Suara ketukan high heels yang beradu langsung dengan lantai terdengar mengalun indah di telinga siapapun yang mendengarnya. Langkah demi langkah terdengar sangat teratur dan elegan. Membuat siapapun tahu bahwa seseorang yang berjalan itu merupakan perempuan yang anggun dengan pembawaannya yang tenang.
Gina sedikit menghela nafas lelah ketika dirinya selesai menaiki anak tangga terakhir. Matanya menelusuri tempat yang saat ini akan menjadi lokasi makan malam keluarga Adhitama dan salah satu calon keluarga mereka.
Meja panjang berwarna putih dan kursi klasik berwarna coklat dengan ukiran-ukiran unik mempercantik suasana. Cukup sederhana, namun suasana malam dipenuhi bintang dan bulan juga makanan yang tersaji membuat siapapun yang melihatnya akan langsung merasakan sebuah kebahagiaan di tempat ini.
Mamanya tidak memilih restoran bintang lima untuk menyambut kekasih salah satu anaknya. Bukan karena tidak ingin memberikan yang terbaik untuk sang tamu, tetapi agar meminimalisir hal buruk terjadi jika Gina berada di tempat ramai dengan seseorang yang baru saja ia kenal.
"Kok masih sepi?" monolog Gina. Kedua kakinya yang dibalut heels berwarna peach yang senada dengan dress selutut miliknya melangkah menuju salah satu kursi meja makan.
"Eh si cantik, apa kabar? Kangen nggak sama Bibi?" Suara serak sekaligus ramah dari seorang wanita paruh baya menyambut Gina saat dirinya baru saja duduk.
Ia menatap datar salah satu asisten rumah tangga yang tersenyum hangat menatap wajahnya. Ingin rasanya Gina meralat sesuatu yang baru saja ia ucapkan tadi.
Beberapa asisten rumah tangga yang sempat sang Mama liburkan satu bulan lalu selama liburan sekolah, dipekerjakan lagi mulai hari ini. Selain untuk makan malam kekasih Gino, mulai besok dirinya juga seluruh murid sekolah akan kembali bersekolah seperti biasa.
Hal itulah mengapa tuan rumah keluarga Adhitama tersebut menghentikan liburan semua asisten rumah tangganya.
Tanpa ada niat merespon bahkan sedikit, Gina memilih mengeluarkan smartphone nya menghiraukan ucapan dari Bi Mora. Kepala asisten rumah tangga yang mendapat gaji paling besar.
Trauma masa lalu Gina membuat dirinya enggan untuk bersosialisasi bahkan hanya untuk melontarkan sebuah senyuman kepada orang lain selain keluarga dan sahabatnya sendiri.
Bi Mora tersenyum getir melihat apa yang Gina lakukan kepada dirinya. Hatinya berusaha memaklumi atas apa yang majikannya berikan entah sudah keberapa kali. Ingin menangis rasanya jika mengingat apa yang terjadi dengan gadis cantik di depannya ini. Kehidupan masa kecilnya yang menyedihkan membuat Gina terbentuk menjadi seperti sekarang.
Seorang gadis berumur tujuh belas tahun yang memiliki gangguan kecemasan sosial. Dimana penderita sangat takut akan penilaian orang lain. Itu mengapa Gina tidak pernah ingin dekat dengan siapapun, tidak ingin dirinya lebih jauh dikenal oleh orang lain.
Membuat seorang Gina lebih memilih untuk menjadi seseorang yang dibenci orang-orang agar setidaknya mereka tidak mendekati dirinya hanya untuk memberikan penilaian yang amat menyakitkan seperti dulu.
Penilaian dari orang munafik yang tidak pernah sadar akan diri sendiri. Manusia yang selalu merasa dirinya paling benar tanpa tahu apa yang sebenarnya orang lain rasakan kepada dirinya. Orang-orang yang dengan gampangnya menilai tanpa tahu apa-apa.
Untuk saat ini gadis itu hanya menginginkan kedua kakak kembarnya, sang Mama dan Suzy tidak akan pernah meninggalkannya. Hanya mereka kekuatan Gina saat ini.
"Bi, tolong suruh yang lain buat beresin dapur ya. Berantakan banget soalnya." Suara lembut sang Mama terdengar jelas di pendengaran Bi Mora. Sontak wanita paruh baya dengan tubuh sedikit berisi itu menoleh ke belakang. Di mana nyonya besarnya berada.
Ketika kedua mata mereka bertemu, sang Mama tersenyum hangat. Berusaha menenangkan hati Bi Mora agar tidak merasa tersakiti lagi. Sedangkan Bi Mora ikut tersenyum, ia sangat mengerti akan kondisi Gina. Walaupun gadis bungsu itu sering sekali berlaku kasar kepadanya, ia tidak pernah merasa kesal sedikitpun kepada Gina.
Gina anak yang baik, ia yakin itu. Orang-orang jahat lah yang membuat seorang Gina Adhitama menjadi seperti ini.
"Iya, nyonya," balas Bi Mora sopan. Ia dengan cekatan berjalan ke arah asisten rumah tangga yang lain untuk menyampaikan perintah tuan rumah. Sekaligus meninggalkan Ibu dan Anak itu berdua.
