"Hei, Tuan Mesum! Kenapa kau malah diam? Cepat turunkan aku! Aku punya kaki dan aku bisa jalan sendiri!" tanya Mayang pada Bian yang terdiam sedari tadi.
Kini Bian menggendong tubuh Mayang bak menggendong pengantin. Bukannya bahagia, Mayang malah merasa risih dan juga takut. Ketidaknyamanan itu karena dirinya sama sekali tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh siapapun termasuk lelaki masa lalunya.
Dan hal yang membuatnya takut adalah kediaman Bian yang sangat jelas. Entah kenapa, tapi Mayang benar-benar khawatir dengan sikap Bian saat ini terlihat marah padanya.
Dirinya terus berjalan dengan kesusahan melangkah dengan dorongan ombak kecil selututnya. Sambil membawa beban berat tubuh Mayang dipelukannya.
Dari posisi mereka saat ini, Mayang dan Bian bisa melihat jelas sekitar delapan orang lelaki berseragam keamanan negara tengah berdiri di bibir pantai seakan menunggu mereka naik ke daratan.
"Kamu mau membuat perjanjian denganku?" tanya Bian dengan nada tenang namun raut wajahnya dingin dengan kemarahan.
"Perjanjian apa? Jangan kau pikir aku takut dengan ancaman akan kau laporkan ke pihak berwajib?" jawab Mayang dengan pertanyaannya kembali.
"Bukan kamu yang akan kuserahkan ke Polisi, tapi aku sendiri yang akan mengakui perbuatan kita tadi, karena aku mengancam kamu melakukannya. Bagaimana? Kamu bebas dan aku di penjara. Dan hal itu akan membuatmu sedih dan terus merasa bersalah," terang Bian yang terus saja menyudutkan Mayang untuk mengambil keputusan.
"Kau mengancamku? Baik, aku mau dengar dulu apa perjanjiannya!" ucap Mayang menantang.
"Cukup dua hal yang kuminta, dan kamu harus berjanji!" ucap Bian memandang Mayang lekat. Mayang dapat merasakan tatapan itu begitu serius. Mayang tidak menjawab, namun Bian tahu saat ini Mayang bertanya dalam diam.
"Jangan pergi dariku atau menjauh dariku lagi. Dan jangan melakukan hal gila seperti tadi. Aku tidak ingin melihatmu terluka ataupun pergi dari pandanganku, atau aku akan mati karena kehilanganmu. Mau tidak mau kamu harus mau. Karena aku tidak menerima jawaban tidak!" ucap tegas Bian membuat Mayang tertegun.
"Hei, bukankah ini memaksa? Mana pilihannya?" tanya Mayang keberatan.
"Pilihannya, kamu hanya harus menjawab 'ya', itu saja," jawab Bian serius. Perasaan Mayang bercampur aduk saat ini. Mendengar dan melihat keseriusan seorang Biantara Heldana pada wanita sepertinya
"Sebesar apa perasaanmu untukku? Kau belum tahu siapa aku dan hidupku, tapi mengapa rela mati karena aku?" tanya Mayang yang juga serius.
"Aku sudah pernah bilang, aku tidak peduli siapa dirimu di masa lalu. Karena aku yang akan menjadi masa depanmu. Terima cintaku, maka aku akan membanjirimu dengan kebahagiaan sampai kamu sadar, aku begitu gila karenamu!" tegas Bian sekali lagi yang berhasil membuat Mayang tersenyum dan menyerah.
Entah menyerah yang bagaimana, hanya Mayanglah yang tahu. Yang jelas, saat ini hatinya berada di taman bunga yang indah. Ia merasa bahagia saat ini. Meletakkan kepalanya tanpa bersuara, bersandar di dada bidang Bian yang masih terus menggendongnya hingga mereka sampai di tepi pantai.
"Maaf, bisa minta waktu kalian sebentar?" tanya seseorang di hadapan mereka yang sepertinya pemimpin rombongan pasukan berseragam keamanan.
Dan juga, Mayang dan Bian menjadi tontonan pengunjung lainnya, walau tidak terlalu banyak karena mungkin hari yang telah redup.
"Ada apa? Apa kalian tidak pernah melihat orang bermesraan?" Bian menjawab sapaan Polisi tersebut dengan kemarahan. Ia tidak peduli dengan anggapan orang lain saat ini. Yang ia tahu, dengan segera menghangatkan Mayang dan mencari baju kering untuk wanitanya itu.
"Maaf, kalau kami mengganggu urusan kalian. Tapi saya mau tahu, apa yang kalian lakukan di sana? Dan kebetulan, kami sedang mengejar dua orang pengemudi motor yang menghilang di area ini. Dan kebetulan kami melihat kalian hampir tenggelam di sana. Maka kami datang dan bertanya," Polisi tersebut menjelaskan pada mereka.
