Chereads / Her Sweet Breath / Chapter 7 - ENAM: KEHILANGAN KAKEK

Chapter 7 - ENAM: KEHILANGAN KAKEK

'Menikah. Menikahlah denganku Chika. Izinkan aku menemanimu selalu menggantikan kakek.'

Sebuah janji yang aku ucapkan masih terus terngiang di kepalaku, meski waktu telah berlalu, aku masih ingat tatapannya kepadaku di tengah lautan waktu itu. Angin lembut berhembus melambaikan jas hitam Armani ku yang tidak aku kancingkan. Aku memandang lurus ke arah laut dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kantong depan celanaku.

"Rapat direksi sebentar lagi dimulai. Jika bang Fajri tahu aku menbawamu kemari, dia akan memindahkanku kembali." Rekka berdiri di sampingku mengingatkan dengan sesekali melihat jam tangannya. Aku mendesah, menyisir rambutku dengan buku jari dan membalikan badan menghadapnya.

"Dia tidak bisa memindahkanmu lagi, karena aku bosnya. Lagipula aku masih tidak memaafkan perbuatannya." Aku menepuk pelan pundak Rekka, sahabatku sekaligus asisten pribadiku yang baru, dan berjalan menuju mobil Audi hitam yang terparkir di tempatnya.

"Dia melakukan yang terbaik untukmu. Jika bukan keputusannya kamu tidak akan bisa ada dalam posisimu sekarang." Rekka bergegas mengikutiku dari belakang.

"Kalau bukan keputusan hebatnya itu, aku tidak akan kehilangan dia." Aku langsung masuk ke dalam kursi penumpang belakang. Aku dapat mendengar desahan Rekka yang membantu menutup pintuku. Ia pun segera naik ke kursi penumpang depan dan menyuruh supir untuk segera mengantarkanku ke kantor.

Aku hanya diam menatap jalanan Jakarta yang tak pernah sepi. Bahkan saat rapat direksi aku lebih banyak diam. Hari ini, tepat delapan tahun kepergian kakek Jono, tepat delapan tahun aku meninggalkan Chika, hari dimana aku tidak pernah bisa fokus pada segala hal disekitarku. Bahkan saat ini, aku tidak bisa mengikuti jalannya rapat direksi yang sedang berlangsung. Aku hanya menatap kosong setiap kepala direksi yang memberi laporan mingguan.

"Baik. Rapat hari ini kita selesaikan sampai disini. Saya minta kepada kalian untuk memberikan laporan tertulis siang ini ke meja saya," ucapku dengan tatapan lurus dan tegas kepada para direksi di setiap bagian yang rata-rata berkepala empat. Aku berdiri dan mengangguk ketika semua ikut berdiri. Aku pergi meninggalkan ruang rapat diikuti Rekka dan Fajri yang menyusul di belakangku.

"Suruh Desi untuk memberikanku catatan selama rapat berlangsung tadi dan laporan mingguan di mejaku setelah makan siang," pintaku kepada Fajri yang mengangguk dan pergi menjalankan tugasnya, "kosongkan semua jadwalku hari ini," suruhku kepada Rekka yang masih berdiri di belakang.

"Maaf, aku tidak bisa mengosongkan semua jadwalmu hari ini. Jangan lupa nanti malam ada pesta perusahan dan kamu wajib hadir dan memberi kesan baik kepada pemegang saham."

"Aku bilang kosongkan semua." Aku berhenti dan menatap tajam ke arah Rekka.

"Tante Rima akan hadir di pesta malam ini."

Sialan, nenek sihir itu tidak pernah jera untuk merebut perusahan ini.

"Kosongkan semua jadwalku selain pesta brengsek itu," ralatku kemudian. Tanpa melihat ekspresi wajah Rekka yang bisa kutebak muka kemenangannya, aku masuk ke dalam ruanganku dan merebahkan badanku pada sofa hitam yang panjang di ruanganku. Aku menutup mataku dengan lengan kiriku. Pikiranku kembali ke masa delapan tahun silam.

