"Dua minggu?" Pekikan sarat akan rasa terkejut itu keluar dari mulut Gina.
"Kak Gino udah official pacaran sama boneka Mama udah dua minggu?! Dan Kakak bisa-bisanya nggak ngasih tau ke Gina sama Kak Gian?"
Posisi Gina yang baru beberapa menit yang lalu merebahkan dirinya kini terduduk dengan punggung yang tegak. Sirat terkejut yang amat kentara dari matanya menjelaskan semua. Gina tidak pernah menyangka bahwa sang kakak yang satu ini tidak bercerita apapun tentang kekasihnya.
Satu yang Gina tahu selama tujuh belas tahun mereka menjadi saudara kembar. Gino akan menceritakan apapun yang ia lihat, dapat atau rasakan.
Baru kali ini hal yang teramat penting bagi remaja seperti mereka, cinta. Tidak pernah sekalipun ucapan atau gerak-gerik terlihat bahwa Gino sedang dalam masa itu.
"Bisa-bisanya banyakan tugas daripada dos---" ucapan Gian berhenti ketika matanya menangkap ekspresi Gina yang menyeramkan. Mulut Gian terkatup rapat, memasang ekspresi seolah paham apa yang dimaksud oleh Gina walaupun masih terdapat percikan jahil di wajah tampannya.
"Dua minggu loh Kak, kenapa nggak bilang? Kak Gino nggak percaya lagi kah sama kemampuan percintaan adik cantikmu ini?" Volume suara Gina semakin lama semakin mengecil.
"Walau kita bertiga udah kayak satu orang dibelah tiga, tetep aja. Nggak semua perasaan maupun kejadian yang terjadi bisa diceritakan, Gina," ujar Gian bijak.
Bukannya merasa terkagum atau paham dengan apa yang Gian ucapkan tadi, Gina beringsut menjauhi sang kakak. Berusaha menyembunyikan tubuhnya di balik punggung sang Mama. Tidak jauh berbeda dengan Gino, ia meraih bantal besar di sampingnya setelah itu ikut beringsut menjauh berlindung di balik Mama mereka.
"Kesurupan!" teriak Gina keras.
"Karma jadi dukun pagi tadi kayaknya. Hati-hati Ma." Tangan Gino yang terbebas dari bantal meraba-raba nakas yang berada tepat di sampingnya, mencari gelas berisi air yang biasanya sang Mama simpan untuk jaga-jaga jika malam hari terbangun.
"Kakak serius. Ini kapan selesainya si?"
Pffftttt.
Suara semburan menjadi sesuatu yang dominan terdengar di kamar itu sebelum tergantikan oleh tawa renyah sang Mama. Entah sudah berapa kali ia tertawa hari ini, ketiga anak kembarnya sangat susah sekali diajak untuk berbicara serius tanpa adanya candaan.
"Gino!" seru Gian kaget.
Bruk.
Seakan tidak diberi waktu untuk sekedar mengelap wajahnya yang basah sebuah timpukan bantal kembali mendarat di wajah Gian. Kali ini bahkan sukses membuat anak sulung keluarga Adhitama terjengkang ke belakang.
Gina yang baru saja menimpuk sang kakak dengan bantal, dengan cepat merangkak menuju ke arah Gian. Ia menarik-narik baju tidur Gian sembari berteriak memeberikan perintah agar setan yang berada di tubuh kakak kembarnya itu segera keluar.
Begitu juga dengan Gino, ia menepuk-nepuk, nyaris menampar pipi Gian seolah di dalam tubuh kakak kembar mereka berdua sungguh-sungguh terdapat makhluk halus yang merasuki.
"Simsalabim, keluar! Saya kasihan kepada anda, wahai tuan setan yang terhormat. Anda telah salah menyinggahi tubuh ini." Gina menarik nafas sejenak untuk mengisi energinya agar bisa bersuara dengan lantang lagi.
"Sekedar memberitahu saja, Gian Adhitama tidak layak untuk disandingkan oleh derajat anda yang tinggi, wahai setan yang merasuki," sambung Gina melanjutkan.
"Wah langsung keluar tuh setannya." Suara Gino sedikit bergetar ketika melihat raut wajah Gian yang sangat mengerikan. Walaupun kakaknya ini memiliki sifat jahil yang tidak tertahankan, akan tetapi Gian akan sangat menyeramkan ketika ia marah.