"Mama lagi ada di sini loh, kenapa main hp terus? Jangan-jangan kamu juga sama kayak Gino, ya. Punya pacar?" gurau sang Mama disertai kekehan.
Sang Mama duduk di kursi utama. Di mana di hadapan kursi itu tidak ada siapa-siapa yang mendudukinya lagi.
Dengan cepat Gina meletakan handphone nya dengan sedikit bantingan ke meja. Menandakan bahwa apa yang sang Mama ucapkan merupakan sesuatu yang tidak mungkin Gina lakukan saat ini.
Gina menoleh ke arah sang Mama yang juga sedang menatapnya. Ia menunjukkan sorot mata hangat dengan setitik kesedihan dan kasih sayang yang besar kepada wanita tersebut. Berbanding terbalik dengan apa yang Gina berikan kepada Bi Mora beberapa waktu yang lalu.
"Kamu nggak papa?" tanya sang Mama lembut.
Mendengar pertanyaan sang Mama membuat kening Gina reflek mengkerut. Tatapan bingung Gina lemparkan kepada Mamanya.
"Maksudnya?"
Senyum getir berusaha sang Mama sembunyikan dari hadapan Gina. Dirinya sekuat tenaga menunjukkan senyum setulus mungkin agar Gina tidak merasakan kekhawatirannya.
Sampai akhirnya hanya gelengan yang menjadi jawaban atas kebingungan Gina tadi. Sang Mama berdiri menghampiri Gina yang semakin menatap heran ke arah Mamanya ini.
"Anak Mama yang kuat, anak Mama yang baik. Makasih karena selalu bertahan ya, sayang." Pelukan hangat penuh kasih sayang Gina terima dari sang Mama.
Rasa bingung yang sempat menggerogotinya sekarang digantikan oleh perasaan yang Gina pun tidak tahu harus bagaimana mendeskripsikannya. Ia membalas pelukan sang Mama tak kalah eratnya. Berusaha menyalurkan semua yang ia hadapi selama ini.
"Dari awal Mama takut. Takut kamu ditahan di rumah sakit sialan itu lagi," ujar sang Mama. Suaranya bergetar dan tertahan, berusaha agar tidak terisak.
"Mama takut, perasaan Mama dari kemarin beneran nggak enak dan fikiran Mama terus tertuju ke arah kamu." Hati Gina terenyuh mendengar penuturan dari sang Mama.
Memang, kabar yang ia terima beberapa waktu ini berpotensi membuat traumanya kembali bangkit tak terkontrol. Gina sendiri tidak dapat menampik bahwa dirinya amat takut mendengar semua itu.
"Mama bersyukur kamu bisa nerima kabar pacar Gino sama kepergian Mama ke New York tanpa harus teriak takut kayak dulu." Tangis sang Mama pecah di bahu Gina. Ia mengingat semua reaksi Gina bila itu berhubungan dengan traumanya.
Seperti dulu saat Gina dipaksa untuk sekolah dan bertemu dengan orang banyak. Ia harus diberi obat penenang dengan dosis yang sangat tinggi dan itu membuat hati sang Mama tergores begitu dalam.
"Shuuut ... Mama jangan nangis. Nanti jelek loh pas ketemu sama calon menantu." Gina tertawa pelan. Berusaha untuk membuat sang Mama kembali tersenyum dan tidak mengkhawatirkan dirinya lagi.
Mamanya ini memang terkadang memutuskan sesuatu yang teramat fatal pada mental rapuh Gina, namun Gina sendiri yakin bahwa sang Mama melakukan hal tersebut untuk kebaikan dirinya dan juga yang lain.
"Mama jangan khawatir sama Gina. Gina udah mulai bisa ngontrol diri kok. Lagian pacarnya Kak Gino baik, terus Mama ke New York juga karena ada hal yang penting." Pelukan sang Mama ia lepas. Sebagai gantinya gadis cantik tersebut mengusap jejak air mata di pipi sang Mama.
"Gina nggak papa, semua bakal baik-baik aja. Mama jangan nangis lagi, ya?"
Bibir Gina mendarat di kening halus sang Mama. Ia mengecup dengan rasa sayang yang teramat dalam kepada seseorang yang sudah melahirkannya tersebut.
"Selama Mama nggak ada, kami bisa janji sama Mama?"
"Janji apa?" Senyum hangat terpatri di wajah cantik Gina. Matanya menatap dalam tepat terarah kepada kedua netra hitam sang Mama.
"Janji kalau kamu nggak bakal kenapa-napa sampai Mama pulang ke Indonesia."
Nada sarat akan permohonan itu berhasil masuk ke relung hati Gina yang paling dalam. Menumbuhkan sebuah tekad dan niat yang kuat untuk menuruti keinginan sang Mama.
Gelenyar rasa tanggung jawab yang besar dipadu dengan kasih sayang kepada orang terkasihnya membuat Gina tidak ingin melihat lukisan kesedihan tersirat di wajah ayu itu untuk yang kedua kalinya.
Membuat Gina mengangguk, berjanji kepada sang Mama dan dirinya sendiri bahwa ia harus baik-baik saja.