Setelah melamarnya dalam situasi tersebut, harusnya aku tidak keluar malam itu, harusnya aku di dalam menemaninya yang baru saja beristirahat di sampingnya. Fajri, kakak Rekka salah satu keluarga Samidt, menculikku dari desa itu. Mereka pikir mereka datang karena menjemputku tapi bagiku mereka sama dengan menculikku yang masih ingin bersama dengan Chika.

Sialan, aku menendang meja di sampingku sehingga suara deritan terdengar jelas. Rekka segera masuk ke dalam ruangan dan berdiri tepat di sampingku.

"Ada apa lagi?" tanyanya. Aku menaikan lenganku dan mengintipnya dari sela bulu mataku.

"Aku merindukannya." Aku pun duduk dan bersandar di kursi. Rekka ikut duduk di sofa single di dekatku.

"Kita sudah mencarinya. Bahkan kau ikut datang kesana juga, tapi dia pergi."

"Aku tahu." Aku mendesah pelan, "kenapa waktu itu aku meninggalkannya? Kenapa aku bisa melupakannya sesaat?" Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.

"Jangan menyalahkan dirimu. Keadaannya saat itu sangat genting. Kakekmu meninggal, tante Rima dalangnya meski aku tidak punya buktinya. Namun malam itu melalui telpon aku mendengar semua percakapan terakhir tante Rima dengan kakekmu. Aku yakin dia juga yang berusaha melenyapkanmu. Keputusanmu, keputusan bang Fajri, dengan membawamu pulang dan menggagalkan tante Rima menguasai seluruh harta warisan kakekmu adalah keputusan tepat." Rekka menepuk pundakku pelan.

"Tapi aku kehilangannya. Aku membuatnya sendirian."

"Dia tidak menghilang. Dia tidak sendirian. Dia pergi bersama keluarganya. Jika kalian memang ditakdirkan bersama, kalian pasti akan bertemu kembali."

Aku menyeringai mendengar kalimat terakhirnya yang menjijikan akan takdir. Aku bangkit dari tempatku dan berjalan menuju meja minuman di samping sofa panjang. Aku mengambil dua gelas dan satu botol minuman lalu menyerahkannya kepada Rekka yang menatap bingung.

"Temani aku minum." Ia menaruh gelas itu di meja yang sempat aku tendang.

"Jangan bercanda. Ini masih jam kerja!" jawabnya dengan tatapan marah. Aku mengulas senyuman sebelah dan mengambil salah satu gelas sembari menuangkan minuman dari botol yang aku ambil tadi.

"Kalau begitu kau cukup melihatku saja." Aku menghabiskan setengah gelas yang aku tuangkam dalam sekali tegak. Rekka hanya bisa mendesah kesal melihatku.

Tuut... suara intercom dari meja kerjaku terdengar, Rekka berdiri dari tempatnya dan menjawab panggilan itu, sedangkan aku masih sibuk mengisi kembali gelasku.

"Maaf pak Rekka, bapak Dimas memaksa masuk untuk menemui pak Leo." Suara Elena, salah satu pegawai penerima tamu di lantai ruanganku terdengar penik.

"Sudah saya bilang bahwa pak Leo hari ini membatalkan semua janji."

"Maaf. Tapi pak Dimas memaksa dan sekarang sedang menuju ruangan pak Leo. Saya tidak bisa menghentikannya."

"Sialan" maki Rekka sesaat ia memutuskan sambungan. Dengan cepat ia berjalan menuju pintu ruanganku yang saat itu sudah terbuka. Aku menyesap minumanku sembari melirik tamu tak diundang. Rekka mencoba mencegahnya masuk sehingga ia hanya bisa menatapku dari tempatnya.

"Wow... kau membatalkan janji denganku hanya karena ingin minum santai di ruanganmu sendiri?" Dimas, anak pertama tante Rima yang sekaligus manager perencanaan, masuk ke dalam dengan sikap angkuhnya, sama dengan ibunya si nenek sihir.

