"Arni! tolong dokumen yang kemarin saya suruh di scan, aslinya taruh di meja saya lagi," Bos menyuruhku, ketika aku baru saja akan duduk setelah merapikan dokumen yang ia tanda tangani. Sepertinya bos ku ini tidak pernah membiarkan aku beristirahat sebentar saja, maka dia akan berteriak "Arniiii". Terkadang aku suka kesal dibuatnya, kalau saja bukan karena Papahnya yang sudah banyak membantuku, malas aku harus menjadi sekerterisnya. Selain bawel dia juga tidak pernah mengucapkan Terima kasih apalagi memuji hasil kerjaku.
Pernah suatu hari dia meninggalkan dokumen untuk rapat diruanganya, padahal itu sangat penting, terpaksa aku berinisiatif mengirimkan hasil scan kepadanya dan menyusulnya ketempat rapat karena ada dokumen perjanjian yang harus ditanda tangani, dan ia hanya mengambil dokumen tanpa mengucapkan terima kasih, padahal aku sudah hampir kehabisan nafas karena harus berlari menaiki tangga dari lantai 3 menuju lantai 7.
Tidak cuma itu saja, ketika baru saja aku sampai rumah, terpaksa harus kembali kekantor, karena dia meminta aku untuk membantu menyusun dokumen yang berserakan di meja kerjanya.
Alasannya karena dia sudah pusing melihat angka-angka. Tadi mengapa dia mengizinkan aku untuk pulang? Sejak kejadian itu, aku memilih untuk menunggu di kantor sampai dia pulang.
Oya perkenalkan aku Arnita, kalau orang-orang biasa memanggilku Nita kecuali bos ku dia selalu memanggilku Arni, entah dari mana awalnya. Yang jelas dia akan memanggil Arni padaku, mungkin biar berbeda walaupun terkadang agak janggal di kupingku. aku sebentar lagi berumur 24 tahun, dan Sejak kecil aku di asuh oleh nenekku karena orang tua ku meninggalkan karena kecelakakan mobil ketika aku berusia 5 tahun. Ketika usiaku 12 tahun nenekku meninggal dunia karena sakit, dan sejak itu pamanku menitipkan aku dirumah yatim piatu. Alhamdulillah disekolah aku selalu mendapat beasiswa, jadi tidak terlalu menyusahkan orang lain. Hingga ketika umurn18 tahun aku diberi kesempatan untum bekerja pada perusahan Bapak Hermawan sambil kuliah, dia menyuruhku menjadi staf gudang diperusahaannya. O iya Pak Hermawan adalah donatur tetap rumah yatim piatu tempat aku tinggal. Dan saat aku selesai kuliah Pak Hermawan memindahkan aku ke bagian HRD, dan akhirnya menjadi sekertaris anaknya hingga sekarang.
Bos ku bernama Bryan Hermawan, pria dengan tinggi badan 178 itu lebih berwajah cantik dari pada tampan. Mungkin kalau tidak bentuk badannya yang nyaris sempurna sebagai pria, dia akan disangka wanita oleh orang-orang. Oleh sebab itu tidak jarang pria-pria bertulang lunak berusaha memdekatinya, tapi jangan harap Bryan akan melayani mereka, yang ada tendangan Taekwondo yang akan bersarang ditubuh mereka.
Walaupun berwajah cantik, tapi tidak sesuai dengan kepribadiannya yang dingin dan cenderung kaku. Jangankan dengan orang lain denga aku yang sudah bekerja dengannya selama hampir dua tahun, saja dia tidak pernah tersenyum.
"Pagi pak," sapaku sambil masuk kedalam ruangan dengan membawa satu buah nampan yang berisi kopi panas dan roti coklat kesukaannya.
"Hemm," itu jawaban setiap pagi yang aku dapat, ketika aku masuk kedalam ruangan untuk mengantarkan sarapannya.
