Perlahan cahaya itu kembali gelap, dia berusaha kembali membuka matanya. Sangat sulit dan berat untuk menaikan kelopak mata sayup dan layu. Raut wajah yang biasanya cantik berseri kini yang terlihat kusam dan lusuh, kulit yang kering dan pipi yang kekurangan daging membuat dia terlihat tua.
Senyumnya yang dulu begitu manis, hingga dapat membuat para adam terpesona, kini perlahan hilang direnggut kebisuan. Wanita yang tengah tidak berdaya itu teringat kembali wajah kekasihnya yang telah pergi ke ruang sempit, sepi dan gelap gulita. Merasa ditatap dan diperhatikan oleh Ridwan sambil tersenyum.
Gadis itu kembali menjatuhkan kristal bening dari pinggir matanya.
'Ridwan atas dasar apa aku mencintaimu? Atas kehendak siapa aku dapat memiliki rasa. Senyummu membuat aku kembali menangis. Habibi, kau kekasihku satu-satunya yang kino sudah tidak aku miliki. Kau tersenyum? Kau bahagia? Kalau seperti itu aku juga harus bahagia? Hatiku hampa dan mati ... ketika melihatmu terkubur di bawah batu nisan. Aku sadar aku tidak boleh seperti ini. Kak tolong bantu aku, kekasih hatiku tolong ingatkan aku, saat ini aku melakukan kesalahan. Siapapun berikan aku kekuatan, bantu aku mencintai Sang Pemilik Hidup. Siapapun tolong dengarkan jeritan hatiku, tolong ingatkan aku atas Sang pemilik dan penguasa di seluruh kehidupan. Yang tadi membisikkan AsmaNya bisikanlah lagi. Agar aku bisa mendengar dan aku memiliki kesemangatan. Tolong ....' Deraian air mata telah membasahi pipinya.
Akmal datang dengan wajah yang bersinar, sisa air wudhu tidak diusapnya. Dia melantunkan ayat suci di samping Adiba. Hati Adiba menerima.
'Aku sangat menginginkan ini. Inilah yang dirindukan hatiku? Selama ini hatiku beku, sekarang meleleh perlahan. Kamu, yang berada di sampingku. Teruslah lantunkan peneduh jiwa yang penentram raga.' Perasaan hati Adiba damai, dia terlihat sangat senang ketika Akmal melantunkan ayatNya. Dengan perasaan yang sedang gembira, dia berusaha mengeluarkan seluruh tenaganya untuk membuka mata dan menggerakkan tangannya. Jari-jari Adiba berhasil bergerak pelan.
Pemuda tampan itu tetap mengaji. Akmal menghentikan membaca Al Qur'an karena batal. Akmal meletakkan Al Qur'annya.
"Kamu menangis lagi. Ayolah, buat dirimu bahagia, hidup masih berlanjut, mari kita lakukan banyak hal yang membuat kita bahagia dan bisa bermanfaat. Adiba Imam Syafii mengatakan. Cinta hanyalah istilah belaka. Mata-kata lembut melunakkan hati yang lebih keras dari batu, kata-kata kasar mengeraskan hati yang lebih lembut dari sutra. Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya, sementara kesengsaraan adalah ketika seseorang dikuasai oleh nafsunya. Kamu jangan lagi mau dikuasai oleh nafsu. Kecintaan kepada Allah melingkupi hati, kecintaan ini membimbing hati dan bahkan menambah ke segala hal. Serta kata Jalaludin Al Rumi, jangan berduka. Apa pun yang hilang darimu akan kembali lagi dalam wujud lain. Dengan cinta, yang pahit menjadi manis. Dengan cinta, tembaga menjadi emas. Dengan cinta, sampah menjadi jernih. Dengan cinta, yang mati menjadi hidup. Dengan cinta, raja menjadi budak. Dari ilmu, cinta dapat tumbuh. Pernahkah kebodohan menempatkan seseorang di atas takhta seperti ini? Ayo tunjukkan kalau kamu mencintai Allah. Kematian adalah jembatan yang menghubungkan orang yang mencintai dengan yang dicintainya. Yakinlah kisahmu akan berlanjut di sana. Buka matamu, kamu tau ... dulu, aku selalu mendambakanmu." Akmal memeriksa denyut nadi.
"Kamu adalah wanita yang berhasil membuat aku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun, aku sadar diri karena kamu sering mengabaikanku. Mungkin kamu tidak ingin memberi harapan palsu lagian juga kamu menganggapku sebagai seorang Kakak. Adiba ... lihatlah tiba-tiba langit menangis. Suasana menjadi dingin. Aku bingung mau mengatakan apa. Bagaimana kalau aku menceritakan kisahku. Hehehe, konyol. Bagaimana kalau aku melantunkan sholawat. Semoga kamu bisa merespon."
