"Ada apa ini?" Suara bariton berat milik Gian menyapa pendengaran kedua manusia yang sedang terhanyut dalam belenggu kehangatan penuh kasih sayang di tempat itu. Membuat suasana teralih begitu saja dalam sekejap mata. Gina maupun sang Mama menolehkan ke arah Gian yang sedang melangkahkan kakinya menuju ke arah mereka.
Kening Gian sedikit berkerut saat pandangannya secara perlahan menangkap apa yang terjadi. Jantungnya serasa mencelus begitu saja ketika melihat jejak air mata yang tertinggal jelas di kedua pipi sang Mama. Langkah kakinya ia percepat, rasa panik langsung menyergapnya.
Setelah sampai di dekat Gina dan sang Mama, Gian mencengkram halus bahu Mama mereka, menyalurkan rasa khawatir yang langsung ditangkap oleh sang Mama. "Mama kenapa nangis?" Putra sulung keluarga Adhitama tersebut menatap sang Mama seakan baru saja terjadi sebuah bencana yang teramat besar.
Hal itu sontak membuat sang Mama maupun Gina tersenyum. Hati sang Mama membuncah bahagia melihat dirinya membesarkan anak seperti Gian. Rasa tanggung jawab yang besar seakan sudah melekat di pembuluh nadi lelaki tersebut. Membuatnya merasa keluarganya berada di balik perlindungannya.
Bukan hanya Gian yang amat wanita itu syukuri, kedua anaknya yang lain juga benar-benar membuatnya bahagia. Andaikan almarhum suaminya tahu jika anak kembar mereka tumbuh menjadi orang-orang yang sangat membanggakan seperti ini, sang Mama yakin pasti suaminya itu akan merasa sangat bahagia melebihi dirinya.
Rasa takut dan khawatir yang sempat membuat sang Mama menangis beberapa waktu lalu tergantikan secepat kilat oleh rasa haru. Liquid bening kembali terjatuh dengan rasa serta makna yang berbeda.
Akan tetapi, air mata yang baru saja bebas meluncur di pipi sang Mama membuat Gian dan Gina salah paham. Rasa panik kembali menyerang mereka.
"Mama kenapa nangis lagi?!"pekik Gina khawatir. Usapan lembut di lengan sang Mama Gina berikan dengan harapan agar wanita tersebut berhenti menangis. Sedangkan Gian yang sedari awal tidak tahu penyebab sang Mama menangis justru bertambah panik, ia dengan cepat mengusap air mata kemudian memeluk Mama mereka.
Melihat reaksi anak kembarnya membuat sang Mama bertambah bahagia. Air matanya terjatuh dengan deras di kemeja hitam milik Gian. Rasa bersalah karena tidak bisa menikmati liburan selama sebulan bersama Gian, Gino dan Gina berhasil menampar sang Mama dalam bayangannya sendiri.
Betapa sabarnya mereka berusaha mengerti seberapa sibuknya sang Mama, membuat wanita awet muda tersebut merasa menjadi seorang orang tua yang gagal. Ingin rasanya sang Mama memutar waktu agar setidaknya ia bisa menuruti permintaan Gina, yaitu sekedar berjalan-jalan di taman hanya mereka berempat. Menikmati bagaimana rasanya memeluk kehangatan keluarganya.
Namun penyesalan selalu datang terlambat, sekarang tidak ada pilihan lain selain menjalankan apa yang sudah terjadi. Dirinya besok akan pergi ke New York dalam jangka waktu yang lama bersamaan dengan Gian, Gino, dan Gina yang kembali masuk sekolah.
Ditambah lagi hari ini merupakan perkenalan kekasih salah satu dari ketiga anak kembarnya. Sang Mama hanya berharap keputusannya mengundang kekasih Gino untuk mengenal mereka tidak salah. Mengingat Gina yang memiliki gangguan mental cukup membuat keputusan sang Mama benar-benar memiliki resiko yang teramat besar.
"Mama kenapa? Coba jelasin ke Gian atau Gina. Kalau Mama nangis kayak gini terus, anak-anak Mama beneran bisa mati muda cuman gara-gara khawatir sama Mama." Suara Gian sedikit bergetar ketika mengucapkannya. Ia tidak berbohong soal apa yang baru diucapkannya tadi.
Semenjak tujuh tahun yang lalu tepat setelah Papa mereka meninggal, Mama dari ketiga anak kembar itu sangat jarang menangis. Berusaha tegar di hadapan anak-anaknya sendiri. Mereka tahu, Mamanya hanya akan menangis jika ada sesuatu yang sangat mengguncang hati rapuhnya.
