Ketiga pasang mata di hadapan sang Papa memancarkan ketertarikan yang amat kuat. Seumur hidup? Sebesar itukah sesuatu yang akan diberikan Papa mereka kali ini?
Melihat pancaran mata anak-anaknya, membuat sang Papa terkekeh. Rasanya seluruh rasa sakit di tubuhnya hilang begitu saja. Ya, mungkin untuk saat ini bukan obat yang dapat membuatnya sembuh, tapi kehangatan keluarga kecilnya yang selalu ada untuknya lah yang dapat membuatnya bertahan.
"Nah, udah kan? Sekarang coba ceritain ada apa di sekolah hari ini."
"Hm?" Gina sontak menatap bingung ke arah sang Papa. "Yang udah apanya, Pa?"
"Ya, Papa udah ngasih tau itu apa barusan." jawab Papa beranak tiga tersebut. Sedikit menjahili anak kembarnya tidak apa, bukan?
"Sesuatu yang bakal dipake Gina, Gino, Gian seumur hidup? Itu aja?" Rasanya mulut Gina sudah terbuka beberapa senti ke bawah. Tidak percaya dengan apa yang dilakukan sang Papa saat ini.
Sebagai jawaban, Papanya hanya mengangguk sembari berusaha menahan tawa. Jika Gian dan Gino hanya diam saat dijahili olehnya, berbeda sekali dengan Gina yang selalu berani memprotes apa yang sang Papa lakukan kepadanya.
"Tapi itu bukan jawaban yang Gina mau, Papa ... " rengek Gina lagi. Ia menggeser tubuhnya agar bisa mendekat ke arah Gino. Tangannya menangkap sebelah tangan kakak kembarnya dan menyenderkan kepalanya ke atas bahu Gino. Memperlihatkan bahwa dirinya tengah merajuk kepada sang Papa.
"Kak Gino," panggil Gina lirih.
"Apa?"
"Kok Kakak bisa nggak sebel sih sama Papa?" Mendengar pertanyaan tersebut, Gino segera menatap ke arah Papa mereka dan tersenyum. Tidak lama setelah mendapat senyum balasan dari sang empu yang di tatapnya, Gino kembali mengalihkan atensinya ke arah Gina.
Sebelah tangan Gino yang tidak dipeluk oleh Gina ia angkat untuk mengelus kepala adik kembarnya itu.
"Kakak nggak punya alesan apapun buat sebel atau marah sama Papa. Setidaknya walau Papa sama jahilnya sama Kak Gian, kasih sayang Papa, jasa Papa, sama semua yang udah Papa kasih buat kita itu udah buat Kakak punya banyak alesan buat ngeredam semua rasa marah," ujar Gino lembut.
Hal itu sontak membuat Gina membeku. Kakak kembarnya yang satu ini memang jarang sekali berbicara, akan tetapi sekali saja Gino mengeluarkan suaranya, semua perkataan yang keluar dapat membuat dirinya maupun orang lain tertampar secara tidak langsung.
"Jadi, Gina harus minta maaf ya sama Papa?"
"Kalau Gina ngerasa apa yang Gina lakuin tadi itu salah, udah seharusnya Gina minta maaf sama Papa." Suara yang lebih berat dan terkesan tegas itu sukses membuat Gina mengalihkan tatapannya. Gian yang berada tepat di hadapannya sekarang sudah tidak memegang selembar kertas itu lagi.
Semenjak Gina merengek kepada Papa mereka, Gian menghentikan aktifitasnya begitu saja. Tidak peduli apa yang ada di dalam kertas itu, saat ini Gian pun merasa sama tertamparnya seperti Gina ketika Gino mengucapkan sesuatu tentang Papa mereka.
Benar, apa yang Gino ucapkan semuanya benar. Ditambah lagi kondisi sang Papa yang sedang tidak baik-baik saja. Seharusnya mereka membahagiakan Papanya, bukannya memprotes segala perlakuan salah satu orang tua mereka. Semenjengkelkan apapun itu.
Gina mengangguk, kepala yang tadi ia sandarkan di bahu Gian ia angkat ke atas, berniat untuk meminta maaf kepada Papanya.
"Pa, Gina minta ma--" Ucapan Gina terpotong, matanya melotot saat iris hitamnya menangkap apa yang ia lihat di depannya.
"Papa kenapa nangis?!" Pekikan Gina sontak membuat kedua kakak kembarnya ikut menoleh ke arah sang Papa. Sama terkejutnya dengan Gina, Gian dan Gino reflek mendekat ke arah Papa mereka, berusaha memberikan ketenangan serta mencari tahu apa penyebab aliran sungai kecil itu meluncur di pipi sang Papa.
"Iya-iya Gina nggak bakal ngerengek lagi kalau Papa nggak mau nunjukin yang Papa nggak mau tunjukkin. Gina janji bakal jadi anak yang bakal nurut sama Papa, apapun itu, tapi Papa jangan nangis ya. Maafin Gina, Gina salah," cerocos Gina panik.
