Chereads / Cinta Kamu, Titik. / Chapter 5 - Cinta Yang Hijrah

Chapter 5 - Cinta Yang Hijrah

Suara keras yang didengar Adiba membuat Adiba, meneteskan air mata. Detak jantung semakin cepat dan menghidupkan ketegangan. 'Senyum manismu akan membuat aku tidur nyenyak.'

Teringat ucapan calon suaminya sebelum pergi. Gadis itu menelan ludah kasarnya. Adiba segera melangkahkan kaki keluar dengan sangat perasaan yang sangat sesak.

'Sungguh tidak rela melepas kepergianmu, kenapa aku ingin mempertahankanmu, dan tidak merelakan kepergianmu. Aku bagaikan sedang bermimpi indah, bermimpi di surga, namun saat aku menuju kebahagiaan di dalam mimpiku, aku dibangunkan. Dan, lenyaplah mimpi-mimpi Indah itu.'

Suara mengguncangkan terjadi di jalan ketika Adiba sampai di sana. Dia terjatuh lemas seketika, nafasnya terengah-engah dengan deraian air mata. Linangan air mata semakin deras. Adiba berusaha menguatkan kakinya untuk mendekati pria yang tergeletak dengan dipenuhi darah.

Para warga mulai ramai membicarakan siapa dia. Dengan bibir bergetar hebat dengan hati yang terasa sakit. Adiba mendekat kepada calon suaminya. Adiba menggeser kedua orang yang duduk memegang kepala dan kaki Ridwan.

"Tolong ... Kenapa kalian hanya diam saja! Ayolah ... hik hik hiks est ... Tolong bawa dia ke rumah sakit."

"La Tahzan Innallaha ma'ana, Ya Habibi. Ana uhibbuki Fillah (jangan bersedih karena Sesungguhnya Allah bersama kita, Hai kekasihku. Aku mencintaimu karena Allah)." Ridwan mengucapkan itu lalu memejamkan mata. Air mata Adiba semakin deras.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." mendengar salah satu tetangganya mengatakan kalimat duka itu. Adiba seolah-olah tidak terima.

Lumuran darah berceceran. "Kak ... bangun ... hik hik hiks he ... hiks. Kak bangun ... kenapa kamu bangunkan aku dari mimpi indahku. Kak bangun ...."

Adiba yang tidak terima dan hatinya yang sangat hancur dia terus menggerakan tubuh yang tidak lagi bernyawa. Umi dan Abahnya Adiba datang. Melihat kondisi calon menantunya yang memang sudah tidak bisa lagi diselamatkan.

Adiba benar-benar memberontak Jalan meninggalkan tubuh yang tidak lagi bernyawa.

Ketidakterimaan membuat dia marah. Dia menangis meronta memeluk Uminya.

"Lihat Umi ... lihat ... lihat lah. Lihat tidak bernyawa lagi Umi. Umi ... beginikah balasan menahan nafsu. Beginikah balasan Allah kepada ku. Aku sudah menahannya bertahun-tahun. Kami tidak melanggar larangan Allah. Umi ... ini tidak adil Umi ... ini sangat tidak adil ... hik hik hiks."

Protes dari putrinya itu membuat Umi bersedih. Umi hanya bisa membelai kepala putrinya yang tiba-tiba turun dan bersimpuh memeluk kaki wanita yang melahirkannya.

Air mata terus bercucuran tidak henti-henti. "Adiba. Tenanglah jangan menangis seperti ini. Ingat semua, kata-kata Ridwan sebelum pergi. Kamu harus tegar sayang ...." wanita paruh baya itu berusaha menguatkan diri agar putrinya merasa tenang atas kepergian kekasihnya.

"Kenapa bukan aku kenapa bukan aku yang dicabut nyawanya. Kenapa Allah tidak mencabut nyawaku. Kenapa yang kuasa menyiksaku seperti ini. Lihatlah Umi ... Besok hari pernikahanku. Besok adalah mimpi indah aku dan cita-citaku. Namun ternyata ... Lihatlah. Dia pasti merasakan sakit dan luka yang teramat. Ya Allah kenapa engkau sangat tega kepadaku. Kenapa engkau tidak memberikan aku kesempatan untuk bahagia. Kenapa ya Allah ...."

Adiba benar-benar tidak terima atas kejadian yang menimpa dirinya. Melihat kekasih hati yang didambakannya akan menjadi imam nya dan kini harus pergi kembali kepada yang kuasa.

