Waktu silih berganti, Akmal dan Sabrina bergantian menjaga Adiba. Kedua adik kakak ini selalu melantunkan ayat suci Alquran kalau tidak menceritakan kisah-kisah penggugah jiwa. Ini Sabrina berada di samping Adiba, gadis cantik ini menyeka tubuh Adiba dengan air hangat.
"Terkadang seseorang harus berkorban. Mbak, diam-diam Aku mencintai seseorang yang tidak keyakinan denganku. Tapi ini, rahasia. Hanya kita berdua, aku takut Kakak ku tahu dan marah. Ya walaupun hanya hatiku saja yang mencintai dia, Astagfirullah ... aku benar-benar ingin meredam perasaanku. Tapi sepertinya dia memberi harapan, Aku harus bagaimana? Aku jadi galau. Aku tidak mau menuruti nafsu ku. Heh ...." Sabrina menatap Adiba.
"Mbak ... kita tidak pernah tahu, kita akan jatuh cinta kepada siapa. Tapi pilihan yang tepat, hingga kehilangan pun merasa sakit. Aku saja yang bisa melihatnya juga merasa sakit, apa lagi Mbak yang tidak bisa melihat orang dicintai Mbak. Semua hanya menyakitkan, tapi kita harus bangkit. Mbak harus segera bangun dan menata kembali kehidupan Mbak. Aku yakin akan ada kebahagiaan, rencana Allah itu sangat indah. Kadang kitanya saja yang tidak terima. Aku ngomongnya mudah sebenarnya aku juga merasa patah hati. Ana marodo qolbi because love. Bahasaku aneh, aku sakit hati karena cinta. Tapi di sisi lain aku merindukan seseorang, pemuda yang sangat jahil. Dia sangat suka bercanda. Tapi ... dia tidak ada kabar sejak satu minggu ini. Tidak mungkin juga aku jatuh cinta kepadanya dia terlalu aneh. Aneh lagi diriku yang berbicara sendiri."
Sabrina mendengar rintikan hujan. Dia sama sekali tidak melihat jika Adiba berinteraksi dengan menggerakkan jarinya.
"Sudah musim hujan. Kehidupan Mbak itu sangat bahagia, aku terkadang iri. Anda memiliki kedua orang tua yang sangat mencintai Mbak. Orang-orang di samping Mbak sangat peduli kepada Mbak. Aku hanya punya Allah dan Kak Akmal. Ada saudara, tapi datang ketika membutuhkan bantuan Kak Akmal. Kak Akmal selalu menegurku, jangan seperti itu, jangan suu'dhon. Tetap saja hatiku masih kotor dan aku masih berprasangka buruk dengan saudaraku yang datang dikala ada maunya. Hah ... Wallahua'lam. Aku malah mengajak Mbak ghibah," ujar Sabrina yang lalu beristighfar pelan.
Sabrina melihat Adiba kembali meneteskan air mata, setelah dua hari wanita kesepian itu tidak menangis.
"Mbak kenapa sedih lagi, jangan bersedih. Aku ada untuk Mbak. Bolehkah kali ini aku membacakan suratnya Mas Ridwan, agar Mbak Adiba sedikit tenang. Aku akan membacakannya untuk Mbak. Tapi aku juga takut baper."
Sabrina mengambil diary milik Adiba. Membukanya perlahan, duduk di samping Adiba.
"Bismillahirohmanirohim. Adiba Azzahra. Namamu terukir indah, di dalam sanubari. Sungguh kenikmatan yang luar biasa dari Allah subhanahu wa ta'ala. Yang sudah memberikan cinta ini. Seringkali kita terbius oleh rasa rindu. Biarkan cinta kita tetap hidup cinta kita memang tidak berwaktu. Semoga cinta kita selalu ikhlas tanpa membutakan hati."
Sabrina semakin menangis tersedu-sedu mengalahkan luka hati Adiba.
"Adiba kita hanya dipinjamkan sebuah perasaan cinta oleh Allah subhanahu wa taala sewaktu-waktu Allah akan mengambil perasaan kita. Manusia memanglah begini, cintaNya abadi dariku, Dia selalu mencintaimu tanpa batas waktu. Aku ingin selalu mencurahkan segala perasaanku kepadamu. Hai kekasihku, Adiba. Ingatkah kamu saat kita bertemu pertama kali dari pandangan yang tidak sengaja. Aku takut akan dosa kecil dengan memandangmu, diam-diam aku menyimpan perasaan rinduku dan menahan nafsuku. Sangat sulit melakukannya semua. Aku ingin kita berhasil dalam menempuh cinta fisabilillah."
