"Nak, bangun Sayang ... " Sayup-sayup, Gina mendengar suara seorang perempuan yang terasa jauh di pendengarannya. Seluruh tubuhnya terasa nyaman saat suara itu menyambutnya.
"Gina." Sekali lagi, suara itu tertangkap, namun kali ini terasa amat dekat. Perlahan mata dengan bulu mata lentik itu terbuka, cahaya yang tidak terlalu terang menyambutnya kala itu. Sejenak, Gina terdiam. Mengingat apa yang terjadi dengan dirinya.
Gina menoleh ke arah samping saat elusan lembut di kepalanya ia rasakan.
"Ma ... " lirih Gina dengan suara serak. Sang Mama tersenyum, sorot matanya yang lembut menatap Gina penuh kasih sayang dan banyaknya rasa bersalah. Helaan nafas kasar sarat akan rasa frustasi dan lelah Gina terima dari wanita tersebut.
"Mama mau berangkat, kamu jaga diri baik-baik, ya? Kalau ada apa-apa langsung kabarin Mama," tutur sang Mama. Gina yang berniat membuka mulut untuk berbicara sebelum Mamanya, memilih kembali menutupnya rapat.
Ada sebagian besar dari dirinya yang ingin berteriak dan memohon agar satu-satunya orang tua yang membimbing dirinya itu agar tetap tinggal. Gina sangat ingin menjadikan gangguan mentalnya sebagai senjata agar sang Mama tidak pergi ke New York, namun tidak bisa.
Tentu saja Gina bukan seseorang yang egois. Ia sendiri tahu bahwa sang Mama pergi ke luar negeri karena ada urusan pekerjaan yang tidak dapat diabaikan.
'Mamanya bekerja untuk dirinya dan juga anak-anaknya. Jadi, ia tidak boleh egois karena hal itu.'
Mantra itulah yang terus Gina rapalkan supaya bisa menahan diri dari segala hal yang akan membuat kekacauan di kemudian hari. Selama tujuh tahun semenjak kematian sang Papa, Gina selalu seperti itu agar tidak marah karena pekerjaan Mamanya itu.
Pekerjaan sialan yang merenggut waktu sang Mama untuk ketiga anak kembarnya.
Gina memejamkan mata sesaat, mencegah agar emosi, rasa sakit, dan kesedihan tidak meledak begitu saja hingga menimbulkan resiko dirinya menyakiti hati sang Mama. Anggukan pelan dan senyuman tipis gadis cantik itu layangkan kepada sang Mama.
"Iya, Mama hati-hati di sana. Jangan terlalu khawatirin Gina sama Kakak, kita udah besar dan bisa ngejaga diri satu sama lain." Rasanya Gina ingin menggigit kuat lidahnya saat itu juga. Hatinya berontak tidak terima atas apa yang baru saja sang empu lidah ucapkan. Membohongi diri sendiri untuk yang kesekian kalinya.
Lagi, Gina menepis segera perasaan egois itu. Ia meyakinkan hatinya karena semuanya akan baik-baik saja, walaupun tidak ada sang Mama di sisi Gina dan kedua kakak kembarnya, ia yakin. Masalah yang belum terselesaikan ataupun yang akan datang bisa dengan mudah ia lewati.
Sang Mama tersenyum lebar, mengira bahwa sudah tidak ada lagi keraguan di dalam diri Gina atas keberangkatannya ke New York. Gina yang melihat betapa cerah dan tulusnya senyuman itu kembali menahan tangis.
Tidak apa, untuk saat ini Gina rela menahan lagi rasa sakitnya hanya untuk melihat senyum itu terus tersungging di wajah ayu sang Mama. Gina tidak boleh sedikitpun menyakiti hatinya, terlebih setelah kematian Papa mereka, binar kebahagiaan sang Mama semakin meredup.
"Mama harus terus bahagia di sana, jangan lupa makan dan Gina siap buat jadi sandaran Mama kalau Mama sedih di sana." Perkataan anak bungsunya itu membuat kedua mata sang Mama berkaca-kaca.
Tidak menyangka, di tengah keadaan Gina yang baru saja terkena serangan paniknya malam kemarin, putri satu-satunya itu berkata demikian.
"Nggak Nak, harusnya Mama yang bilang gitu ke kamu. Maafin Mama, ya?"
"Mama nggak usah minta maaf, Gina paham. Gina nggak minta apa-apa lagi selain kebahagiaan Mama sendiri." Kedua tangannya ia rentangkan di atas kasur ketika sang Mama berancang-ancang untuk memeluknya.
Kala pelukan hangat Mamanya ia terima, Gina kembali melanjutkan ucapannya. "Juga, jangan pernah ngerasa bersalah karena nggak ada banyak waktu sama kami bertiga. Jangan pernah ngerasa jadi seorang ibu yang gagal karena keadaan."