Nafas panjang keluar dari Adiba tubuhnya semakin lemas dan lemas semuanya terasa gelap dan dia tidak sadarkan diri.

Adiba benar-benar merasakan hancur yang teramat dalam, kekuatannya untuk bernapas pun sangat lemah.

'Hatiku hancur. Begitu menyakitkan semua ini. Untuk apa aku hidup. Untuk siapa aku hidup. Cintaku ini memang keterlaluan dan berlebihan. Namun aku juga selama ini sudah menahan agar cintaku ini tidak keterlaluan kepada sesama manusia. Dengan cara apa? Dengan cara menjauhi segala laranganMu. Namun ternyata saat aku benar-benar menunjukkan kecintaan ku kepadaMu. Engkau malah mengujiku seperti ini. Sekian lama aku memendam perasaanku kerinduanku kecintaanku kepadanya. Dia hanyalah seorang hamba yang membuat hatiku benar-benar ikhlas menjalani semua takdir dariMu. Dan kini Engkau sudah merenggutnya. Katakan padaku jika itu semua hanya mimpi, tumpah darah dan kejadian hanyalah mimpi yang buruk. Semoga saat aku bangun ada harapan indah.'

Hati yang tidak terima membuat Dia meyakinkan bahwa Semuanya hanyalah mimpi buruk yang baru saja dimimpikan nya. Adiba membuka mata, dia tersenyum namun air matanya berlinang.

Namun kejadian di depan mata dengan luka yang cukup parah dari Ridwan hadir menjelma sebagai bayangan. Sulit baginya untuk menerima kenyataan yang ada.

'Cintaku kemana kau hijrah aku merindukanmu. Kau membuat kenangan di bawah lafadz bismillah dan aku kau tinggalkan dengan kenangan La Tahzan Innallaha ma'ana. Aku masih tidak terima, hatiku sunyi, jasadmu merana di alam sana. Apa aku tidak boleh menemanimu di bawah batu nisan. Apa aku tidak boleh tidur di sampingmu dan terkubur bersamamu?'

Tanya Adiba di dalam hati sambil melangkah pelan, matanya terus menatap kosong. Cahayanya redup dengan dada yang terasa sesak buliran setiap air mata jatuh tumpah menetes ke pipinya.

Goresan dan sayatan ini begitu dalam. Menusuk relung hati, mereka semua tidak merasakan apa yang aku rasakan. Kejamnya dunia ini kepadaku, padahal sebisa mungkin aku menghindari dosa. Dia yang mendekatkan aku kepadaMu. Namun kali ini Engkau mengambilnya dariku. Ampunkan ketidakterimaan ini, ampunkan hatiku jika aku mati. Ampuni hamba yang sudah putus asa. Ampuni hamba yang sudah tidak lagi semangat untuk hidup. Ampuni hamba yang mencintainya. Ampuni hamba Jika cinta hampa terlalu kepada hambaMu. Cinta sesama manusia harusnya wajar. Aku tidak bisa."

Rumah yang akan dijadikan resepsi pengantin. Ini malah dijadikan tempat duka. Tubuh Sang Kekasih sudah terbujur kaku, sudah terikat kain kafan. Dia tersenyum walaupun dia sudah tidak lagi bernyawa.

Adiba menuruni anak tangga ketika mereka akan membawa jasad Ridwan. Wanita paruh baya itu melihat putrinya yang menuruni anak tangga. Cara menghampiri putrinya menonton putrinya menemui sang kekasih untuk terakhir kalinya.

Sangat menyakitkan dan menyiksa batin seorang Umi. Melihat kesedihan yang teramat dalam dari putrinya.

"Apa kamu ingin ikut mengantar ke pemakaman?" tanya Umi dengan suara yang sangat serak.

"Umi ... masih bisa Umi berkata seperti itu, bagaimana nanti jika dia kesepian ... maaf Umi, hati dan ragaku tidak kuat melihatnya, kesepian dan kesunyian dialam baka. Aku tidak ingin mengantarnya ...."

Adiba berusaha sekuat mungkin agar air matanya tidak terjatuh walau hatinya sangat pedih. Pandangan gadis itu selalu kosong dengan mata yang sendu.

'Ikhlas ... apa artinya itu ... heh ... cinta ... kemana kau hijrah. Tidak bisakah kau membawaku. Tidak bisakah kau ... menjadikanmu temanmu di alam sana. Aku tetap ingin menjadi pengantinmu. Cinta atas nama Ridwan Assidiq. Uhibbuka.'

Bersambung.