Chereads / Pernikahan Darurat / Chapter 15 - 15. Kabar Citra

Chapter 15 - 15. Kabar Citra

Setelah mendengar sahabatnya sedang terkena masalah, tentu saja Shareen langsung bergerak cepat untuk menyelamatkan sahabatnya. Ia tidak mau dan tidak suka kalau sahabatnya dipermainkan, apalagi dipermainkan oleh calon mertuanya sendiri. Terkadang Shareen heran, mengapa para orang tua sibuk mencari urusan anaknya? Apakah ia tidak senang kalau anaknya bahagia?

Jika seseorang memutuskan untuk menikah, tentu saja seseorang itu sudah yakin bagaimana konsekuensinya, bukan? Ia sudah yakin dengan semua yang terjadi. Ia sudah yakin dengan orang yang akan ia nikahi dan segalanya. Lantas mengapa orang tua harus menyusahkan mereka dengan tidak merestui? Mengapa mempersulit keadaan seperti ini?

Saat ini Shareen sudah berada di rumahnya, seorang diri. Orang tua Shareen juga sebenarnya ada di sini — di Singapura. Namun, mereka berbeda rumah. Shareen sudah memiliki rumah sendiri di sini. Niatnya juga Shareen akan membangun beberapa rumah lagi untuk aset pribadi. Sejak kecil Shareen memang diajarkan bagaimana pentingnya menjadi orang yang pandai.

Bukan, bukan pandai mengenai apa yang mereka kerjakan di tugas sekolah, atau IPK yang cumlaude. Tidak, definisi pandai tidak hanya seperti itu. Pandai yang dimaksudkan oleh orang tua Shareen adalah mengambil kesempatan di setiap keadaan. Selagi mampu, beli semua tanah, tanam semua saham, bangun semua rumah, beli apartemen, beli mobil, beli emas, dan segala macam. Kelak, di saat mereka merosot, mereka mendapatkan bantuan dari aset pribadi itulah.

Tidak sedang mendoakan atau berdoa untuk merosot, hanya saja yang namanya kehidupan bisnis pasti tidak akan jauh-jauh dari itu semua. Ada pasang dan ada surut.

Shareen saat ini sedang berendam dengan aroma vanilla latte yang ia suka. Sudah ada lima belas menit ia melakukan hal tersebut diiringi dengan musik yang mendayu-dayu. Sejenak, pikirannya menjadi jauh lebih tenang. Shareen merasa semua bebannya menjadi terangkat.

Merasa cukup, ia langsung beralih dari bath tub ke kamar mandi, ia langsung melakukan ritual bernamakan mandi lalu pergi ke ruang ganti untuk memakai baju.

Beberapa menit sudah terlewati, Shareen sudah siap dengan piama biru muda yang melekat di tubuhnya. Gadis itu menuju ke nakas dan meraih benda persegi panjang yang berukuran 6,5 inci tersebut. Gadis itu menghubungi Citra, entah sedang apa gadis yang akan dihubunginya itu.

"Halo, ngapain lo telepon gue? Gue masih lembur, anjir!" Citra mengomel, dapat Shareen lihat bahwa gadis yang tengah menyesap teh kotak itu sibuk menatap layar laptop dan mengerjakan setumpuk dokumen yang sangat penting.

"Lembur bae lo! Ngapain lembur coba? Cari komisi lebih supaya bisa stok teh kotak?" sahut Shareen yang sudah hapal betul bagaimana pola pikir gadis dengan manik cokelatnya. Citra hanya cengengesan, ia sudah sering lembur hanya demi stok teh kotak dan komik saja. Sudah bukan menjadi rahasia pribadi mengenai masalah tersebut.

"Gue cuma mau tanya ke lo, Mikael ada curhat ke lo tentang Tante Dena? Tadi dia nangis-nangis ke gue, ceritain semuanya. Gue jadi takut dan khawatir dia kenapa-kenapa." Shareen langsung mengalihkan pembicaraan menjadi fokus ke topik yang memang mau ia bahas dengan Citra.

Citra yang semulanya sedang membuka berkas, mengerjakan beberapa berkas di laptop langsung menutup berkas tersebut dan fokus ke layar laptop. Sungguh, ini adalah adegan yang sangat langka sekali. Citra mau melakukan acara ghibah dengan Shareen.

