Perjalanan anak cucu Adam yang beraneka ragam seperti cinta yang tidak dapat diekspresikan, diutarakan, dengan perasaan yang tak karuan. Cinta memang sesuatu yang tidak bisa diprediksi. Setiap manusia di dunia jodoh sudah tertulis.
Insan hanya menjalani apa yang sudah ditakdirkan Sang Ilahi. Karunia Sang Ilahi yang menciptakan dunia dan seisinya begitu indah dan beraneka ragam.
Embun pagi menguap ketika sinar mentari beranjak dengan cerahnya.
[Aku sudah bersiap untuk datang ke rumahmu. Aku sudah berada di perjalanan hendak melepas sebuah beban rindu. Aku mohon kamu jangan berdandan. Aku ingin melihatmu yang natural tanpa make-up sama sekali.]
Pesan via whatsapp baru saja dikirimkan oleh Ridwan. Sama sekali tidak menduga jika calon suaminya menghubunginya lewat ponsel.
Adiba sama sekali tidak memperdulikan itu karena dia lebih mementingkan perasaan bahagianya. Rasa debar jantung yang tidak bisa dikendalikan membuat dia merona, pipinya mulai memanas.
[Baiklah aku akan tetap jelek hingga kamu tidak tahan dekat-dekat denganku nanti. Tapi kau akan tetap terpesona denganku, karena aku adalah pemikatmu. Namun, bukan belenggu mu. Aku tidak mau kamu bermaksiat lama-lama karena kita belum menjadi kekasih halal.]
Balasan chat itu dikirimkan Adiba kepada Ridwan. Adiba sama sekali tidak merias wajahnya dia hanya berdiri di depan cermin.
"Jika aku ada tempat rusukmu. Di mana isinya tempat rusuk Itu adalah sebuah paru-paru, jantung dan hati. Apakah kamu juga merasakan perasaan yang berdebar-debar ini? Ini semua begitu magic."
Adiba sedari tadi memegang tempat jantungnya. Namun, tiba-tiba air matanya berlinang begitu mudahnya.
"Ada kesedihan yang tiba-tiba datang dan aku menangis. Sepertinya aku memilikimu, hanya memilikimu, tapi aku juga akan kehilangan mu. Aku menangis hati ini. Semua firasatku, aku berdoa semoga tidak terjadi apa-apa. Ya Allah, tolong Kuatkan hatiku Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia hambaMu. Dia adalah akhir dari air mataku, aku berbagi apapun dengannya. Aku selalu meminta dia yang akan menjadi Imamku nantinya. Aku sendiri tidak mengerti dengan perasaanku yang seperti ini. Semoga Engkau selalu menguatkan hamba. Aamiin." Adiba merasakan detak jantung yang aneh.
*****
Suara mesin motor yang dimatikan di depan rumah bercat putih abu-abu. Membuat Adiba membuka tirai, nggak salah lagi jika itu adalah calon suaminya. Wajahnya menjadi bahagia seketika. Dia tidak sabar melangkah keluar namun seketika dia melihat kaca dan kembali bercermin.
Dengan telapak tangan yang mulai dingin dia menepuk-nepuk pipinya.
"Pakai bedak tidak ya? Berminyak tidak sih?" gumamnya lalu mengambil sebuah bedak, Adiba kembali bercermin. "Dia meminta agar aku tidak melihat wajahku jadi aku tidak akan memakai bedak." Dia mengurungkan niat.
Langkahnya pelan-pelan pasti menuruni anak tangga dengan hati berbunga-bunga. Jantung berdebar-debar tak karuan. Saat itu pas Ridwan berada di tengah pintu.
"Assalamualaikum." Suara begitu lembut. Seketika tatapannya yang menyapu ruangan. Tertuju pada seorang gadis yang hendak menghampirinya.
"Waalaikumsalam," jawab Adiba yang mulai mendekat. Merunduk tapi tersenyum, pipinya benar-benar merona.
"Duduk Nak," sambut hangat dari Umi. Ridwan tersenyum sangat tampan. Dia kemudian duduk dan sejenak melirik kepada gadis yang dirindukannya. Tidak lama dia segera mengembalikan pandangannya ke wanita paruh baya itu, meraih tangan kemudian mencium punggung tangannya.
Kedua insan yang sedang bahagia ini sama-sama meneguk ludah kasarnya karena gugup setelah lama tidak bertemu. Pelan-pelan Adiba. Keduanya sama sekali tidak bersentuhan tangan dan duduk berjauhan.
Saling berjarak namun sangat dekat dengan tatapan mata. "Jangan lama-lama ya nak Ridwan. Ini mumpung para saudara belum pada datang," pinta Umi.
"Saya tidak akan lama-lama Umi," jawab Ridwan. Suaranya terdengar sangat bahagia. Adiba menutupi wajahnya dengan jari-jarinya. Keduanya belum berbincang sama sekali karena Umi baru meninggalkan keduanya.
