Saat ini Shareen sudah berada di bandara internasional Soekarno-Hatta. Ia akan terbang ke Singapura pagi ini, ditemani oleh Citra dan Mikael yang mengantarkannya sampai di bandara. Mereka juga pergi untuk sarapan sebentar di bandara, sarapan bersama setelah beberapa bulan tidak bersama. Rasanya sangat merasa bersalah saat Shareen belum bisa membantu Mikael mengurus pesta pernikahannya.
Bukan, bukannya gadis itu tidak mau. Tetapi waktu yang menjadi hambatannya. Shareen itu tipikal orang yang selalu menghargai waktu, menurut Shareen waktu itu segalanya. Ia juga sudah membuat schedule selama satu bulan ke depan, dan mau tidak mau harus ditepati dengan penuh percaya diri. Shareen juga sebenarnya ingin jauh lebih lama di Jakarta, ia ingin berbincang lebih lama dengan Citra yang belakangan ini ambil lembur terus. Namun, sekali lagi waktu yang menjadi alasannya.
Shareen harus menepati semua schedule yang ia buat. Shareen harus tepat dengan apa yang tertuliskan di jadwal. Jika orang tuanya tahu kalau Shareen menyia-nyiakan waktu, maka orang tuanya akan sangat marah. Kedua orang tua Shareen itu sangat disiplin, jadi jangan sesekali mengulur waktu di hadapan mereka berdua. Akan diceramahi tujuh malam bisa-bisa.
"Pokoknya sebelum gue nikah lo harus udah ada di sini! Harus udah ada di Indonesia, titik!" tuntut Mikael dengan raut wajah yang menyebalkan, membuat Shareen hanya bisa mengangguk sambil tersenyum manis. "Lo harus liat gue nikahan pokoknya, Reen. Lo harus bantuin gue urus semuanya. Lo tau sendiri kan gue gak punya siapa-siapa. Yang gue andelin ya cuma kalian berdua aja. Kalau gak lo sama Citra, siapa lagi yang bisa gue percaya coba?" lanjut Mikael dengan mimik dibuat semenderita mungkin. Padahal Mikael tidak sesengsara itu, kok.
"Lo pokoknya harus ke Indonesia sebelum nih bocah kawin, eh nikah dulu baru kawin, ding. Gue males ya direpotin sama nih bocah. Bacotnya ngalahin mak-mak kalau lagi nego di pasar," celetuk Citra terlalu jujur.
Mikael memanyunkan bibirnya, sebal dengan omongan sahabatnya itu. "Temen gak ada akhlah emang ya lo! Untung aja gue baik hati dan tidak sombong mau jadi temen lo. Kalau gak mungkin gak ada yang mau temenan sama lo!" cibir Mikael tak kalah jujur.
Citra hanya mengangkat bahunya dengan malas. Ia menghiraukan begitu saja yang dikatakan oleh Mikael. Tangannya terfokus membaca komik yang beberapa lembar lagi akan selesai. Ya, tentu saja Citra membawa komik ke bandara seperti ini. Tidak mungkin jika Citra tidak membawanya, bisa seperti cacing kepanasan dia.
"Tapi gue kayaknya bakalan jauh lebih bahagia kalau lo pada gak gangguin gue enam taun yang lalu. Bacaan gue seketika langsung ambyar tau gak sih? Untung aja tuh komik gak gue buang seketika pas kalian semua ngagetin gue. Gue juga gak mau punya temen, ribet soalnya. Kayak lo berdua, nih. Bikin gue ribet aja," cetus Citra dengan sangat sarkas. Kalau Citra sedang sebal ya memang seperti ini, mengeluarkan unek-uneknya sampai semua terasa tenang. Tangan kanan Citra ia gunakan untuk meraih teh kotak yang ada di tasnya dan meminum teh kotak itu dengan penuh semangat.
Shareen dan Mikael tak menjawab apapun, mereka membiarkan begitu saja Citra untuk mengucapkan segalanya. Mereka tak masalah jikapun nanti Citra menyerocos panjang. Pasalnya pernah di suatu ketika, Citra menyerocos panjang dan dibalas cerocosan juga oleh Mikael. Alhasil mereka semua bertengkar tidak ada hentinya, tidak ada yang mau disalahkan karena memiliki ego yang sangat besar.
Nah, oleh sebab itulah saat ini Mikael tidak memasukkan hati setiap omongan Citra. Membiarkan sampai tuntas gadis itu berbicara, toh setelah itu Citra akan kelelahan sendiri. Katanya oksigen di ruangan terasa menyesakan. Memang gadis yang senang diam ketika berbicara berlebihan seperti itu.
"Pokoknya selama gue sama kalian tuh banyak banget komik yang gak gue tuntasin tepat waktu dan alhasil gue jadi hukum diri gue sendiri. Gue tuh selalu buat deadline buat nyelesein komik gue. Gegara ada bridal shower lah, gegara ada makan malem segala macem lah, komik gue yang dibaca dari kemarin ini aja," lanjut Citra dengan penuh penghayatan. Tangannya menggebrak meja dengan penuh semangat. "Kan gue jadi sebel," rengeknya dengan tatapan manja.
