Derap sepatu seorang perempuan melangkah di padang rumput hutan yang luas dikelilingi oleh bunga-bunga warna-warni yang tertanam rapi membentuk sepetak lahan persegi panjang.
Bajunya terasa agak berat karena baju yang dikenakannya saat ini merupakan kostum seorang ksatria ber-pedang. Dia masih tidak sadar kalau dia memiliki pedang panjang berwarna hitam yang otomatis ada di belakang punggungnya dengan tari yang berwarna hijau yang dikaitkan ke dadanya untuk membawa sarung pedangnya.
Dia melangkah tanpa tahu arah mana yang tepat untuknya, jauh di depan sana ada sebuah pemandangan alam yang begitu cantik ada di balik rumah rumah berbentuk seperti gubuk, cukup membuatnya terpesona dan ingin sekali mengabadikan pemandangan itu dalam satu jepretan foto.
Sayangnya dia tidak punya alat yang disebut sebagai kamera, jadi bagaimana dia akan menjepret suatu pemandangan yang membuatnya terpesona itu?
"Hah~" dia menghela napas lelahnya begitu berjalan cukup jauh dari tempat awalnya tiba.
Tetapi, dia tidak menemukan batang hidung seseorang yang atau beberapa orang yang lalu-lalang di sekitarnya.
Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, "Apakah tempat ini tidak berpenghuni?" dia merasa aneh, kenapa mungkin dia tiba di area terlarang? Tapi, baginya tempat yang dipijaknya itu mirip sekali dengan desa di permainan RPG.
'Dimanakah aku sebenarnya?' Anko bermonolog, begitu dia merasa cemas karena tidak menemukan apapun saat berjalan jauh dia akhirnya mengakhiri perjalanannya dengan mengistirahatkan tubuhnya di suatu tempat seperti bangku yang telat disediakan di taman.
"Tempat yang sunyi~" gumamnya, sambil melihat beberapa bangunan yang menjelang tinggi yang tampak di kejauhan sana.
Anko memfokuskan pandangannya pada bangunan-bangunan itu.
'Tempat seperti apa ini?'
'Apa itu kastil?'
'Atau pusat keramaian kota?'
"...."
Anko memutuskan pergi untuk ke arah sana ....
Tak lama kemudian, dia bertemu dengan seseorang yang menarik kereta kuda, tampaknya itu adalah seorang pedagang yang sedang membawa barangnya menuju ke arah yang sama.
Anko menghampirinya dan menanyakan beberapa hal padanya tapi, apakah bahasa komunikasinya sama?
"Permisi, saya mau menanyakan beberapa hal pada Anda," seketika orang yang membawa kereta kuda itu berhenti.
"Ya, silakan." Dia pria berbaju polos, tampangnya tidak begitu ramah tetapi, Anko meyakini kalau orang yang berhenti dan mau ditanyain sesuatu ini adalah orang yang baik.
"Apa Anda akan menuju ke sana?" tanya Anko sambil menunjukkan arahnya dengan jari telunjuknya.
"Ya," jawab pria itu singkat tanpa ekspresi sama sekali.
"Kalau begitu Anda sedang membawa beberapa barang dagangan?" tanya Anko memastikan.
"Tidak, saya sedang melakukan perjalanan jauh beberapa hari ini jadi saya membawa barang-barang seadanya." Jelas pria itu sungguh-sungguh dan menatap Anko dengan wajah serius tanda bahwa dia tidak sedang berbohong.
Dia kemudian berbalik bertanya, "Anda seorang ksatria? Kenapa Anda ada di sini? Bukankah Anda harusnya kembali ke istana?"
Dalam hati Anko berkata, "Diriku seorang ksatria, ya?"
"Ah~ aku baru saja selesai menyelesaikan misi. Sebenarnya hanya hanya memantau daerah sekitar sini." Jelas Anko beralasan.
"Oh~ begitu, ya." Dia merespons penjelasan Anko dengan memasang muka meragukannya.
"Apa alasanku tadi ter dengar seperti mengada-ngada?" Anko mulai berpikir bagaimana membuat alasan yang logis.
"Oh, ya, aku ingin kamu memberikan tumpangan untukku untuk kembali ke sana, Apa kau dan aku berjalan searah?" tanya Anko memastikan.