"Seperti yang kau lihat. Hari ini adalah hari yang cerah untuk menikmati minuman nikmat ini, bukan saatnya mengurusi pekerjaan yang memuakan," jawabku santai meladeni kesombongannya. Rekka yang semula mencegahnya masuk, melepaskannya karena perintahku. Dimas pun berjalan mendekatiku dan duduk di kursi single di sampingku. Aku menuangkan minuman pada gelas kosong di meja dan menyerahkannya kepada Dimas, "mau menemaniku minum?" tawarku.

Ia mencibir mendengar perkataanku tapi menerima gelas yang aku sodorkan padanya yang langsung habis dalam sekali teguk. Aku mengisi kembali gelasnya dan gelasku dan mengajaknya untuk membenturkan sisi gelas kami. Rekka hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat kami berdua dari tempatnya berdiri di samping sofa panjang yang ku duduki sekarang. Dan aku menaikan sebelah sudut bibirku.

"Apa alasanmu menolak rencana pembangunan cabang baru kita di daerah Tanggerang?" tanyanya setelah menghabiskan dua gelas minuman yang aku berikan padanya.

"Karena aku tidak pernah memberikan izin untuk pembukaan cabang baru?" Aku menjawabnya dengan santai sambil menyesap minumanku yang ketiga.

"Jangan bercanda! Kami semua sudah mengurus segala sesuatunya; pemetaan lokasi, desain bangunan dan penghitungan biaya pelaksanannya." Ia menaruh gelas minumannya dengan kasar di atas meja sehingga bunyi benturannya terdengar begitu nyaring.

Aku mendesah dan bersandar pada sofa yang kududuki, "aku tidak pernah bercanda mengenai pekerjaan. Apa kamu tidak meneliti berkas perencanan pembukaan cabang baru tersebut? Aku tidak pernah sekali pun memberikan tanda tanganku pada berkas itu. Aku bukan orang bodoh dan serakah yang langsung setuju membuka cabang baru dimana masih banyak masalah di cabang lain yang sudah ada. Ditambah lagi harga saham akhir-akhir ini naik turun. Suatu keajaiban bagi perusahaan, karena aku berhasil menstabilkan harga saham kita."

"Jika seperti itu, kenapa kau tidak mengkonfirmasinya ke bagian perencanaan?"

"Untuk apa aku mengkonfirmasinya? Aku sudah mengembalikan berkas kalian. Kenapa kau tidak meneliti dan mengkonfirmasi sendiri?"

Brakk... ia memukul meja dengan keras sembari berdiri dan hendak menyerangku. Rekka yang berdiri di dekatku langsung maju mencegah Dimas mendekat kepadaku. Aku hanya bisa memberikan senyum mengejek padanya yang tak bisa mendekatiku.

"Sepertinya kau terlalu banyak minum," ucapku. Ia berteriak dan memakiku tidak karuan. Rekka pun menariknya keluar dari ruanganku.

"Ada apa ini?" Seorang wanita muncul dari balik pintu bersama Elena ketika Rekka membuka pintu. Aku menatap tajam ke arah Elena.

"Maaf. Ibu Chikara memaksa sebelum membuat janji,"ujarnya. Aku menekan pelipisku, menaruh gelas minumanku dan berdiri dari kursiku.

"Biarkan dia masuk." Aku membiarkannya masuk begitu saja, karena Aku butuh pengalihan saat ini. Kedatangan wanita murahan dengan pakaiannya yang serba minim benar-benar pas.

"Kunci pintunya," perintahku kepada Chikara, setelah Elena mempersilahkannya masuk dan menutup pintu. Ia melakukan perintahku tanpa penolakan. Aku berjalan perlahan, mendekat dan berhenti di depannya dengan memberi jarak.

"Kenapa kamu kesini?"

"Aku ingin menemuimu," ucapnya dengan memainkan rambut cokelatnya yang ikal, "kamu bilang akan menghubungiku, tapi kamu tidak pernah menghubungiku sejak malam itu."

Bodoh. Tentu saja aku tidak akan menemuimu lagi. Kamu tidak lebih dari wanita murahan yang dengan mudahnya menyerahkan tubuhmu padaku. Dan sekarang lihatlah, tatapannya padaku penuh dengan nafsu yang membara.

