Chereads / Cinta Kamu, Titik. / Chapter 6 - Api Kerinduan.

Chapter 6 - Api Kerinduan.

"Adiba ... Umi tahu hatimu sedang hampa, sedang kosong, tapi lihatlah. Sudah cukup bagi Ridwan memilikimu di dunia Allah Maha Adil. Dia akan bahagia di sana, Umi yakin dengan itu, kita doakan agar jalannya Ridwan tidak gelap. Jika kamu mencintai Tuhan maka doakan agar dia mudah menjawab pertanyaan malaikat dalam kubur."

Adiba menatap Uminya dengan tatapan kosong. "Est ... heh ... Iya Umi ... dia orang yang sangat sempurna imannya, dia sudah mengorbankan apa pun agar tidak menuruti syahwat jahatnya. Sedang aku ... aku apa bisa seperti dia, aku bisa menjaga diriku karena dia, aku sekarang ini bagai mayat hidup tanpanya."

"Sayang ... anak Umi, Allah akan mengganti semua." Wanita paruh baya itu membelai kepala sang putri.

"Umi sangat yakin akan ada kebahagiaan setelah ini. Jadi apa kamu mau ikut memakamkan kekasihmu?" tanya Umi sambil menggenggam erat tangan putrinya.

"Aku benar-benar sudah tidak sanggup Umi ... tubuhku lemah tidak berdaya. Hik hik hiks est ...."

"Umi dan semua mengantarnya. Kamu jangan lakukan sesuatu hal yang membahayakan dirimu, ya sayang ... ingat itu dosanya sangat besar." Umi sengaja menasehati agar Adiba tidak melukai diri sendiri.

Adiba terdiam tidak menjawab apapun kemudian Umi mencium keningnya dan pergi dengan keadaan kurang rela.

'Tempat Bahagia menjadi tempat duka. Goresan ini lebih tajam daripada luka apa pun. Hatiku sekarang sudah hancur bagaikan kaca yang pecah. Tiada lagi harapan untuk hidup. Untuk apa juga aku hidup. Untuk siapa juga aku hidup jika kekasih hatiku meninggalkanku. Mereka semua memandang jika aku terlalu cinta. Cinta buta dan cinta gila. Mereka tidak merasakan jadi aku dan tidak pernah mengalami takdir seperti aku.'

Rasa sesak semakin menjadi membelenggu semakin erat, air mata itu tidak henti-henti dan ia bagai menyiksa dirinya sendiri dengan kedukaan. Mereka semua berangkat mengantarkan jenazah Ridwan.

Adiba berjalan tanpa tujuan. Langkah kaki membawa dia ke dalam Kerinduannya. Dia berjalan seakan-akan dia akan menemui seseorang yang sangat dicintainya.

'Mencintaimu tanpa henti. Memikirkanmu setiap saat. Kamu selalu hadir dalam setiap waktu dan ketika aku memandang ke mana pun. Aku melihatmu. Mungkin sekarang ini aku merasakan aku menjadi Qais ... Qais yang merata rumah dinding Laila. Kamu pernah membacakan kisah Qais Laila dari buku. Nezami Ganjavi."

Adiba tanpa alas kaki terus berjalan tanpa tujuan sambil berbicara, "Kerabat dan handaitaulanku mencela

Karena aku telah dimabukkan oleh dia

Ayah, putera-putera paman dan bibik

mencela dan menghardik aku.

Mereka tak bisa membedakan cinta dan hawa nafsu. Nafsu mengatakan pada mereka, keluarga kami berseteru

Mereka tidak tahu, dalam cinta tak ada seteru atau sahabat.

Cinta hanya mengenal kasih sayang

Tidakkah mereka mengetahui?

Kini cintaku telah terbagi.

Satu belahan adalah diriku

Sedang yang lain ku berikan untuknya

Tiada tersisa selain untuk kami.

Wahai burung- burung merpati yang terbang diangkasa.

Wahai negeri Irak yang damai

Tolonglah aku! Sembuhkan rasa gundah-gundah yang membuat kalbu tersiksa.

Dengarkanlah tangisanku. Suara batinku ...."

Mereka menyaksikan kegilaan Adiba dan mengolok Adiba. Gadis itu tidak mendengar dia hanya mendengar alam dan imajinasinya.

"Waktu terus berlalu, usia makin dewasa

Namun, jiwaku yang telah terbakar rindu

belum sembuh jua.

Bahkan semakin parah.

Bila kami ditakdirkan berjumpa.

Akan kugandeng lengannya.

