Chereads / Cinta Kamu, Titik. / Chapter 19 - Aku Merindukan Siapa?

Chapter 19 - Aku Merindukan Siapa?

"Ketika dia melambung ke angkasa, terbang jauh meninggalkan cintanya. Ingatlah kepada Allah. Karena Allah lah jalan itu. Mbak Adiba bisa bahagia, bisa tetap hidup. Aku harus mengucapkan kata seperti apa lagi, agar Mbak membuka mata. Kami semua menyayangi Mbak." Sabrina dengan telaten, mengusap pipi basah Adiba.

Gadis ini memegang nadhom Alfiah Ibnu Malik.

"Muhammad bin Abdullah bin Malik ath

Tha'i al-Jayyani atau lebih dikenal dengan Ibnu Malik lahir di Jaen, Al-Andalus, pada tahun 600 H, dan wafat pada tahun 672 H atau 22 Februari 1274 di Damaskus, Syam. Aku sedang menghafal seribu nadhom. Semoga aku bisa ya Mbak. Mbak pasti sering dengar syair romantis dari nadhom yang sering digunakan di pesantren ini. Nadhom ini untuk belajar tatacara bahasa Arab. Ah ... aku banyak bicara."

Sabrina duduk dengan nyaman.

"Asribal Qotoo Hal man yui'iru janaahahu. Laa'lla ila man qod hawiisu athiru. Artinya hai iring-iringan burung qotok Adakah yang mau meminjamkan sayapnya kepadaku agar aku dapat terbang menemui orang yang aku cintai. Satu lagi ya Mbak Adiba. Saroina wannajmu qod a doo a famudhu Bada. Muhayyaka akhfa dou uhu kullu syariqin. Ini lebih romantis, Aku berjalan di malam hari, sedangkan bintang bintang telah bersinar, semenjak wajahmu muncul, maka cahaya wajahmu menutupi semua cahaya. Pengarangnya tahu kalau remaja itu pada bucin jadi ada syair-syair romantis seperti ini. Mbak ... ayo buka matamu," ujar Sabrina.

'Aku mendengarnya, suara yang teramat lirih. Suara yang penuh kasih sayang. Namun, sulit untuk membuka mata. Aku berusaha membuka kelopak mataku. Hatiku masih terasa hampa dan perih, oh ... Siapa yang dirindukan hatiku? Siapa yang mendamaikan hati ku? Aku mencari? Tolong bantu aku menemukan arah kehidupanku. Siapa yang memberi aku hidup,' ujar Adiba dalam hati.

Wanita yang berbaring itu berusaha menggerakkan jari-jemarinya. Sabrina bangun dan pergi dari kamar Adiba.

Tak lama pria tampan itu datang. "Adiba mau dengarkan sebuah shalawat?" Akmal memutar shalawat yang berjudul Ya Rabbi Antal Hadi.

"Ya Allah, Engkaulah pemberi petunjuk, tolongkah aku pada petunjuk-Mu.

Dan terangilah hatiku, hilangkanlah kotoran darinya hati. Ya Allah lihatlah aku, dengan penglihatan rahmat-Mu, ya Allah terimalah taubatku. Tidak layak bagiku, bersandar selain Engkau, tolongkah aku pada petunjuk-MU. Ya Allah perbaikilah hari-hariku, berilah aku rizki yang baik. Muliakanlah diriku dengan nikmat-Mu, mudahkanlah segala urusanku. Tiada lain bagiku senantiasa bersabar, tiada lain bagiku selain berharap. Ya Allah, kepada-Mu aku kembali, Engkaulah tempat berlindung

Dalam keadaan kenyang dan lapar, hanya kepada-Mu aku berserah diri,

Ya Allah Engkaulah Tuhan yang sebenarnya, Engkaulah tempat berlindung. Sholawat dan salamku semoga tercurah, kepada Nabi Ahmad sang penunjuk jalan kebenaran selama-lamanya. Aamiin. Aku sudah mengartikannya, semoga sampai kedalam relung hatimu."

Air mata Adiba semakin deras. Akmal tahu kalau Adiba merespon.