Pria tampan dengan tubuh yang tegap itu. Bersolawat, Allahul Kafi yang artinya Allah Maha Mencukupi. Suara hujan semakin deras. Membuat Akmal menaikkan selimutnya Adiba.
"Kak. Tidak bisa tidur," ujar Sabrina yang kemudian berbaring di sofa dengan meringkuk tubuhnya sambil memakai selimut tebal.
"Aku belum ngecek ponselku. Apa ada chat masuk?" tanya Akmal.
"Tidak ada. Syuttt. Ayo tidur." Sabrina memejamkan mata.
"Jangan lagi menyimpan perasaan kepada pemuda yang beda keyakinan denganmu. Kakak harap cintamu bisa mengalahkan nafsu mu."
"Tau banget. Aku lagi patah hati jangan membahas itu. Ana marodo qolbi."
"Sakit hati bisa sembuh dengan cepat, asal kamu berniat, jangan terbujuk rayuan setan. Jika kamu terus terbujuk, kamu akan semakin tersiksa dan tidak bisa melupakannya. Allah Maha Adil. Aku sendiri yang akan menilai pasanganmu nanti, sekarang fokus saja sama kuliah."
"Semua butuh proses, aku sedang meng offkan hatiku dari dia," ujar Sabrina dengan suara lemas.
"Adik pintar." Akmal duduk setelah mengambil buku tebal Sirah Nabawiah. Akmal membaca tanpa suara.
"Dari dulu," jawab Sabrina memposisikan nyaman tempat tidurnya.
'Tolong dengarkan sesuatu kepadaku, hatiku kembali sepi,' batin Adiba yang kemudian mengerahkan tangannya.
"Allahu Akbar!" Akmal terkejut karena tangan Adiba jatuh menampik pahanya.
"Kenapa?" tanga Sabrina bangun.
"Adiba ... Adiba ... hai ...." Akmal menggenggam tangan Adiba dan kembali meletakkan tangan wanita itu di tempatnya.
'Tolong ... katakan ... apa yang aku butuhkan. Tolong ... tolong.' Air mata Adiba semakin deras. Ini kali pertamanya Akmal menghapus air mata Adiba dengan telapak tangannya.
"Ya Allah ... mohon hentikan air matanya," gumam Akmal membuat Adiba kembali berusaha membuka mata. Melihat kelopak mata Adiba bergerak. "MasyaAllah. Kamu meresponku?"
Semakin mendengar kalimat takjub yang memuji Sang Ilahi, Adiba semakin berusaha. "Ayo Adiba ... Ayo."
Sangat berat namun usaha tiada yang sia-sia, Adiba membuka mata dengan pandangan yang samar. "SubhanaAllah ... Alhamdulillah." Sabrina seketika bersujud.
"Alhamdulillah ...." Akmal tersenyum bahagia, air matanya berlinang.
'Ucapkan lagi ... lagi ... Allah ... ya Allah ... hatiku.' Adiba merasakan nikmat ketika berdzikir. Adiba memejamkan mata pelan dan kembali membuka mata lagi.
"Ya Allah ...." Akmal tidak bisa menyembunyikan ekpresi bahagianya. Sabrina mendekat dan menggenggam erat tangan Adiba.
"Mbak ... hehe. Sangking bahagianya ingin menangis," ujar Sabrina sangat terharu. Akmal memeriksa detak jantung dan pernapasan.
"Alhamdulillah ... Adiba. Kita bersamamu, aku akan mengajakmu ke tempat yang sangat indah. Aku berjanji, aku akan menuruti yang kamu minta. Kamu harus hidup seperti Adiba yang ceria," ujar Akmal menatap Adiba penuh arti.
Adiba tidak mengatakan apa pun. Dia hanya menatap samar pria yang terus mengajaknya bicara. 'Tolong ... dekatkan hatiku. Tolong isi hatiku dengan kalimat yang selalu kamu ucapkan. Dengan seperti itu hatiku terisi dan tidak lagi hampa tolong,' batin Adiba menatap dengan menangis.
"Mbak ... hentikan air matanya."
"Bismillahhirrahmanirrakhim."
Adiba terlihat menikmati itu. Akmal faham dengan membaca raut wajah Adiba. "Kamu ingin mendengarnya lagi? Jika iya kedipkan matamu," pinta Akmal. Adiba mengedipkan mata pelan.
"Allahu Akbar!" Kedua saudara berseru takjub penuh haru.
Bersambung.