Berjalan tanpa alas kaki menuju kesunyian. Sambil memanjatkan doa-doa pujian kepada Allah SWT.

Ya Raab, telah kujadikan dia

Angan-angan dan harapku.

Hiburlah diriku dengan cahaya matanya.

Seperti Kau hiasi dia untukku.

Atau buatlah dia membenciku

Dan keluarganya dengki padaku.

Sedang aku akan tetap mencintainya

Meski sulit aku rasa.

Mereka mencela dan menghina diriku

Dan mengatakan aku hilang ingatan.

Sedang dia sering terdiam mengawasi bintang. Menanti kedatanganku.

Aduhai, betapa mengherankannya

Orang-orang yang mencela cinta.

Dan menganggapnya sebagai penyakit

Yang meluluh-lantakan dinding ketabahan. Aku berseru pada singgahsana langit.

Berikan kami kebahagiaan dalam cinta.

Singkaplah tirai derita yang selalu membelenggu kalbu.

Bagaimana mungkin aku tidak gila.

Bila melihat gadis bermata indah

yang wajahnya bak matahari pagi bersinar cerah.

Menggapai balik bukit, memecah kegelapan malam. Keluarga berkata

Mengapakah hatinya wahai ananda?

Mengapa engkau mencintai pemuda

Sedang engkau tidak melihat harapan untuk bersanding dengannya

Cinta, kasih dan sayang telah menyatu

Mengalir bersama aliran darah di tubuhku. Cinta bukankah harapan atau ratapan. Walau tiada harapan, aku akan tetap mencintainya. Sungguh beruntung orang yang memiliki kekasih yang menjadi karib dalam suka maupun duka

Karena Allah akan menghilangkan

Dari kalbu rasa sedih, bingung dan cemas. Aku tak mampu melepas diri

Dari jeratan tali kasih asmara

Karena surga menciptakan cinta untukku. Dan aku tidak mampu menolaknya. Sampaikan salamku kepada dia, wahai angin malam

Katakan, aku akan tetap menunggu,

hingga ajal datang menjelang. Kamu membacakan puisi Qais untukku. Kenanganmu menjeratku mana mungkin aku bisa melepasmu dengan mudah."

Adiba menyaksikan jasad yang akan masuk ke liang lahat. Air matanya berlinang dadanya semakin sesak.

"Cinta laksana air yang menetes menimpa bebatuan. Waktu terus berlalu

dan bebatuan itu akan hancur

Berserak bagai pecahan kaca

Begitulah cinta yang kau bawa padaku

Dan kini hatiku telah hancur binasa

hingga orang-orang memanggilku si dungu. Yang suka merintih dan menangis. Mereka mengatakan aku telah tersesat. Mana mungkin cinta akan menyesatkan. Jiwa mereka sebenarnya kering, laksana dedaunan diterpa panas mentari. Begitu cinta adalah keindahan yang membuatku tak bisa memejamkan mata. Pemuda manakah yang dapat selamat dari api cinta. Mereka menganggap cinta adalah dosa.

Cinta bagi mereka adalah noda.

Yang harus dibasuh hingga bersih

Padahal kalbuku telah menjadi tawanannya. Dan ia juga merindukanku.

Cinta masuk ke dalam sanubari tanpa kami undang. Ia bagai ilham dari langit yang menerobos dan bersemayam dalam jiwa kami. Dan kini kami akan mati karena cinta asmara.

Yang telah melilit seluruh jiwa

Katakan padaku, siapa orang yang bisa

Bebas dari penyakit cinta? Aku gila karena cinta itu," gumam Adiba yang lalu memeluk pohon.

Kaki Adiba penuh dengan luka. Namun luka-luka itu bukanlah hal besar baginya. Saat ini yang paling besar adalah hatinya hatinya yang rapuh karena kehilangan cintanya.

"Alam kita sudah berbeda. Cintaku Kau hijrah tanpa pamit kau mengisi hatiku tanpa permisi kau impian yang sirna. Kau meninggalkanku berkali-kali tanpa kau kembali. Apa kali ini kau tidak bisa kembali kepadaku? Cukup kuserahkan dengan pejaman mata karena hadirmu menenangkan jiwa dan ragaku. Kamu sendiri, bolehkah aku menemanimu?"

Hanya pohon yang hampir selama dua jam gadis itu berdiri memeluk pohon. Melihat orang-orang berpergian meninggalkan kekasihnya sendiri di bawah batu nisan. Adiba melangkahkan kaki dengan mata sendu.

Bersambung.