"Kau ingin tidur denganku lagi?" tanyaku. Ia menatapku kaget dan berhenti memainkan rambutnya. Ia diam sembari menatap tubuhku dari bawah ke atas dan menjilat bibirnya sendiri.

"Bukan seper-..." Belum selesai ia menyelesaikan ucapannya, aku mendorong tubuhnya ke pintu belakangnya, meraih tengkuknya untuk mendekat dan aku langsung melahap bibir merahnya. Ia sedikit menegang, namun setelahnya ia ikut bermain dalam ciumanku dan mengalungkan lengannya kepadaku.

Aku mencengkram pinggulnya mendekat, membuatnya sedikit berjinjit dengan sepatu tingginya. Aku melumat habis bibirnya hingga membengkak. Ia melepaskan bibirnya dariku kehabisan napas. Ia mendesah ketika aku mencium dagunya dan lehernya. Aku meremas pantat padatnya membuat desahannya terdengar bergairah. Ia mengaitkan kakinya pada kakiku. Aku pun mengangkatnya masih dengan tangan di pantatnya. Ia pun meloncat dan mengaitkan kedua kakinya pada pinggulku.

Aku memburu mulutnya kembali dan memasukan lidahku ke dalam rongga mulutnya ketika ia mengeluarkan desahan. Aku berjalan mendekat ke arah sofa panjang dan merebahkan badannya agak kasar di atasnya. Ia sedikit menjerit kaget. Aku melepaskan jas armani dan dasiku ke sofa single di sampingku.

Ia menatapku penuh gairah sembari mengigit bibir bawahnya. Aku mendekatkan tubuhku padanya, dengan bertumpu pada lengan kiriku aku menatap lurus mata cokelatnya. Ia mengalungkan kembali tangannya pada leherku. Tanpa izinnya aku mencumbu kembali bibirnya yang agak bengkak. Tangan kananku bergrilya pada gundukan dadanya yang kenyal.

"Ahhh..." ia melenguh panjang. Tanganku meremas keras payudaranya yang padat sambil menciumi belakang telinganya. Aku mengangkat tubuhnya dan membuka kancing dress toscanya. Aku menarik turun dressnya sampai ke perut datarnya. Dadanya menyembul begitu saja tanpa bra. Aku menciumi dagu dan leher, sesekali menghisap pelan ketika menemukan titik sensitifnya. Kedua tanganku mencangkup kedua dadanya dan meremas pelan, memelintir dan memainkan puncaknya yang mengeras. Pelan-pelan bibirku turun ke dadanya dan menemukan putingnya yang mengeras. Aku menjilati puting kanannya, sedangkan tangan kananku masih meremas keras payudaranya yang lain sembari sesekali memelintir putingnya. Desahannya membangkitkan gairahku. Aku membiarkan alkohol yang mengalir dalam darahku ikut andil dalam permainan.

Tangannya mulai meremas rambutku, hampir menjambaknya dan aku membiarkannya. Tangan kiriku saat ini mulai meraba paha putihnya dan naik ke pangkal paha. Aku meraih dalaman berendanya dan mengelus pelan daerah sensitifnya di baliknya.

"You are so wet," bisikku pelan masih di depan putingnya yang keras dan basah karena air liurku. Aku mengangkat tubuhku untuk menatapnya yang saat ini mengigit bibirnya dengan mata terpejam menikmati aksiku. Aku menaikan sebelah mulutku melihat betapa bodohnya wanita di bawahku ini.

Sambil tetap menatapnya, aku memasukkan tanganku ke dalam lingerie yang ia kenakan, meraba dinding vaginanya yang basah. Aku mulai memainkan jemariku pada klitorisnya, memutar jari tanganku di dalam, ia memekik, mencengkram pundakku, matanya terbuka lebar menatapku. Aku mengentikan permainanku masih di dalam vaginanya yang basah. Dadanya naik turun mengambil nafas. Ia menatapku penuh maksud dan aku mengetahui apa keinginannya. Aku tersenyum dingin melihatnya, segera aku mengeluarkan jari tengahku, menarik turun dalamannya dan menampakan bibir vaginanya yang tercukur habis di balik rok mininya yang sudah aku sibakan ke atas.