"Gue udah tau lama kalau misalnya Tante Dena gak suka sama Mikael. Hmm gimana ya, bukannya gue jelek-jelekin sahabat kita sendiri. Cuma menurut gue, ada beberapa hal yang emang gak bisa kita paksa untuk bersama. Kalau misalnya gak dapet restu, ngapain Bryan maksain diri coba? Kalau udah kayak gini kejadiannya, dia cuma bisa diem aja, kan? Pola pikir Tante Dena pasti ngarah ke anaknya. Dia mau yang terbaik buat anak tunggalnya. Lo pasti lebih tau itu karena posisi lo sama Bryan sama, sama-sama anak tunggal, sama-sama punya segalanya. Tante Dena mau dijelasin sebagaimana pun, gak akan paham dan gak akan ngerti karena Tante Dena gak mau memikirkan itu semua. Tujuannya bukan Mikael." Untuk pertama kalinya Shareen mendengar Citra berujar panjang kali lebar seperti ini. Shareen jadi yakin kalau sebenarnya Citra itu peduli, hanya saja pedulinya Citra berbentuk pengamatan, bukan omongan cablak seperti yang lainnya.

Shareen juga sedikit setuju dengan pola pikir Citra, yang dipikirkan orang tua itu adalah anaknya, ia tidak peduli bagaimana sakitnya wanita yang ditolak atau diperlukan sinis. Mereka hanya terfokus pada satu sisi saja, tidak ada sisi yang lainnya.

"Iya, sih. Gue setuju sama yang lo omongin, mau gimana pun yang namanya orang tua pasti mikirin anaknya, bukan mikirin orang lain." Shareen menjawab.

"Nah itu, cuma lo tenang aja. Semuanya akan baik-baik aja, oke? Tadi siang gue udah makan siang sama Mikael, gue udah bilang ke dia kalau semuanya baik-baik aja. Yang terpenting dia udah berusaha yang terbaik, lagian juga lo udah bantu kasih dia pinjaman, kan? Tenang aja, Mikael pasti berusaha buat melakukan hal yang terbaik." Citra menenangkan, memberikan solusi dan juga respon yang pas walaupun terkesan cuek.

"Thanks ya, Cit. Kalau ada apapun, lo harus kabarin gue sesegera mungkin. Lo tau sendiri kan Mikael kayak gimana, kadang dia sungkan buat cerita dan akhirnya gue gak tenang."

"Siap, lo tinggal urusin semua urusan lo di sana. Semuanya bakalan baik-baik aja di sini."

Shareen mengangguk, ia percaya kalau Citra akan melakukan yang terbaik untuk sahabatnya. Citra itu sahabat yang baik walaupun kadang cuek dan menyebalkan, namun gadis itu memiliki sisi positif tersendiri. Ah iya, jangan lupakan kalau muka Citra adalah muka-muka bully-able. Wajah kalem tanpa penolakan sedikit pun.

"Lo gimana kabarnya, Cit? Semua baik-baik aja? Jangan sering lembur, istirahat lo kurang kalau kayak gini terus. Mata lo juga bengkak noh, kalau lo butuh stok teh kotak ataupun komik, bisa minta ke gue. Gue gak masalah kok," ujar Shareen mengalihkan pembicaraan. Ia terfokus pada mata Citra yang sembab dengan kantong mata hitam di bagian bawahnya. Nampak sekali kalau Citra sedang memaksakan diri untuk lembur.

"No problem, Reen. Gue bakalan usaha semampu gue, kok. Kalau misalnya nanti gue capek, gue pasti bilang dan minta bantuan ke lo. Lo jangan khawatir, gue baik-baik aja. Gue butuh kerja keras, bukan cuma repotin lo doang. Selagi gue punya waktu dan tenaga, gue pasti bakalan lakuin itu semua. Gue mau berusaha sendiri, Reen."

Oke, mungkin yang dikatakan oleh Citra benar. Shareen memang berniat baik, untuk membantu. Namun, Shareen terlalu mencampuri urusan mereka. Mereka semua butuh kerja keras supaya tidak semena-mena dan mereka butuh usaha yang panjang supaya mengerti apa maksud dari sebuah perjuangan bukan hanya nominal uangnya saja.

"Jangan khawatir sama keadaan kita semua di sini, Reen. Kita semua baik-baik aja. Lo yang di sana harusnya mikirin kesehatan lo sendiri, oke? Lo pasti sibuk sama meeting segala macem. Kalau misalnya capek ya istirahat. Jangan sampai forsir semuanya ke tubuh lo. Tubuh lo butuh jeda, lo udah kaya raya tujuh turunan, jangan kerja keras bae, pusing ntar."