Setelah tersadar dengan tingkah anehnya, Citra langsung cengengesan dan meminum sisa teh kotak yang sudah ia sedot dari tadi. "Panas banget di sini, dada gue jadi sesek," keluh gadis itu seperti biasanya.
Sudah dibilang bukan kalau Citra tidak bisa berbicara panjang-panjang.
"Makanya, udah tau gak bisa ngomong panjang tetep aja maksain, nyerocos aja terus. Trabas aja terus. Puyeng juga hamba jadinya dengerin suara lo, Cit," omel Mikael seusai Citra merasa sesak. Ia langsung memberikan air mineral dingin kepada gadis itu. Setidaknya sesuatu yang menyegarkan bisa sedikit membuat Citra mendingan.
Shareen yang tersadar akan suatu hal langsung menyenggol lengan Citra yang ada di sebelah kanannya. Ia langsung berkata, "Eh, Cit! Lo gak ada angin gak ada ujan ternyata mainnya gini ya? Gue kira kita sahabat, Cit. Taunya lo ada doi malah gak cerita ke gue."
Citra membeo, "Hah? Doi apaan, gila? Jangan ngadi-ngadi lo! Udah jadi admin lambe turah sampai sebarin berita ginian? Sejak kapan seorang Citrani yang pemalas ini ada doi?"
"Kasih paham, Mik!" perintah Shareen kepada Mikael.
Mikael menarik napas dalam-dalam sebelum menceritakan secara panjang. Ia yakin seratus persen jika Citra yang kelewat polos ini tidak langsung mengerti dengan apa yang ia katakan nanti. "Lo kan ada doi, Cit. Itu Riyan yang suka ngasih lo stok teh kotak sama beliin lo komik. Gila aja lo diperlakukan sebegitu baik malah gak anggap dia."
Citra manggut-manggut begitu saja, justru respon itulah yang membuat Shareen dan Mikael saling memandang heran. Mengapa harus manggut-manggut coba? Apa yang sedang diiyakan oleh gadis itu? Apakah ada sesuatu yang sangat penting sampai harus diiyakan?
"Oh jadi kalau ada orang yang kasih sesuatu yang kita suka namanya doi, ya? Oke thank you informasinya, Mik! Ntar gue panggil Riyan doi kalau gitu."
Mikael dan Shareen langsung menepuk jidat masing-masing. Mereka tidak mengerti dengan garis pikir Citra, gadis itu kelewat polos apa terlalu bodoh? Katanya polos dan bodoh itu beda tipis, kan?
"Lo gak pernah ada rasa apaan gitu sama Riyan itu, Cit?" tanya Shareen dengan penuh harapan.
Citra memikirkan jawaban dari pertanyaan yang Shareen lontarkan. Keningnya sampai berkerut saking bingungnya. "Pernah," jawab gadis itu setelah selesai mengingat apa yang seharusnya menjadi jawaban.
Shareen dan Mikael langsung memandang satu sama lain. Mereka bersyukur akhirnya sahabat mereka ini bisa merasakan jatuh cinta selain kepada komik dan teh kotak!
"Gue pernah dibeliin eskrim rasa vanilla kok sama Riyan," lanjut Citra membuat senyuman di bibir Mikael dan Shareen memudar. Mereka berdua mengusap dadanya dengan sabara.
"Terserah, Cit!"
***
"Kalian yang akur ya di sini. Jangan pada berantem, kalau ada apa-apa cerita. Lo jangan buat masalah ya, Mik. Lo bentar lagi nikah, kalau butuh bantuan gue langsung aja bilang ke gue. Lo juga semangat lemburnya, Cit. Jangan kecapekan, jangan diforsir cuma buat beli komik keluaran terbaru sampai ngabisin semua duit lo. Bilang ke gue aja kalau mau komik yang baru, duit lo buat keperluan yang lainnya. Gue bakalan balik sekitar dua mingguan atau satu mingguan sebelum lo nikah, Mik. Gue bantuin semuanya. Jaga diri baik-baik ya di sini!" pamit Shareen sambil memeluk kedua sahabatnya, ia merasa sangat berat saat harus meninggalkan sahabatnya lagi.
Meskipun jarak antara Singapura dan Jakarta tidak terlalu jauh, paling kurang lebih hanya satu jam saja, namun yang namanya jarak akan tetap menjadi jarak. Akan sangat berat jika harus kembali membuat jarak.
"Lo juga di sana jaga diri ya, Reen! Gue balikin semua nasihat lo, jangan terlalu diforsir kerja, lo udah kaya. Jangan terlalu banyak aktivitas kalau lo udah capek, gak baik buat kesehatan." Mikael membalikkan kata-kata Shareen, membuat gadis itu mengusap air matanya sambil tertawa renyah.
"Nah itu! Kesehatan yang utama!" dukung Citra pada Mikael.
"Iya-iya. Lo juga pada jaga diri loh ya, gue pamit dulu. Bye!"