"Adiba, pernahkah kita berfikir, yang seperti ini. Ayahku telah memberi nasehat kepada ku, ibuku mendidikku dengan kebaikan, guru dan mua'lim telah mengajariku. Tetapi aku telah menyia-nyiakan nasehat dan ajaran itu. Dan aku tidak mendengarkan suara yang diajaran dari mereka. Aku menjadikan nasehat-nasehat itu seperti angin yang berlalu, bagaikan lantunan lagu yang enak didengarkan. Aku sibuk berada di dalam gemerlapan dunia, aku terlena oleh macam-macam keindahan dunia. Aku mengingkari nikmat Tuhan, aku telah sombong melupakan salat dan juga puasa. Ketika aku menyadari semua yang diajarkan mereka penting saat itu sudah terlambat. Rambutku memutih dipenuhi dengan uban, kulitku mulai keriput dan tulangku mulai keropos. Aku menyesal, sedangkan air mata mengalirkan darah, hingga sadar seorang hamba yang bergelimang dalam kegelapan. Semoga Allah menerima Taubat kita dan mengampuni kesalahan kita. Karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. Jadi bangun! Buka matamu, Ridwan juga tidak suka melihatmu meninggalkan kewajiban. Kamu sudah meninggalkan salat."

'Aku mendengar suaramu. Aku ingin membuka mataku. Aku ingin bergerak. Kenapa aku menggila seperti ini? Kenapa hatiku mati dan jiwaku sangat sepi. Apa yang telah direnggut dari diriku. Aku merindukan siapa? Apakah dari kalian tidak ada yang mau mengingatkan,' batin Adiba meronta.

Air mata berlinang kembali dengan derasnya. Akmal membersihkan sambil terus bershalawat.

'Teruslah lantunkan ... aku sangat ingin bergerak. Sekujur tubuhku terasa sangat kaku. Mulutku terbungkam ketika aku ingin mengeluarkan suara. Siapa yang mampu mengerti isi hatiku. Kenapa ... Aku ingin menuntut tapi kepada siapa? Siapa pemilik cinta sejati? Aku melupakan siapa? Kenapa pikiranku hanya tertuju dikenangan bersama dia. Aku tidak sendiri mereka ada di sampingku. Apa yang tidak aku kenal? Hingga aku tidak dapat menghibur diriku sendiri, Aku sedih, Aku mencintai siapa? Kenapa aku sangat gelisah. Saat aku tidak dapat mengingat Siapa yang selalu bersamaku, dan mencintaiku dengan Abadi. Siapa?!' Jeritan Hati Adiba meronta-ronta. Air matanya semakin deras, sebisa mungkin dia membuka matanya.

'Ke mana aku harus mengeluh dan bersyukur? Siapa yang dicari hatiku? Kenapa sangat kosong? Kemana belahan jiwa yang aku lupakan, tolong bisikan sesuatu kepadaku. Siapakah yang aku cari? Nama siapa yang dapat menghidupkan jiwa dan hatiku. Aku bagai matahari yang hilang arah, lalu dunia ini gelap tanpa cahaya, di saat manusia lupa dengan tujuannya dan hanya memenangkan syahwatnya. Aku tidak mau hal itu terjadi kepadaku, Sampai kapan hatiku gelap tanpa satu titik cahaya, tolong bisikan kepada ku, siapapun ... tolong beritahu aku. Aku merindukanmu siapa? Kalimat suci yang tidak dapat aku mengingatnya. Tuntunlah ... Aku Tuntunlah hatiku, kedalam sejuk asmaNya. Agar aku bisa bangkit dari kematian ragaku ini. Tolong ....' Adiba meminta petunjuk dari dalam hati.

"Kamu ingin membuka matamu? Aku melihat kamu memaksakan diri. Ayo coba perlahan, semangati dirimu sendiri. Bangunlah rasa percaya Jika Allah Maha segala-galanya."

'Allah? Allah ...?' Adiba berputar ketika hatinya menyebut asma Allah. Air matanya semakin berlinang deras. Dadanya kembang kempis.

"Bismillahirohmanirohim. Dengan menyebut asma Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Adiba ... buka matamu." Akmal merasa canggung, ketika dia hendak menggenggam tangan Adiba. Dia ingin memberi dukungan kepada Gadis itu, bahwa ada seseorang yang mendukungnya, tetap di sampingnya walau keadaannya seperti itu.

Adiba mulai mengerjapkan mata. 'Hatiku bergetar? Dialah yang mencintaiku dengan Abadi Allah SWT. Selama ini aku berpaling karena cintaku. Seharusnya aku cinta Engkau. Ya Allah ... ampuni kehilafan hamba. Hatiku ... hatiku ... sangat damai. Subhanallah ... sudah lama aku egois. Ya Allah ... Engkau tempat para hamba mengadu dan Engkau yang memberi rahmat. Ya Allah hamba bahagia, hati hamba tidak perih dan tidak kosong lagi. Engkaulah yang dirindukan hatiku. Ya Allah ... Allah ...'

Adiba melihat cahaya, dia melihat pemuda yang masih samar-samar, dia masih berusaha untuk membuka matanya.

Bersambung.