Aku duduk bersimpuh pada lututku dan mengeluarkan bungkusan persegi dan menunjukan padanya yang masih menatapku. "Kenapa tidak kau pasangkan ini, jika kamu menginginkannya?"

Ia pun langsung bangkit dari tempatnya berbaring, menelan ludahnya dan menatap bagain bawahku yang menonjol dibalik celanaku. Tangannya meraih geseperku, melonggarkan sabukku, mengambil kondom di tanganku dan membuka celanaku dengan terburu-buru. Aku membiarkannya melakukan apapun yang ia mau padaku tanpa perlu kerepotan selama ia memberikan pengalihan pada hariku yang suram hari ini.

Aku meletakan ganggang telepon kembali ke tempatnya setelah aku selesai berbicara dengan seseorang di seberang sana. Aku berjalan menuju sofa single di samping sofa panjang, mengambil dasi dan jasku. Chikara terbangun dan menatapku dari sofa panjang tempatnya berbaring. Wajahnya terlihat lelah dengan rambut dan make up berantakan setelah pergumpulan kami selama dua jam tanpa henti.

"Pakai pakaian dan rapikan riasanmu segera. Dua puluh menit lagi supirku datang untuk mengantarmu," kataku dingin tanpa menatapnya. Aku berjalan menuju cermin full size yang berdiri tegak di sudut ruanganku.

"Aku tidak ingin pergi. Aku kemari ingin mengajakmu makan siang," pintanya dengan memasang wajah memohon yang terlihat dari cermin. Aku tidak menjawab pertanyannya, karena aku sedang sibuk memakai kembali dasi dan jasku. Setelah selesai merapikan diriku sendiri, aku berbalik menatapnya sejenak dan berjalan ke mejaku untuk mengambil ponselku.

"Aku ada urusan dengan rekan bisniaku. Lagipula, aku tidak akan pernah makan siang dengan wanita manapun kecuali pertemuan bisnis," jelasku.

"Apa tidak ada pengecualian?" A

ku mendesah kesal mendengar pertanyannya yang merajuk.

"Jangan membuatku marah. Pergilah dan jangan pernah datang ke kantor apapun yang terjadi. Aku tidak menyukainya!" jawabku dengan meninggikan suaraku. Ia terperanjat kaget mendengarku mengeraskan suara. Sialan, aku tidak menyukai situasi ini.

Tok... tok... Suara ketukan terdengar dari arah pintu. Aku pun berjalan dan membuka pintu yang tadi terkunci. Rekka muncul dari balik pintu menatap Chikara yang masih duduk di sofa dan berusaha menutup tubuhnya yang terbuka. Rekka mendesah menatapku, setengah melotot. Aku menatapnya dengan ekspresi tanpa bersalah.

"Mobil sudah siap," ucap Rekka akhirnya. Aku pun mengangguk dan membiarkannya keluar ruangan lebih dulu.

"Cepat pakai pakaianmu dan pergilah bersama supir dalam waktu dua puluh menit. Jika kau bersikeras aku sudah menyuruh penjaga di depan ruanganku untuk menyeretmu keluar." Aku menatap tajam padanya yang saat ini menatapku kosong seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tanpa mendengar jawabnnya, aku keluar ruanganku dan menghampiri Rekka yang berdiri menunggu di depan lift.

"Dasar gila, bisa-bisanya kau melakukannya di ruanganmu dan meninggalkannya begitu saja," ucap Rekka kesal seketika kita ada di dalam lift berdua.

"Itu salahnya sendiri datang tanpa di undang, terutama hari ini ketika aku tidak ingin menemui siapapun." Ia mendesah kesal tanpa berkata apapun saat mendengar jawabanku.

Ini bukan salahku. Ini salahnya sendiri datang disaat aku butuh pengalihan. Ya, dia tidak lebih dari sebagai pengalihanku akan gadisku, Chika.

Perlahan, aku memutar knop pintu tanpa suara, masuk ke dalam studio mini kedap suara bersama Rekka yang mengikuti dari belakang dan kami duduk di atas sofa mini disana. Seorang lelaki masih sibuk bermain dengan peralatan di depannya dengan headphone di telinganya yang memainkan musik dengan keras, sampai dia tidak sadar kehadiran kami berdua yang duduk memperhatikan dari belakang.