"Aku hanya bisa memasuki pusat kota tapi, aku tidak bisa memasuki istana." Ketika seorang pembawa kereta kuda itu berkata, Anko mulai yakin kalau istana yang dimaksud adalah kastil yang tampak di kejauhan yang dilihatnya tadi.
"Baiklah tidak apa-apa, asal aku bisa pulang dan menemui atasanku." ucap Anko meyakinkan. Padahal dia baru saja tiba di dunia yang tidak dia ketahui sama sekali ini.
Seorang pembawa kereta berkuda itu akhirnya memberi tumpangan pada Anko. Dia mempersilahkan seorang gadis kesatria ini untuk naik di kereta kudanya. Memang benar, barang-barang yang dibawa oleh orang ini tidak banyak tampaknya dia memang bukan seorang pedagang melainkan seseorang yang berkelana di dunia ini.
Tampangnya memang tidak ramah, seperti seorang pembajak tapi, dia yang menolong Anko tentu bisa disebut sebagai orang baik.
Perjalanan cukup jauh dan mereka berniat untuk istirahat di sebuah tempat seperti bar dengan sebuah penginapan.
"Bagaimana kalau kita bermalam di sini terlebih dahulu?" tanya orang itu pada Anko dengan ekspresi meyakinkan.
"Baiklah," Anko menjawabnya tanpa perlu mempermasalahkannya karena dia hanya sebatas tukang numpang saja, dia merasa bebas dibawa ke mana pun asal dia dapat kembali ke tempat yang tadinya seperti yang orang itu katakan.
'Kira-kira istana seperti apa yang ada di sana?'
Tapi, yang namanya istana dan orang-orang yang hidup di istana pasti adalah orang kaya yang hidupnya mewah dan tempatnya megah.
Anko tak sabar melihat tempat itu ....
Bar dan penginapan di sini cukup ramai, dan pria ini menyewa satu kamar saja untuk 1 malam.
Dalam hati Anko, "Jadi ... apa kita akan bermalam di sini dan aku harus satu kamar dengannya?"
"...." Saat memikirkan itu, muka Anko menjadi memerah dan tertunduk malu. Jelas dia tidak mungkin satu kamar dengannya karena dia seorang perempuan.
Pria itu tampaknya tak terlalu peduli pada Anko. Begitu dia menerima kuncinya dia segera bergegas ke ruangan yang sesuai dengan nomor kunci tersebut.
"Bagaimana denganku?" Anko bertanya untuk mengorfimasinya.
"Kamu bisa bermalam denganku di sini. Mungkin kamu agak risih tapi, Aku tak punya banyak uang untuk menyewa kamar lagi." Sambil menunjukkan nomor kamarnya yang ada di kunci kamar tersebut pada Anko, "... Dan aku, memesan kamar dengan harga yang murah." Pria itu menjawabnya dengan jujur.
Anko mau tidak mau harus menerima kenyataan pahit ini.
Mereka berjalan pelan menyusuri lorong dan menaiki tangga, kamarnya ada di ruang paling belakang, pria itu segera membuka pintu kamarnya dengan kunci yang telah digenggamnya.
'CKLEK!!'
Pintu kamar terbuka, "Ayo masuk!" ajak pria itu dengan wajah sedatar papan, tampaknya dia lelah dari perjalanan jauhnya.
Anko tak berkutik sama dia tetap diam tak bergeming melihat pria itu berjalan masuk ke kamar. Pria itu merasa aneh saat seorang ksatria ini berdiam diri di depan pintu dengan memasang muka khawatir.
Pria itu sedikit menoleh memasang muka herannya, dia perlahan berbalik dan melangkah pelan menghampiri Anko. Dia kemudian bertanya untuk memastikan keberanian seorang ksatria ini.
"Kenapa Anda tidak masuk?" tanyanya dengan sopan.
"...." Anko cemas, dia takut kalau identitasnya sebagai kesatria wanita ini terbongkar. Anko masih terdiam membisu dan hanya menatap lurus pria yang ada di depannya ini.
Faktanya, sebagian besar orang yang berkunjung ke tempat ini adalah laki-laki.
Anko merasa dirinya yang berkostum kesatria ini pasti terkesan seperti seorang laki-laki.
"...." Anko akhirnya masuk, dia merasa tidak punya kesempatan lain lebih dari ini.
****
Apa Anko akan berkata jujur pada pria yang telah sudi memberinya tumpangan ini?