Ia menjulurkan kedua tangannya, menghapus air mata yang mengalir di kedua pipi sang Papa.
Bukannya berhenti menangis, tangisan sang Papa malah semakin deras. Bahkan isak tangis mulai terdengar di telinga Gina, Gino, dan Gian. Kepanikan dan kekalutan semakin merasuki tubuh mereka bertiga, mengirimkan rasa sesak ke dalam dada.
"Papa kenapa, ada yang sakit?" tanya Gino. Tangannya menggenggam erat sebelah tangan Papanya, berharap dengan itu sang Papa bisa berhenti menangis.
"Biar Gian panggilin dokter, kalian jaga Papa."
Sebelum Gian dapat beranjak dari atas kasur rumah sakit, tangan sang Papa segera mencegat agar dirinya tidak pergi. Sang Papa menggeleng, memerintahkan agar Gian kembali duduk di tempatnya dengan tenang.
"Nggak, Papa nggak papa." Papa dari ketiga anak kembar itu mengatur nafasnya agar kembali normal. Dirinya baru saja bisa mengendalikan tangisnya. Setelah beberapa menit ia menenangkan diri, akhirnya sang Papa mengangkat pandangannya.
Menatap ketiga anak kembarnya dengan tatapan menenangkan, seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
"Jangan ngeliat Papa kayak gitu, senyum lagi coba." Sang Papa menghela nafas, dirinya sedikit merasa bersalah telah membuat suasana hari ini menjadi berubah. Akan tetapi, kepanikan Gian, Gino, dan Gina tidak pernah membuat hatinya berhenti tersentuh.
"Maafin Gina, Pa." lirih Gina lagi. Ia merasa mungkin penyebab dari tangisan sang Papa hari ini adalah dirinya. Rasanya Gina ingin memukul kepalanya berkali-kali dan menyebutkan kata 'bodoh' untuk dirinya sendiri. Hal itulah yang ingin dirinya lakukan ketika tahu bahwa penyebab Papanya menangis adalah dirinya.
"Kenapa minta maaf? Gina cuman ngerengek sama Papa, bukan ngebentak Papa segala macem." Sang Papa mengelus rambut Gina sayang, ia tidak suka melihat raut wajah sedih yang tercetak di wajah anak perempuannya itu.
"Jadi, kamu nggak salah, Sayang. Papa nangis bukan gara-gara Gina ngerengek, bukan."
"Terus kenapa? Papa ngerasa sakit lagi?"
Sang Papa menggeleng, senyum serta tatapan lembut ia lemparkan ke arah ketiga anaknya yang mulai menunjukkan raut wajah khawatir.
"Makasih," ucap sang Papa tulus. Membuat ketiga anaknya mengernyit bingung. Makasih? untuk apa Papa mereka itu berterima kasih?
Tahu akan kebingungan anak-anaknya, sang Papa kembali membuka mulut melanjutkan, "Makasih udah jadi anak-anaknya Papa. Papa beruntung punya putra sama putri kayak kalian."
Walau masih merasa sedikit bingung dengan ucapan terima kasih sang Papa, hal itu tak ayal membuat hati Gian, Gino, dan Gina menghangat. Yang mereka tangkap hanya satu, yaitu bahwa sang Papa merasa bangga dan bahagia memiliki anak-anak seperti mereka.
Ketiga anak kembar itu serentak tersenyum, merasa lega menerima fakta bahwa tadi sang Papa menangis karena bahagia, bukan karena kesedihan. Tangan Gina sang empu rentangkan, hendak memeluk sang Papa sebelum tindakannya itu terhenti.
Gina melirik ke arah kanan dan kirinya, sedikit mendengus saat melihat Gino serta Gian juga hendak memeluk Papa mereka. Hal itu sontak membuat sang Papa terkekeh.
"Sini peluk." Papa dari ketiga anak kembar itu ikut merentangkan tangannya, memerintahkan agar anak-anaknya memeluk dirinya secara bersamaan.
"Kalau kita bertiga peluk Papa, Papa nggak bakal sakit, kan? Nggak ada bekas operasi yang bakal bikin Papa sakit, kan?" tanya Gino. Dirinya masih merasa khawatir jika ada luka operasi yang ada di tubuh bagian depan sang Papa.
"Kalau di peluk sama kalian, nggak bakal sakit. Jadi, sini peluk."
Dengan girang namun penuh dengan kehati-hatian, Gian, Gino dan Gina memeluk sang Papa. Membagi rasa hangat dan kasih sayang yang sama. Membentuk sebuah kebahagiaan tiada tara yang sangat besar. Masing-masing dari mereka hanya berharap bahwa rasa hangat ini tidak akan pernah berakhir, sampai kapanpun.