Aku masih duduk di kursi sofa diruangannya, sampai dia mengusirku keluar ruangan karena. Kalau tidak dia akan berteriak memanggilku kembali.
Dan aku pun tidak berani menanyakan, "ada lagi pak yang bisa saya bantu?" maka dia akan memelototiku karena dia akan berkata, "kamu itu pegawaiku jadi terserah aku mau menyuruhmu apa," jadi dari pada didamprat, lebih baik aku duduk manis sambil menunggu perintahnya.
"Arni," aku berdiri begitu dia memanggil namaku.
"Ya pak?" Dia malah menggigit roti yang tinggal setengah ditangannya. Lalu melihat roti yang tinggal sedikit ditangannya.
"Kenapa roti ini rasanya berbeda dengan yang dirumah saya?" lalu dia memasukan sisa potongan roti kemulutnya.
"Mungkin selai dan rotinya berbeda merknya Pak" jawabku membalas pertanyaannya. Kalau dilihat dari posisi aku duduk, bos ku itu tampak sempurna. Hidung mancung bibir tidak terlalu tipis dan mata yang bagus tidak terlalu sipit tidak juga besar,vdengan kelopak mata yang tidak terlalu tebal, ditambah bulu mata yang tebal jika diberi mascara sedikit saja pastinya akan seperti orang yang memakai bulu mata palsu.
"Emang merk apa selai coklat dan rotinya?" ia menghirup kopi yang aku buat tadi, kopi satu sendok diseduh dengan air panas tidak pakai gula dan harus Arabika.
"Roti tawar dari toko Mariska dan selai coklat Nutella," jawabku cepat.
"Dirumah juga sama pakai itu," Bryan mengambil sepotong roti kembali yang kutaruh diatas piring dan aku selalu membuat 2 tangkup roti yang aku tooster terlebih dahulu baru aku isi coklat dan dibelah menjadi dua.
"Yang pasti orang yang buatnya berbeda," aku menengok arah si pemilik suara. Pak Hermawan ternyata.
"Apa kabar Nita?" Pa Hermawan menyalamiku.
"Baik Pak," jawabku sambil membungkukan badan ku sedikit karena posisiku sudah berdiri.
"Tumben Pah pagi-pagi sudah keruanganku?" Bryan masih duduk dibangkunya.
"Gak apa-apa ingin saja aku mampir keruangan mu, tidak boleh memang?" Pak Hermawan tersenyum lalu duduk disofa didepanku.
"Kamu gimana kabar? Sehat?" Tanya Pa Hermawan padaku.
"Kalau tidak sehat dia sudah dirumah sakit Pah," Bryan menjawab ketika aku akan menjawab pertanyaan dari Pak Hermawan.
"Kamu ini siapa? yang ditanya siapa yang jawab," Pak Hermawan melihat kearah Bryan.
"Saya, baik Pak," jawabku agar perdebatan ayah dan anak berhenti karena aku sering sekali menyaksi kan perdebatan tidak guna antara anak dan bapak ini, jika aku ada diantara mereka ujung-ujungnya aku lah yang menyelamatkan Bryan agar tidak keluar kata-kata anak durhaka dari mulut bapaknya hanya karena Bryan tidak mau mengalah padanya.
"Bryan nanti kamu pulang kerumah lah Mama mau mengenalkan seseorang padamu," Pak Hermawan memandang Bryan yang asyik menikmati roti dan kopi buatanku.
"Gak ah males," jawaban singkat dari Bryan membuat Pak Hermawan tidak bisa berkutik.
"Ya sudah kalau tidak mau, nanti aku sampaikan sama mamamu kalau kamu tidak mau," Pak Hermawan berdiri dari sofanya.
"Nita saya pamit ya, titip bos mu kalau dia macam-macam jangan bikinkan kopi dan roti untuknya lagi," aku janya tersenyum mendengarnya, jujur saja mana punya aku keberanian menolak perintah seorang Bryan Hermawan.