"Kita tidak punya waktu lama Kak. Jangan diam seperti itu," ujar Adiba merunduk sambil merasakan sesuatu dari dalam hatinya. Mengendalikan sebuah hati yang sangat bahagia.
"Jujur saja aku tidak tahu apa yang ingin aku bicarakan, rasanya benar-benar istimewa." mendengar itu dari Ridwan, Adiba tersenyum. Agar pertemuannya terasa berkesan Adiba pun melihat undangan di samping telepon rumah.
"Ini undangannya, coba Kakak lihat."
"Aku tidak pernah mempermasalahkan semua. Aku yakin yang pernah kita pilih itu sudah cukup. Adiba, rasanya aku ingin mengungkapkan semuanya apa yang pernah aku pendam. Aku ingin mengucapkan kalimat yang tidak pernah aku ucapkan. Dengarkan ya. Bismillahirohmanirohim. Aku memilihmu sebagai wanita yang aku cintai lahir batin. Semuanya tidak bisa kita prediksi semuanya adalah rencana Sang Ilahi. Kau adalah wanita pertama yang menghiasi hatiku. Di atas cintaku aku sudah melandaskan cintaku dengan sumpah kepada Allah. Aku ingin selalu menangis jika aku tidak dapat memilikimu. Mungkin ini dinamakan nikmat dari Allah. Ketika mencintai satu wanita. Mencintai secara Islam memang menyakitkan, karena kita berani menahan nafsu. Kita tidak tergoda oleh syahwat ketika kita sedang bersama seperti ini. Insyaallah kita sudah memperjuangkan cinta kita walau belum sepenuhnya. Aku meminta kepadamu. Apapun yang terjadi nanti terimalah dengan ikhlas perjalanan akhir cinta. Kau siap dan aku pun siap."
Mendengar semuanya seakan-akan. "Kenapa pertemuan ini membahas itu. Dari tadi ditelepon kemarin. Kenapa aku takut seakan-akan katamu akan memisahkan kita dan menjauhkan kita." Adiba sudah berkaca-kaca dan tak kuasa lagi menahan air matanya.
Ridwan malah tersenyum memandangi calon istrinya. "Aku mohon jangan membahas sesuatu yang membuat aku takut!" tegas Adiba kepada Ridwan.
"Hik hiks est ... Jangan menggelisahkan hatiku. Karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan ku tanpamu Kak Ridwan," ujar Adiba dengan suara terpecah dan terus menahan air matanya.
"Kau bisa tanpa aku. Allah akan selalu bersamamu. Entahlah, Aku tidak tahu kenapa aku bisa berkata seperti itu. Kau harus tenang, cukup dirasakan cinta kita lewat hati." Mendengar ucapan Ridwan, Adiba menatapnya tajam.
"Kenapa? Jangan menangis Adiba? Apa kau marah? Jangan marah, kau juga tidak boleh takut. Jangan pasang wajah seperti itu. Aku akan pulang. Jika kau tetap cemberut seperti itu, kau membuat aku gelisah," bujuk Ridwan kepada Adiba.
"Aku ingin menahanmu. Hiks hiks hiks est ... aku ingin tidak menangis tapi aku tidak bisa," kata Adiba tersedu-sedu. "Aku benar-benar menakutkan sesuatu tapi kau tetap tenang seperti itu," protes Adiba kepada Ridwan.
"Adiba. Kau terlalu mengkhuwatirkan ku. Tersenyumlah sebelum aku pulang. Baiklah, kalau tidak mau tersenyum melihat lah kepadaku. Akan ku robek dadaku dan kuberikan kepadamu. Jagalah hatiku baik-baik, Hai lihat! Segera tangkap. Ayo aku sudah melemparkannya kepadamu," pinta Ridwan.
"Hab. Lihatlah aku sudah menangkap hatimu di dalam lubuk hatiku."
Adiba tersenyum lalu meraih sesuatu yang tidak terlihat dan meletakkan di dadanya sambil tersenyum.
"Alhamdulillah. Karena rasa rinduku Sudah terobati. Walaupun dalam menit yang singkat aku sudah tenang. Kalau begitu sekarang aku akan pulang, Assalamualaikum." Ridwan berjalan keluar dari rumah Adiba.
"Waalaikumsalam." Adiba mengikuti calon imamnya dari belakang berjarak enam langkah. Adiba tersenyum ketika sejenak ketika Ridwan menatapnya sambil tersenyum.
Melihat calon imamnya sudah hendak pergi Adiba akan masuk ke dalam rumah. Langkah pelan sambil senyum-senyum sendiri.
Ngikkk!
Bruuoggg!
Seketika Adiba lemas mendadak setelah mendengar suara itu.
Bersambung.
Hai Readers semoga suka ya.