"Sudah cukup? Aku mau lewat! Tidak peduli apapun yang kalian cari di sini, minggirlah! Biarkan kami lewat!" jawab Bian lebih dingin dari sebelumnya. Di benaknya saat ini hanya ingin segera membawa Mayang agar merasa nyaman.
"Hei, Bung! Apa kau tidak terlalu arogan berbicara dengan Polisi dengan nada seperti itu, hah?" teguran datang dari lelaki kekar berseragam lainnya.
"Jadi apa? Apa aku harus menjelaskan pada kalian, kalau tunanganku mencoba bunuh diri karena tidak sabar dan menuntutku untuk segera menikahinya? Itu yang kalian mau dengar?" ucap Bian tanpa malu.
"Hebat sekali alasan bodohmu ini, Tuan Mesum, haishh!" decak kesal Mayang dalam hati.
Bukan hanya Mayang, para aparat dan pengunjung lainnya yang menonton mereka merasa malu saat mendengarkan ucapan Bian yang enteng tadi.
"Lagipula apa hubungan kami dengan orang yang kalian cari?" jawabnya lagi. membuat aparat keamanan yang berjajar merasa segan.
"Sudah puas? Bisakah aku membawa tunanganku pulang?" tanya Bian yang langsung diberi jalan oleh mereka. Baru saja beberapa langkah maju, Bian membalikkan tubuhnya, "kalau kalian masih punya keluhan lagi tentangku, laporkan saja. Ceo Heldana Corporation bersikap tidak sopan pada aparat karena ingin menyelamatkan tunangannya," lanjutnya lagi.
Semua orang yang dilalui Bian terperangah. Ceo besar sekelas Biantara mereka hadang dengan alasan yang tidak ada hubungannya dengan Ceo itu sendiri.
"Aku tunggu surat panggilan dari kantor kalian paling lama besok. Atau aku akan menuntut kalian semua karena perbuatan yang tidak menyenangkan padaku dan tunanganku!" ucapnya menambahkan sebelum Bian benar-benar pergi meninggalkan tempat dan keramaian itu.
"Hei, apa lidahmu itu tidak bergetar saat bicara tadi? Apa kau tidak punya rasa malu sedikitpun, mengakui hubungan palsu yang bahkan tidak ada sama sekali?" omel Mayang pada Bian, "turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!" sambungnya lagi.
"Mayang, tolong diamlah! Aku kesusahan menahan pikiranku untuk tidak melumatmu di sini! Aku bersumpah, tingkahmu tadi membuatku marah! Jadi diamlah, kali ini aku yang mengambil keputusan, mengerti?" perintah Bian pada Mayang dengan raut wajah dinginnya.
Berbeda dengan ekspresi konyolnya saat tadi menghadapi banyaknya Polisi. Sekarang ekspresinya kembali berubah marah saat mereka bicara hanya berdua saja.
Mau tidak mau, Mayang harus menerima konsekuensinya kali ini. Ia juga menyadari perbuatannya tadi begitu gegabah. Mungkin saja ia tidak terlalu peduli dengan hidupnya. Namun kali ini bukan hanya membuat kekacauan di jalan raya, dirinya hampir saja membahayakan hidup seorang lelaki yang memiliki keluarga untuk dilindungi.
"Maafkan aku!" ucapan Mayang dengan pelan ini membuat langkah Bian terhenti dan memandangnya.
"Apa? Aku tidak dengar," Bian menggodanya dengan pertanyaan. Namun masih saja raut wajahnya ia sedemikian rupa agar tetap kaku di depan Mayang.
"Maaf, aku minta maaf, aku mengaku bersalah. Tolong maafkan aku! Apa kau dengar sekarang?" teriak Mayang yang terus bergeliat di gendongan Bian.
"Aku sudah dengar. Suaramu terdengar lembut di telingaku walau aslinya itu sebuah teriakan. Tidak masalah, setidaknya kamu menyesalinya," jawab Bian tenang walau sebenarnya hatinya tertawa terbahak-bahak.
"Jadi, kau memaafkanku?" tanya Mayang dengan mengukir senyum dan mata berkilau bak hewan peliharaan yang meminta disayang.
"Kumaafkan, jika cara meminta maafmu seperti caramu berterima kasih padaku kemarin, masih ingat?" jawab Bian.
"Surprise, kau ditipunya lagi, Mayang! Kenapa aku gampang sekali terjebak olehnya, hah?" jerit Mayang dalam hati.
(Tenang Mayang, kamu tidak sendiri. Masih ada orang lain yang merasa dirinya bodoh karena selalu masuk jebakan Bian, hahaha!)