Sabrina lemas membaca itu semua, suaranya terpecah. Sabrina memandang Adiba dengan pandangan berkaca-kaca. Dia terkejut ketika kelopak mata yang tertutup bergerak.
"Kak Akmal ...!" teriak Sabrina membuat Akmal serasa jantungan. Dia lari sekuat tenaga dan ngos-ngosan, ketika berada di kamar Adiba, napasnya memburu.
"Heh ... heh ... ada apa?" tanya Akmal yang kemudian berjalan sambil mengatur napas.
"Sepertinya Mbak Adiba merespon. Dia hendak membuka mata Kak," ujar Sabrina senang bercampur takut. Akmal memeriksa mata Adiba.
"Kamu melakukan apa?" tanya Akmal yang kemudian menatap sang adik.
"Ih, Kak ... apa yang aku lakukan salah?" tanya Sabrina takut dengan mengerutkan kening.
"Aku tidak mengatakan salah Dik, aku tanya, coba lakukan lagi. Siapa tau dia kembali merespon," kata Akmal. Sabrina mengeluarkan napas lega.
"Plong ... rasanya, aku baca surat cinta dari Almarhum. Jadi menurut Kakak, aku harus mencoba dengan itu?" tanya Sabrina.
"Ya ... cerewetnya kamu," tegur Akmal yang kemudian duduk sambil memijat keningnya.
"Aku malu jika ada Kakak. Kakak itu dari dulu membuat aku grogi. Jadi jika Kakak ingin aku membacakan Kakak keluar dulu."
"Tadi kamu teriak-teriak seperti macan beranak. Sekarang seenaknya kamu mengusirku, baiklah ...." Akmal berjalan pelan keluar dari kamar Adiba.
Sabrina mengintip Kakaknya. "Kenapa dia lesu? Ah ... pasti karena calon kakak iparku. Minta ini itu, minta ini itu, padahal kan, belum sah," gumam Sabrina yang kemudian kembali duduk di samping Adiba.
"Ekhm. Aku ingin tulus Mbak, membacakannya. Adiba aku malu kepada Allah, karena Allah selalu melihat tingkah polah kita. Setiap saat aku menantikan hari-hari indah bersamamu. Ketika nanti kamu sudah menjadi kekasih halalku. Karena kau adalah ketenangan jiwa yang diciptakan Allah, walaupun aku belum tahu nantinya kau milikku atau tidak. Waktu masih sangat panjang, status kita memang pasangan kekasih. Lalu ... semoga berlanjut ke status suami istri. Kau selalu bisa menahan emosional ku disaat penyakit hati menyerang dengan ingat Allah. Dzikrullah. Cintaku tidak bisa diuraikan dengan kata-kata."
"Aku bukan Ridwan, aku hanyalah wakilnya, orang yang soleh seperti Ridwan akan mendapatkan pertamanan surga. Jika kamu begini pasti kamu merebut kebahagiaannya dan ketenangannya," sahut Akmal yang berada di belakang Sabrina.
"Ikhlas kan dia biarkan dia, tetap hidup cinta suci kalian walau tidak termiliki. Allah tidak diam. Allah akan mengganti kebahagiaan yang berlimpah untukmu. Adiba kamu jangan susah kalau dibilangin. Abi dan Umimu pergi ke Ka'bah Baitullah. Namun, hati mereka tidak tenang ketika beribadah kepada Allah, karena memikirkan kamu yang begini. Jujur saja aku sudah kehabisan cara. Ayolah bangun. Aku akan membawamu ke jalan cinta. Aku akan membawamu pergi ke tempat di mana kamu bisa melihat burung burung berterbangan. Mereka bebas, aku ingin kamu bebas. Jika kamu seperti ini Ridwan akan berada di jalan yang gelap. Lebih gelap daripada jalanmu."
Plokkk!
Sabrina memukul lengan kakaknya. Akmal malah tertawa. "Aku yakin, ketika kamu bangun lagi, hidupmu akan menjadi awal yang lebih baik. Ayolah berjuang, setidaknya berjuanglah untuk orang yang paling kamu cintai."
"Ih ... Kakak ini bicara apa ...?"
"Aku menyemangatilah, menurutmu apa?"
"Kakak seperti bercanda."
"Aku berusaha menjadi temannya," sahut Akmal yang kemudian menekan kepala Sabrina. "Stopkan perasaanmu kepada dia!" Akmal pergi, Sabrina mengerutkan kening.
"Apa Kakak tahu?" tanyanya. Akmal mengangguk tanpa menoleh. "Yah ... jadi malu aku," gumam Sabrina yang kemudian manyun.
"Jangan terbaik adalah melepasnya, untuk membuktikan cintaku nantinya fisabilillah."
Bersambung.