"Sialan!" makinya, ketika menoleh kebelakang dan menyadari keberadaan kami berdua, "demi tuhan, bisa tidak kalian tidak muncul tiba-tiba seperti hantu seperti itu."

"Demi tuhan, bisa tidak kamu tidak berlebihan seperti itu," balasku sambil menunjukan cengiranku padanya yang saat ini melepas headphonenya dan mengalungkan di lehernya.

"Kenapa lagi kalian kemari?" Ia bersandar di kursi dan menyilangkan kakinya.

"I had a great sex, today." Ia menatapku dengan tatapan tajam dan melempar buku musiknya kepadaku. Aku tertawa melihat ekspresinya. Rekka hanya bisa menghela napas sambil memukul pelan dahinya.

"Kami butuh bantuanmu. Sebagai Kenar Wallandow wakil dari Quarter Ent." Rekka segera mengambil alih pembicaraan ketika aku masih belum bisa menghentikan tawaku.

"Bukan sang produser Mr.KW," ejekku lagi akan julukannya seperti barang KW.

"Tidak lucu!" Ia menatap sinis ke arahku, "Aku tidak mau membantu orang tidak jelas seperti dia," jawabnya tegas kepada Rekka sambil mencibir menatapku.

"Tapi kamu pasti akan menuruti perintah bosmu ,bukan? Jangan lupa aku memiliki 30% saham di Quarter Ent. yang berarti aku itu bosmu." Aku mengancamnya dengan tatapan tegas dan serius kali ini.

"Sialan, kenapa kamu selalu mengungkit masalah itu lagi?" Ia mendesis setiap kali aku ingatkan saat dimana aku membantu membeli saham perusahannya yang mulai anjlok dari lintah darat saat krisis terjadi beberapa waktu lalu. Ia berdiri dari kursinya dan duduk di sofa depanku.

"Baiklah, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya menyerah.

"Seperti yang dibilang, kamu hadir pada pesta perusahaan malam ini sebagai wakil Quarter ENT., kamu dekati para pemegang saham dan coba pancing apakah mereka mau menjual sahamnya padamu." jelas Rekka.

"Memang kenapa aku harus membuat mereka menjual sahamnya? Jika mereka berniat menjualnya siapa yang akan membeli?" tanya Kenar yang masih kurang jelas.

"Aku yang akan membelinya menggunakan namamu. Aku sengaja membuat sedikit masalah di perusahan sehingga harga saham kurang stabil. Aku ingin menguji kesetiaan para pemegang saham akan perusahaan jika terjadi masalah. Aku ingin menyingkirkan semua kutu busuk dari perusahaanku." Aku menjawabnya dengan mantap. Aku sudah lelah ikut bermain dalam permainan kotor mereka. Kini saatnya pembasmian, aku benar-benar akan membasmi semua penyakit, dalam perusahaanku secara bertahap tanpa sepengetahuan mereka. Terutama tante Rima.

Seperti dugaanku, Kenar benar-benar melakukan perannya dengan baik. Beberapa orang terpancing dengan permainannya. Ia memasang wajah bisnisnya yang membuat semua orang percaya, jika tidak mana mungkin banyak pemusik muda mempercayakan masa depan kepadanya. Dan kurasa aku salah satunya. Sayangnya seorang pembisnis sejati itu lebih menyukai musik dari pada bisnis.

"Sayang sekali!" gumamku pelan. Rekka yang berdiri disamping bingung dengan maksudku. Hanya dengan lirikan ke arah Kenar, ia akhirnya paham apa maksudku.

"Dia orang hebat yang baik, tidak sepertimu," sindirnya sambil melirikku sebelah mata. Aku hanya memberi cengiran padanya dan menghabiskan minuman ketigaku malam ini, "berhentilah minum! Kau sudah terlalu banyak minum seharian ini."

"Aku belum mabuk. Meskipun aku mabuk, kau yang bertanggung jawab membawaku kembali." Tanpa mendengar ucapannya lagi, aku meminta segelas lagi minuman yang lebih keras di bartender.

