"Kalian berdua mau pada kemana? Kok udah pada rapi?" Gian menaruh buku yang sedari tadi ia baca. Posisi tubuhnya segera ia ganti menjadi duduk setelah melihat kedua adik kembarnya sudah rapi dengan baju santai masing-masing.
"Mau ngopi di warteg. Kak Gian mau ikut?" jawab Gina menghampiri salah satu kakak kembarnya itu. Ia menjulurkan sebelah tangannya kepada Gian.
"Apa ini maksudnya?" Gian sedikit mendongak melirik ke arah Gina yang berdiri di hadapannya.
"Minta duit."
"Kan udah dikasih jatah uang bulanan masing-masing sama Mama." Sebuah tepukkan Gian berikan pada tangan Gina yang masih terjulur di depan wajahnya, menyebabkan tangan mulus tersebut terhempas kesamping.
Tidak ingin menyerah sampai mendapatkan uang jajan tambahan, Gina menjulurkan sebelah tangannya lagi di depan waja Gian.
Raut wajah gadis yang hari ini mengikat rambut bergelombangnya ke atas, terasa begitu datar. Tanpa adanya setitik ekspresi apapun di wajahnya, hanya menatap Gian menunggu sang kakak memberikan apa yang dirinya inginkan.
Namun Gian sangat paham apa yang ada di dalam fikiran Gina. Kali ini ia menghela nafas kasar, mengangguk pelan serta bangkit dari posisi duduknya di sofa ruang keluarga.
"Penting? Kamu mau beli sesuatu yang mahal, kan? Kakak harap jangan beli yang nggak-nggak ya." Usapan lembut dari Gian terasa di atas kepala Gina, sontak hal tersebut membuat ekspresi Gina berangsur-angsur menjadi lebih hidup.
Senyuman manis terpatri di wajahnya yang manis juga cantik seorang Gina Adhitama. Memberitahukan rasa terimakasih dari raut wajah yang sangat ingin Gian lihat dan pertahankan.
Kebahagiaan Gina adalah kebahagiaan dirinya, begitupula dengan Gino.
"Bentar kakak ambil dulu uangnya. Atau mau langsung transfer?" Gian yang tadi baru saja ingin berjalan ke arah tangga menuju kamarnya seketika terhenti.
Gina semakin melebarkan senyumnya saat Gian bertanya seperti itu. Dengan semangat, Gina mengeluarkan kartu yang biasa dia gunakan untuk bertransaksi jual beli.
"Ck. Berarti beneran harus gede ya ngasih uangnya." Sorot mata sebal ia lempar tepat ke arah netra Gina yang tengah berbinar senang.
"Kalau ngasih uang gak usah nanggung," ujar Gina sambil menjatuhkan tubuhnya ke arah sofa yang tadi Gian tempati. Tanpa melihat lagi apakah Gian sudah kembali bergegas ke kamarnya atau belum, Gina lebih tertarik kepada buku di sampingnya.
"Detektif. Cerita fiksi, kah? Tumben banget kak Gian baca yang kayak ginian." Setelah sekian lama Gina bermonolog dan mebalik-balikkan buku untuk diteliti, ia melempar buku tersebut kembali ke tempat asalnya dengan kasar. Memilih tidak peduli.
Gina bangkit, berjalan ke arah Gino yang sedari tadi tidak henti-hentinya tersenyum ke arah layar handphone dengan keadaan berdiri. Gina mengernyit ngeri, melihat orang yang sedang dimabuk cinta membuatnya benar-benar merasa menjadi orang paling normal di dunia.
Memorinya kembali terputar ke masa dimana ia dihadapkan oleh dua pasangan yang berdebat romantis hanya karena permasalahan siapa yang membayar. Mata Gina yang beberapa detik lalu terasa kosong dengan cepat melirik ke arah Gino yang masih berada di tempat sama dengan keadaan yang sama.
Ia menggeleng, mana mungkin kan Gino akan menjadi seperti itu saat ingin berkencan dengan 'calon kakak iparnya'? Beberapa menit kemudian senyuman jahil terbentuk begitu saja di bibir merahnya.
"Yang udah punya pacar mah ngeliatin handphone aja udah kayak orang kasamaran sama hp nya bukan sama pasangannya." Gino berjengit kaget. Ia melihat ke arah sumber godaan itu berasal. Ketika matanya sudah menemukan sumber suara itu, kuping Gino kembali memerah.