Sebab itulah mengapa ketika satu tetes saja ada air mata yang turun dari netra hitam sang Mama, ketiga anak kembar tersebut akan ikut terguncang dan panik.
Sang Mama melepaskan palukan dirinya dari Gian. Mata sembabnya menatap bergantian Gian dan Gina yang melihatnya dengan sorot mata yang sama. Kedua sudut bibir sang Mama tertarik ke atas, membentuk senyuman keibuan yang membuat hati Gian dan Gina merasa sedikit tenang.
"Gino udah ada dimana? Kok lama banget?"
"Mama kenapa tadi na--"
"Jam berapa sekarang?" Pertanyaan Gian sang Mama potong begitu saja. Dirinya tidak ingin membahas apa penyebab air mata itu turun begitu deras, ia tidak ingin membuat kedua anaknya ikut berlarut seperti dirinya. Gina yang sedari tadi diam memperhatikan sang Mama, kini beralih menatap Gian.
Ia menepuk pundak Gian dengan lembut, membuat kakak kembarnya itu mengalihkan atensinya ke arah Gina. "Mama nggak papa kok," ujar Gina berusaha menangkan Gian yang masih tegang karena panik.
Sang Mama yang mendengar perkataan Gina ikut memegang pundak anak sulungnya, tangannya ia usap naik turun untuk memberikan rasa tenang. Mama dari ketiga remaja itu tersenyum hangat saat Gian kembali menatap dirinya.
"Mama tadi nangis bahagia, kamu jangan khawatir, ya." Ucapan kedua yang berusaha menenangkannya itu sukses membuat rasa panik Gian menguap. Ia mengangguk mengerti setelah itu mengecup kening sang Mama penuh kasih sayang.
Selama beberapa detik ruangan itu terasa sangat hening. Mereka saling tenggelam dengan pikirannua masing-masing. Sampai celetukan Gina membuat suasana di sana menjadi lebih baik.
"Kenapa jadi mellow sih? Udahlah Kak, nggak usah lebay. Biasanya juga cosplay Malin Kundang ke Mama." Gurauan Gina lontarkan untuk memancing jiwa Gian yang satu lagi. Dirinya lebih menyukai Gian yang penuh dengan kejahilan daripada Gian yang sangat serus seperti ini.
Gian sontak membulatkan matanya. Sejak kapan ia bersikap durhaka kepada Mamanya? Sebelah tangannya reflek menoyor kepala Gina dengan kuat. Membuat Gina sedikit terhuyung ke belakang. Sang Mama yang melihat itu terkejut, namun tidak lama kemudian mengeluarkan suara tawanya lagi.
Anak-anaknya sungguh ajaib, seperti penyihir yang secepat kilat dapat mengendalikan seseorang. Menyihir orang-orang di dekat mereka dengan cara mengubah suasana hati mereka sekejap mata. Dari sedih ke senang dan terakhir berlabuh dengan gelak tawa.
"Tuh kan malin kundang. Durhaka ke adek sendiri. Cowok macam apa yang berani noyor kepala cewek?" Gina menjauh saat Gian baru saja ingin mengusap kepalanya. Ia tahu Kakak kembarnya itu tidak sengaja menoyor kepalanya. Lagipula Gina sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk Gian yang satu itu.
"Sejak kapan malin kundang durhaka sama adeknya? Punya aja nggak," balas Gian sewot. Dalam hati Gina bersyukur sepertinya lelaki yang satu itu sudah melupakan kekhawatirannya.
"Sejak Kak Gino jadi orang yang kasar." Gina menjulurkan lidah untuk mengejek Gian. Ia senang melihat wajah kesal yang terukir di wajah tampan Gian. Hitung-hitung membalas semua kejahilan Gian kepada dirinya selama tujuh belas tahun mereka hidup bersama.
Gina juga ingin membalaskan dendam Gino kepada kakak kembar mereka berdua. Kasihan sekali kakak keduanya itu, tidak pernah ada keinginan atau mungkin sebuah keberanian untuk sekedar membalas kejahilan seorang Gian.
"Gino nggak pernah kasar."
"Tuh tau." Setelah Gina mengucapkan hal itu, ia berlari. Mencoba agar tidak tertangkap oleh Gian yang terlihat jengkel dengan dirinya. Sampai akhirnya kegiatan mereka terhenti saat Bi Mora yang tak lain adalah kepala asisten rumah tangga mereka berbicara untuk memberikan sebuah kabar.
"Nyoya Adhitama, mobil Gino sudah sampai."