Mentari pagi sangat bercahaya terlihat seorang gadis berhijab merah muda sedang asik menyiram bunga.
"Surat neng ...." kata tukang pos. Dia tersenyum dan tidak sabar. Dengan perasaan bahagia dia menerima.
"Terima kasih Pak ...." Gadis itu segera membuka dengan tergesa-gesa. "Jaman apa ini masih kirim surat. He ...." katanya tapi merona.
[Kasihku ya habibi, Madina Adiba Azzahra. Akan usailah penantianmu untukku, aku akan kembali kepadamu dengan musim-musim cinta aku merasakan musim cinta ketika aku sedang tafakur kepada Allah, dan ketika aku memejamkan mata kau hadir disetiap hari-hari sepiku. Kau sandaranku walau kau tak disisiku.]
Dialah Adiba, dia duduk dan kembali membaca surat itu.
[Cintaku dan cintamu itu bukanlah rencana melainkan Allah yang menjalankan di setiap hembusan angin yang merasuk ke tulang, dalam tubuhku aku selalu merasakan kesejukan dengan hanya menghayal kamu walau sedetik.
Cintaku tak dapat ntar uraikan dengan apapun. Aku ingin Allah Subhanahu wa ta'ala selalu menjaga kita menjaga nafsu dari maksiat mengasihi kita dengan rahmatNya. Mengampuni dosa-dosa kita dan merestui dalam ridhoNya.
Ketika Allah benar-benar menghalalkan cinta kita, Allah tidak melarang lagi tangisanmu berlinang di bahuku bersandar di bahuku. Itu yang selalu ingin kau lakukan ketika kita bertemu karena mengobati rindu. Aku sangat kagum kepadamu karena kamu mampu menahan semua bahkan untuk sekedar berpegangan tangan, kita tidak pernah melakukannya. Untuk sekedar berjabat tangan dirimu dan diriku juga menahan. Cintaku, cinta kita akan bersatu hanya dengan hitungan hari Insyaallah Bismillah. Selalu rasakan kenikmatan dari Allah, itu juga ujian untuk kita untuk bersabar tawakal ikhtiar dan berterima kasih. Tertulis dari Ridwan Assidiq.]
Tidak sabar ingin segera membalas surat cinta, Adiba berlari ke kamarnya.
[Seputih apa cinta kita? Sebersih apa cinta kita. Kita adalah manusia yang penuh dengan noda lentera dan jeratan dosa. Cintaku ... aku tidak mau berlebihan, sekuat apa cintaku, aku tidak mau melupakan sang Pemilik Cinta Sejati. Kau adalah gelora aku benci itu. Kemarin. Namun kau adalah calon imamku pemimpin kau dan aku tidak boleh hanya setengah hati dalam mencintaimu. Kamu yang pernah meninggalkanku karena perjuangan agar cinta mendapat restu. Aku bagaikan kertas tanpa pena, cintaku ... aku tidak akan menolak jika kamu mengajakku pergi ke jalan cinta di musim semi. Aku sangat ingin menikmati indahnya bunga sakura. Jika Allah subhanahu wa ta'ala menghendaki. Aku ingin ke sana denganmu, namun kita pasrahkan saja kepada Allah yang maha merencanakan. Cintaku aku tidak tahu kau bisa lebih gila jika bukan aku yang menjadi makmumu. Tetapi aku akan lebih depresi tanpamu.
Dengan caramu memimpinku, membanggakan mu dengan caramu, menerima kekuranganku, aku menyayangimu dengan caramu siap menjadi Imamku. Aku mencintaimu di setiap pejaman mataku.
Ya Allah, ridhoi kami atas cinta kami. Aku dan kamu hanyalah hamba yang merebut ridho cinta sang pemilik sejati. Agar aku dan kamu dapat menjadi kekasih sang Ilahi, Aamiin. Sudah lama kita menjalani cinta seperti ini. Pacaran tidak direstui. Putus karena tidak ingin durhaka. Lalu Abah menerima lalu jarak jauh, dan secara islami semoga Allah segera menyatukan kita dalam ikatan suci pernikahan yang tinggal menghitung 48 jam.]
Surat itu dari kedua insan yang sedang berbunga-bunga perasaan mekar karena cinta akan disatukan dengan ikatan suci. Gadis cantik itu bernama Madina Adiba Az-zahra. Matanya sangat indah dan bercahaya, bulu matanya lentik, alis yang hitam dan tidak terlalu tebal, hidungnya mancung dan bibirnya pun tipis merona. Senyumnya sangat manis dengan lesung pipi.
"Adiba ...." Suara wanita paruh baya, membangkitkan gadis cantik itu. Adiba melipat surat yang belum dia lipat.
"Iya, Umi ada apa ...?" kata gadis cantik berhijab yang berjalan keluar kamar lalu menuruni anak tangga satu-persatu dengan langkah cepat, menghampiri.