Gina kembali menjeda ucapannya saat merasa bagian lehernya basah, menandakan bahwa saat ini sang Mama tengah menangis. Ia sendiri berusaha mati-matian agar rasa sesak di dadanya tidak merambat ke bagian mata.
"Mama itu ... sosok Ibu terbaik bagi kami, sesosok wanita kuat yang mengasuh tiga anak kembar sendirian selama tujuh tahun lamanya. Jadi, jangan pernah minta maaf ke Gina maupun Kakak, ya, Ma?"
Isak tangis mulai keluar dari mulut sang Mama. Apa yang Gina ucapkan membuat ia semakin berat untuk meninggalkan anak-anaknya dalam jangka waktu yang lumayan lama. Sang Mama tentu sadar bahwa apa yang ia lakukan dengan pekerjaannya membuat Gina, Gino, dan Gian tumbuh dengan semakin kurangnya kasih sayang.
Hal itu lah yang membuat sang Mama setiap harinya selalu dirundungi rasa bersalah. Namun, lihatlah sekarang, salah satu dari mereka berkata seperti itu. Bahkan, sedikitpun rasa kesal tidak Gina tunjukan kepadanya.
"Mama jangan nangis lagi, ya ... ada mitos yang bilang kalau air mata bisa nambah kerutan loh, Ma. Hayoloh, nanti jadi nggak awet muda lagi." Gina terkekeh pelan, mencoba menghentikan tangisang sang Mama. Dan sebagai hadiah dari ucapannya, tepukan pelan Gina terima di lengan kirinya.
Tidak apa, lebih baik seperti itu daripada air mata Mamanya terus saja mengalir. Hatinya tak kuasa melihat bagaimana bahu wanita kuat itu tergoncang dengan tangisan.
"Maafin Gina juga yang waktu itu jegat mobil Mama buat berangkat kerja, harusnya Gina nggak egois dan langsung paham."
"Nggak Sayang, nggak papa." Kecupan beruntun sang Mama beri di wajah Gina. Membuat sang empu wajah tertawa karena geli.
"Ma, Kak Gian udah siap tuh." Suara Gino masuk seiring dengan pintu kamar Gina yang terbuka. Senyum anak tengah keluarga Adhitama itu tersungging manis saat melihat interaksi apa yang sang Mama dan adik kebarnya lakukan.
Wanita awet muda tersebut menoleh ke arah Gino dan segera ikut tersenyum. Ia turun dari atas kasur Gina lalu menghampiri Gino.
"Oke, Mama siap."
"Hm? Siap? Mata Mama sembab gitu, jelek loh Ma." Gina yang masih berbaring lemas di atas kasur lagi-lagi dengan beraninya menggoda sang Mama. Dengan segera, ia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, melindungi dirinya dari tatapan sinis serta binar candaan dari Mamanya.
"Ma ... " panggil Gino dengan suara lembut miliknya.
"Ada apa Nak," Sepersekian detik setelah sang Mama menjawab panggilan Gino, ibu dari tiga anak kembar itu menerima pelukan erat dari anaknya. Sedikit terkejut, sampai akhirnya dengan tak kalah erat sang Mama membalas pelukannya.
Tanpa mengatakan apapun, wanita itu tahu apa yang disampaikan Gino dari pelukan hangat ini. Ia mengusap punggung Gino sebagai tanda bahwa dirinya akan baik-baik saja di New York.
Merasakan bahwa sekarang kepalanya sudah berada di bahu lebar anak laki-lakinya membuat sang Mama sadar bahwa anak kembarnya yang dulu menggemaskan, telah tumbuh menjadi remaja yang sangat baik. Remaja yang kuat kala banyaknya masalah yang menerjang.
Sesaat setelah sang Mama berniat untuk melepaskan pelukan Gino dan bergegas untuk berangkat, satu lagi pelukan hangat berhasil mengurungkan niatnya.
"Mama jaga diri di sana," ujar Gian sembari meresapi pelukan hangat saat ini.
"Kalian juga, jangan banyak nangis pas Mama pergi." Gian dan Gino tidak menjawab, hanya semakin mengeratkan pelukan. Menyimpan cadangan rasa rindu selama beberapa bulan.
Saking terhanyut dalam pelukan itu, di antara mereka tidak ada yang sadar ketika Gina mencabut infusan dan selang oksigen yang sedari tadi menempel di tubuhnya. Gadis itu juga ingin ikut memeluk sang Mama secara bersama-sama seperti apa yang dilihatnya saat ini.
Gina merentangkan tangannya, ikut memeluk Mama mereka. Meresapi kehangatan bersama keluarga kecilnya. Awalnya, baik sang Mama, Gian maupun Gino terkejut saat Gina sudah berada di dekat mereka ikut memeluk sang Mama.
Akan tetapi, karena tidak ingin menghancurkan suasana, mereka bertiga hanya diam. Merasakan lengkap dan hangatanya sebuah pelukan penuh kasih sayang meskipun tidak selengkap tujuh tahun yang lalu.
Sebuah pelukan perpisahan.