Gino tahu, seharusnya dirinya dan juga Gina tidak sepantasnya menjadikan ucapan kakak mereka sebagai sebuah candaan. Ia menepuk pelan punggung Gina agar berhenti menjahili Gian yang sudah sangat mengerikan.
Bukannya Gina tidak tahu bahwa Gian yang sedang ia jahili ini menunjukkan raut amarah yang amat kentara, hanya saja Gina tidak perduli.
Ia hanya ingin membalaskan dendam dari apa yang Gian lakukan ketika di parkiran beberapa waktu yang lalu. Setidaknya Gina yakin bahwa sesuatu yang dilakukan oleh seseorang harus ada balasannya barang sedikit.
Kebaikan akan dibalas oleh kebaikan, dan kejahatan akan dibalas oleh kejahatan. Hukum alam yang entah kapan saja bisa terjadi.
Sebenarnya meskipun kedua kakaknya melakukan kejahatan kepada Gina, ia tidak akan membalasnya, mungkin hanya akan menegurnya dan menunggu kapan kedua kakak kembarnya itu sadar akan kesalahan mereka.
Tentunya pengecualian jika itu adalah sebuah kejahilan, toh Gina yakin kakaknya ini tidak akan tega memarahi dirinya walaupun balas menjahili.
"Gina, udah ah. Lanjut lagi, udah malem ini. Kasian Gian itu udah disembur ditimpuk bantal pula." Sang Mama terkekeh gemas. Ia menarik belakang baju Gina dan Gino agar menjauh dari Gian yang terlihat diselimuti kekesalan.
"Jadi gini, Mama yakin kalau Gino udah bilang pacarnya orang baik, pasti juga baik di mata Mama. Mama percaya sama keputusan Gino, apapun itu."
Hening sejenak, sang Mama melirik ketiga anak kembarnya satu persatu, menatap mereka dalam, seolah memberitahu bahwa apa yang akan diucapkannya setelah ini adalah se suatu yang teramat penting bagi mereka.
Gian, Gino, dan Gina dengan cepat menangkap maksud sang Mama. Mereka terdiam, duduk manis sambil menatap sang Mama balik dengan tatapan yang sama. Jika sudah seperti ini, sang Mama tahu bahwa ketiga anaknya tidak akan menyela apa yang seharusnya dibicarakan.
"Denger, karena kalian susah banget buat diajak ngobrol serius tentang Octaviona yang nggak lain pacarnya Gino," ucapan wanita awet muda itu terhenti, kali ini ia melirik ke arah Gino dengan tatapan serius dan tegas yang amat mencekam.
"Mama pengen minggu depan kamu bawa pacar kamu ke rumah. Kenalin sama Mama, sama dua saudara kembar kamu juga." Sepersekian detik setelah sang Mama mengucapkan hal itu, ia dengan segera memeluk tubuh Gina yang mulai gemetar.
Begitu juga dengan Gian, ia mengelus kepala Gina agar tenang. Setiap melihat adik perempuannya seperti ini, selalu membuat Gian seolah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Gina.
Ikatan. Sebuah ikatan saudara kembar yang teramat kuat.
Gino juga dengan cepat meraih tangan Gina, mengelusnya agar tenang. Ia menatap netra hitam itu bergetar panik sarat akan ketakutan.
"Hei, Gina, liat kakak." Merasa tidak ada respon dari Gina yang menatap kosong ke arah depan, Gino berusaha memanggil nama adiknya itu sekali lagi.
"Gina."
Mata Gina berganti fokus ke arah dimana mata yang sama persis dengan dirinya itu menatapnya dengan sorot kesedihan dan kekhawatiran.
"Pacar kakak orang baik, nggak bakal ngapa-ngapain kamu, ya? Percaya sama kakak. Octaviona orang baik, seseorang yang bahkan lebih baik dari kakak sendiri," ujar Gino meyakinkan.
Mata Gina menyelam jauh ke arah netra hitam Gino, mencari sebuah keraguan dari ucapan kakak kembarnya, namun nihil. Keyakinan dan rasa percaya yang teramat besar menyelimuti sorot mata lelaki tersebut.
Sampai akhirnya Gina mengangguk. Menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada Gino. Perlahan, tubuhnya sudah tidak bergetar lagi. Nafasnya yang tadi sempat terasa sesak sudah bisa ia kendalikan.
Membuat sang Mama, Gian juga Gino tersenyum kemudian memeluk Gina dengan kasih sayang yang menyelimuti.