiri Gino. Dengan nada yang dibuat manja disertai lengkingan yang persis seperti ibu-ibu komplek, laki-laki itu sukses berakting sebagai seorang ibu dengan Gino yang menjadi ayahnya.
Sontak saja Gina terbahak keras, bahkan suara tawa yang banyak terdengar dari beberapa asisten rumah tangga yang sedari tadi mengamati ketiga anak kembar dari nyonya besar mereka.
Lain halnya dengan Gino, ia menatap ngeri atas apa yang dilakukan oleh kakak kembarnya. Ingin sekali dirinya menjauhkan kepala Gian yang semakin bersender di bahu lebarnya dengan kasar. Akan tetapi, mau bagaimana lagi.
Ia tentu saja enggan melakukan hal kasar itu kepada saudara kembarnya, hatinya yang lembut tidak akan pernah sanggup untuk melakukan hal yang sudah biasa Gian dan Gina lakukan.
Lagipula rasa hormatnya kepada Gian membuat Gino tidak bisa langsung menyingkirkan kakaknya itu secara kasar dan menyakitkan.
"Kak, ngapain sih ... jangan gini deh, Gino geli liatnya." Tanpa menaikkan nada suara, Gino berusaha membuat sang kakak yang menempel dan sedang berakting menjadi seorang ibu agar segera menjauh dari atas bahunya.
Gino tidak berbohong bahwa apa yang dilakukan oleh Gian sangat mengerikan baginya.
"Ih Ayah jangan gitu dong ke Bunda, nanti Bunda sakit hati nih. Suami mana yang nggak mau ditemplokin sama istrinya." Masih tetap memainkan perannya secara profesional, Gian semakin menempelkan tubuhnya ke arah Gino.
"Gin ... " panggil Gino dengan nada penuh dengan keputus asaan. Berusaha meminta pertolongan kepada adiknya.
Walau terhibur, Gina sedikit merasa prihatin melihat Gino yang terlihat sangat tertekan.
Dengan cepat, ia menarik sebelah tangan Gian dengan kencang sehingga pelukan sang kakak kepada Gino terlepas. Gian terduduk di lantai saking kerasnya tarikan Gina serta dirinya yang belum siap untuk mempertahankan diri agar tidak terjatuh.
Gina yang enggan mendapat balasan dari Gian, langsung berlari menjauh dari hadapan kedua kakak kembarnya menuju ke arah garasi tempat mobil miliknya berada.
"Gina!" panggilan tersebut sukses membuat langkah Gina terhenti.
Dokter Hani.
Psikiater pribadinya itu berlari ke arah Gina dengan tergesa. Ketika sudah berada di samping gadis cantik itu, Dokter Hani segera memberikan sesuatu yang ia pikir akan Gina butuhkan di taman nanti.
"Buat jaga-jaga. Nikmati waktu kamu ya, cantik."