Aku menutup membali pintu ruangan Bryan setelah mengantar Pak Hermawan keluar ruangan lalu kembali duduk disofa karena sampai saat ini aku belum di usir untuk keluar Ruangannya.
"Arni tolong ambilin data yang sudah aku print, lalu cek samakan dengan data ini kalau ada yang tidak sama tandai dengan stabilo dikertas yang diprint dan kalau sudah selesai siapakan notulen untuk rapat nanti," seperti biasa dia memerintah tanpa memandang wajahku.
Aku berjalan kearah tempat duduknya dan mengambil map yang ia berikan padaku, kemudian berjalan kebelakang tempat duduknya karena mesin Printer berada persis di belakangnya.
Wangi semerbak parfum maskulin tercium dari tubuhnya tak sengaja tangannya memegang tanganku ketika aku hendak mengambil kertas yang sudah dia print.
"Maaf Pak," dia hanya diam
"kertas yang terakhir aku print kesinikan," Bryan hanya menengadahkan tangannya tanpa menatapku.
"Ini Pak," aku memberikan kertas yang dia minta, kembali aku duduk disofanya dan menyamakan lembaran kertas print dengan data yang ada di map.
"Sudah Pak, ini ada beberapa yang berbeda dan sudah saya tandai," sejam setelah aku memeriksa dokumen yang ia berikan agar tidak ada yang terlewat.
"Taruh disitu," pintanya. Aku kemudian berjalan menuju pintu karena hendak menyiapkan notulen untuk nanti siang.
"Kamu mau kemana?" Bryan menatapku.
"Ke meja saya Pak untuk menyiapkan notulen meeting Bapak nanti siang," kata ku bingung bukankah tadi dia memerintahkan aku untuk menyiapkan notulen untuk meeting.
"Bawa laptop kamu kesini, buat disitu," dia berkata sambil menunjuk kursi didepannya.
Aku berjalam keluar ruangannya untuk mengambil laptop dimejaku.
"Nit" Dinda menghampiriku.
"Ini dokumen yang harus ditanda tangani Pak Bos. HRD minta dibalikin kalau udah ditandatangan, Mau diproses soalnya," Dinda menyerahkan beberapa map biru berlogo perusahaan padaku.
"Lu ngapain didalam kagak keluar-keluar? sampe pegel gua nungguin," Dinda memasang muka kesal, karena memang setiap dokumen yang masuk apapun itu semua harus lewat aku terlebih dahulu dan Bryan tidak akan menandatangani jika bukan aku yang memberikannya, alasannya semua harus lewat prosedur.
"Ngurusin kerjaan lah, ngapain lagi berkas banyak noh didalem yang musti aku rapihin," aku menunjuk keruangan Bryan sambil berbisik.
"Arniiii!!" Bryan berteriak dari dalam.
"Udah ya gue tinggal kalau udah ditanda tangan tar gue wa loe," Aku buru-buru masuk kedalam ruangannya.
"Perlu berapa jam buat ambil laptop dari tempat kamu kesini?" Tanya nya dengan tatapan tak suka.
"Tadi ada Dinda Pa, dia memberikan Dokumen untuk ditanda tangani oleh Bapak," Aku meletakan dokumen di samping mejanya.
"Penting? Buka, biar saya bisa tanda tangani," aku kembali mengambil dokumen yang tadi aku letakan di samping kiri Bryan kalau jika tidak disegerakan aku khawatir dia lupa untuk menandatanganinya.
"Ini Pa," aku membuka setiap lembar yang sudah di beri pos it oleh Dinda.
Dan itu hampir sudah berjalan selama 6 bulan aku jarang duduk dibangku kerjaku lebih sering menyelesaikan di ruang Bryan, bahkan makan siangpun yang biasanya aku berkumpul dengan teman-temanku aku lebih sering makan diruangan Bryan. Jujur saja aku sendiri bosan karena sepertinya duniaku hanya seputar Bryan.
***