"Kamu juga nanti gitu kalau punya pacar." Gelengan kuat Gina berikan langsung kepada Gino. Tentu saja ia sangat tidak setuju dengan apa yang diucapkan kakak kembarnya yang satu ini. Tentu saja Gina tidak ingin menjadi salah seorang diantara mereka yang sangat gila menyangkut pasangan mereka.
Sesuatu yang berlebihan sangat tidak bagus, baik itu mengenai kesehatan fisik maupun mental. Gina berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan menjadi seseorang yang sangat diperbudak oleh cinta.
Tidak akan.
"Belum pernah aja kamu punya pacar. Kalau udah punya pasti bakal lebih dari kakak bucin sama Viona." Alis Gino terangkat sebelah dengan seringaian terpatri indah di wajahnya.
"Nggak akan dan nggak mungkin." Dengan serius Gina menentang apa yang Gino ucapkan. Hal itu sontak membuat Gino terkekeh gemas. Sebagai jawaban dari lontaran Gina, Gino hanya mengangguk dan kembali fokus ke arah handphone miliknya.
"Nih uangnya." Kepala Gina reflek meilirik ke arah samping dimana Gian menyodorkan amplop coklat panjang di depan tangannya. Ia mengerjap bingung melihat tingkah Gian yang sepert ini.
"Loh? Bukannya tadi katanya transfer?" Gina langsung berjongkok mentertawakan Gian yang entah kenapa terlihat seperti orang bodoh di hadapannya. Gino juga langsung menoleh ke arah Gian, meneliti ekspresi sang kakak yang terlihat sangat kosong dengan sirat bingung.
"Eh iya, terus kakak tadi ke kamar mau ngapain?" Gian melihat Gina berniat menuntut penjelasan yang dirinya sendiri tidak tahu apa jawabannya, merasa Gina tidak bisa ditanya, Gian beralih menatap Gino menunjukkan ekspresi yang sama.
"Ya, mana Gino tau." Semburan tawa langsung keluar dari mulut Gino. Melihat kakaknya seperti ini selalu membuat perutnya terkelitik geli. Jarang sekali Gian yang memiliki IQ di atas rata-rata menjadi seperti ini. Kecuali satu hal, Gian sedang dilanda masalah dan beban pikiran yang berat.
Saat ingatan tersebut melintas, tawa Gino terhenti. Begitupula dengan Gina, seolah berada di satu tubuh yang sama dengan pemikiran yang sama, dirinya ikut menghentikan tawa.
Kedua pasang mata langsung menatap lembut ke arah Gian, berusaha membuat Kakak mereka mengerti apa maksud dari tatapan Gino dan Gina ini.
"Kak Gian mau cerita?" Alunan suara Gina yang halus membuat hati Gian tergetar ingin menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya. Sangat sulit menyembunyikan sesuatu dari kedua adik kembarnya itu.
"Nggak ada apa-apa kok. Kakak baru inget tadi harusnya ngambil hp." Gian terdiam sejenak, mengulum bibirnya menunjukkan kebiasaannya ketika dia sedang berbohong.
"Kalian mau berangkat jam berapa? Beneran mau ke warteg?"
Gina yang jelas mengetahui segala hal tentang Gian tertawa hambar. Berusaha mengerti bahwa kakaknya tersebut tidak ingin menceritakan masalahnya. Sedangkan Gino mengangguk ragu, ia berpura-pura kembali sibuk dengan benda pipih puluhan juta miliknya.
"Gina mau ke rumah Suzy, Kak Gino mau nge-date sama pacarnya." Sesuatu yang biasanya ia selipi candaan dan kejahilan, Gina hilangkan. Situasi seperti ini benar-benar tidak cocok untuk melakukan hal yang satu itu.
Gian mengangguk, memaksakan seukir senyum manis agar terlukis di wajahnya.
"Yaudah, kalian sana gih berangkat. Kakak bakal tetep ada di rumah baca buku. Kalau ada apa-apa langsung kabarin." Setelah mengucapkan hal tersebut, Gian berbalik, kbali melangkah menaiki tangga menuju kamarnya. Meninggalkan Gino dan Gina yang saling menatap penuh dengan sorot mata mengerti.