Urusanku di sini sudah selesai, aku tidak peduli lagi dengan para rekan bisnis yang sibuk saling menjilat satu sama lain untuk mencari muka. Aku hanya ingin menghabiskan hari ku seperti tahun-tahun sebelumnya. Menghabiskan minuman dalam kesendirian, namun bedanya kali ini aku menghabiskan minuman di acara perusahaan yang memuakan.

Malam mulai terasa, suara musik terdengar nyaring membuat orang-orang muda menari dengan lincah di lantai dansa ball room perusahaan. Aku mulai tertarik untuk turun ketika melihat kumpulan wanita dengan tubuh mungil menari di tengah. Dengan kesadaran yang minim karena minuman, Rekka dengan tanggap menarikku menjauh dan keluar dari ballroom.

"Kau sudah terlalu mabuk. Aku akan bertanggung jawab mengantarmu pulang ke penthouse," ujarnya ketika ia menyandarkanku di dinding samping pintu lift. Aku hanya bisa mendesis tanpa bisa melawan ucapannya yang berasal dari mulutku sendiri sebelumnya.

Aku segera masuk ke dalam lift tanpa disuruh ketika pintu terbuka. Aku mendapati seorang wanita menyandarkan kepalanya di dinding lift, wajahnya tidak begitu terlihat karena tertutup rambut poninya yang agak panjang. Aku mencoba menyapanya sebagai basa basi agar aku tidak dipikir atasan yang angkuh, tapi gadis itu hanya diam dan berjalan mundur menjauh.

"Maaf, dia agak sedikit mabuk." Ia mengangguk pelan mendengar perkataan Rekka.

Sialan, beraninya dia merespon Rekka dan mengacuhkanku. Aku berjalan mendekatinya dan berdiri tepat di sampingnya. Rekka menutup pintu, menekan tombol lift dan sibuk dengan ponselnya setelah nada dering terdengar.

Suasana begitu canggung. Aku diam, wanita di sampingku juga diam, hanya terdengar suara Rekka yang berbicara dengan seseorang dari ponselnya. Kepalaku terasa pusing, aku hampir terjatuh saat terdapat guncangan kecil di lift, untunglah wanita ini dengan tanggap menyangga badanku. Jarak kami begitu dekat sehingga aku bisa mencium bau shampoo dari rambutnya dan aroma segar berasal dari tubuhnya. Sebuah aroma yang mengingatkanku akan seseorang, gadisku, Chika ku.

Selama delapan tahun ini aku selalu menemui banyak wanita yang memiliki aroma menyegarkan dan nama yang sama dengannya, tapi sampai sekarang pun aku tidak pernah menemukannya. Meskipun aku harus menjadi lelaki berengsek yang rela menjual diriku kepada setan sekalipun, dengan bersenang-senang dengan mereka demi mencari aroma segar dan kecupan manis madunya.

Aku menatap wanita di depanku saat ini. Badannya langsing, rambutnya kusut tidak pernah dirawat seperti wanita yang biasa kutemui, tapi bibirnya mungil berwarna merah muda sama seperti bibir gadisku. Aku ingin merasakan bibirnya itu.

Tanpa banyak berpikir, aku meraih dagunya dan sedikit mengangkatnya sehingga ia mendongak ke arahku. Aku menutup mataku dan mendekatkan wajahku padanya. Dengan cepat aku pun menempelkan bibirku padanya.

Manis. Rasanya manis seperti bibir gadisku.

Aku memperdalam ciumanku dan mengigit pelan bibir bawahnya. Ia membuka mulutnya refleks. Aku pun langsung memasukkan lidahku ke dalam rongga mulutnya dan mencari lidahnya untuk kuajak bermain. Tubuh wanita itu menegang tak merespon aksiku. Aku melepaskan bibirku darinya untuk melihat wajahnya lebih jelas. Sebelum bisa melihatnya, wanita itu menamparku dengan keras, mendorongku hingga aku terhuyung dan benturan keras berhasil membuatku hilang kesadaran.

Semua menjadi gelap dan wanita itu menghilang begitu saja.