"Ada telepon dari Ridwan," kata Umi pelan. Sangat terkejutnya Adiba. Dia baru saja selesai membaca surat dari calon imamnya, namun kini dia sudah akan mendengar suara dari pujaan hatinya. Walaupun merasa heran namun terlihat jelas jika dia sangat berbahagia.
Perasaan berdebar-debar selalu berhias ke dalam hatinya. Menata suara ketika sudah memegang gagang telepon. Dia memejamkan mata sambil tersenyum. Mengendalikan perasaan yang mengguncang di dalam sanubari.
Wanita kesayangan meninggalkan dia. Senyum itu menghiasi bibirnya. "Halo ... Assalamualaikum," sambutnya dengan suara halus dan lembut.
"Waalaikumsalam, apa benar ini dengan Adiba Azzahra?"
Kekasih hati sering melakukan hal unik yang membuat wanitanya senyum-senyum sendiri.
"Iya ... benar, ada yang bisa saya bantu?" tanya Adiba. Tuk sejenak mereka saling bercanda seperti baru mengenal.
"Bisakah saya bicara sebentar?" tanya Ridwan. Telapak tangan gadis itu mulai berkeringat dan dingin.
"Tentu silahkan ...." sambutnya sambil menutup mulut.
"Aku merindukanmu, aku ingin bertemu sebelum hari pernikahan kita. Entah kenapa aku sangat ingin bertemu, engkau tidak bisa mengerti dengan perasaanku ini. Menurut mereka tidak baik bertemu jika akan ada pernikahan. Namun tolong kasihani aku. Biarkan aku melihat wajahmu sebentar saja. Rasanya aku ingin bertemu seperti saat aku akan pergi meninggalkanmu, pada waktu itu. Ketika aku mulai berjuang agar cinta kita direstui, oleh calon Ayah mertua."
"Apa maksud Kak Ridwan?" tanya Adiba yang menyahut dengan suara serak.
"Entah, aku juga tidak tahu kali ini sepertinya aku tidak bisa lagi menahan nafsu ku, aku ingin segera bertemu dan menggenggam erat tanganmu, sampai penghulu menuntunku untuk mengucapkan ijab qobul. Aku serasa gelisah tak tenang aku berkali-kali mencoba mendekatkan diri di setiap putaran tasbih ku. Terlintas namamu di bayanganku. Di setiap aku membaca ayat-ayat Al-quran kau malah muncul bagai gambaran di pikiranku, bahkan di kertasnya juga. Sampai seperti itu Nau'dubillah ... Aku sangat takut ini gelora dosa jika tidak bertemu. Bahkan di setiap sholat ku aku sudah menduakan Allah dengan membayangkan mu tidur di atas sajadahku. Astaghfirullah ... sangat-sangat majnun. Aku tidak ingin rasa ini terus memikat ku hingga aku melakukan hal-hal konyol. Usahaku agar aku tidak merindukanmu sudah kulakukan, tapi itu tidak bisa menahannya. Berkali-kali ku ucapkan tapi aku tidak tahu apa maksud dari semua ini, jika diizinkan aku akan meminta restu Umi dan Abah. Untuk datang menemui sebentar saja. Aku tak perlu membawamu ke luar rumah. Aku hanya ingin memandangmu sebentar ... saja, beberapa menit. Takut juga jika aku mengajakmu keluar bujukan setan di luaran sana merajarela. Hanya perlu di dalam rumah satu menit atau dua menit saja."
"Permintaan mu ini membuat aku takut kak," ujar Adiba dengan suara bergetar karena firasat.
"Karena apa?" tanya Ridwan tetap santai.
"Entahlah ... serasa aku akan kau tinggalkan, katakanlah Allah subhanahu wa ta'ala Yang Maha Kuasa tidak akan memisahkan kita lagi kan?" tanya Adiba mulai serius karena cemas. Perasaan gelisah mendatanginya. Berbeda dengan suara dari dalam telepon yang menunjukkan kalau Ridwan tersenyum dengan sedikit ketawa lirih.
"Jika Allah subhanahu wa ta'ala memisahkan, kita biarkanlah Allah melakukannya. Ingat aku milik Allah."
"Kamu jangan membuatku takut!" seru Adiba kesal.
"Hehehe. Jika benar begitu aku akan menjadi milik Allah bukan milikmu." ucapan Ridwan yang seperti itu membuat Adiba sedikit kesal.
"Iya. Aku juga milikNya. Namun perjuangan kita ... Kakak mau kehilangan aku, kakak tidak takut?" tanya Adiba.
"Tidak, karena keadilan Allah subhanahu wa ta'ala aku sudah mencintaimu, akan melihatmu bahagia dari pertamanan surga," kata Ridwan sangat ringan.
"Ih ... mulai deh, bicara apa sih Kakak ini?! udah ah ... aku tutup saja teleponnya," kata Adiba. Lalu menutup telpon. Adiba memejamkan mata dengan beristigfar.
Bersambung...