Suara musik dangdut terdengar nyaring di sepanjang jalan pasar malam itu. Ia berjalan dengan memegang tanganku. Ia berhenti di setiap tempat yang menjual pakaian pria. Dengan semangatnya, ia memilihkan pakaian yang pas dengan tubuhku. Ia selalu menunjukkan gigi kelincinya setiap kali tersenyum ketika melihatku memakai pakaian pilihannya. Tawanya terdengar renyah setiap kali ia bercanda dengan penjaga toko untuk mendapatkan potongann harga.
Ia menggoyangkan pinggulnya setiap kali berhenti di tempat orang yang menjual CD yang bisa kutebak bajakan. Aku hanya menatap bahagia melihat senyuman tulusnya kepada siapa pun, yang terkadang membuatku kurang menyukainya. Aku memang egois. Aku tidak ingin membagi senyuman itu dengan orang lain selain diriku. Namun aku tidak bisa mengekang kebebasannya.
Ia menarikku mendekat kepadanya. Ia mengalungkan tangannya ke leherku dan memintaku ikut menari bersamanya diiringi musik dangdut itu. Aku menolak mentah-mentah tapi sorakan orang-orang memaksaku ikut menari bersamanya. Ia tertawa melihat tarian anehku yang mencoba menikmati musik itu.
Aku menariknya menjauh dari keramaian. Ia tertawa, tertawa dan tertawa menampakan gigi kelincinya setiap kali mengingat tarianku. Aku memeluk pinggulnya untuk mendekat kepadaku, ia terdiam menatapku kaget.
"Berhenti mentertawaiku?!" bisikku pelan, masih menatap lurus ke matanya yang hitam.
"Jika aku tidak mau berhenti tertawa?" Ia memiringkan sedikit kepalanya dan menawarkan senyuman jahil di wajahnya. Tanpa memberikan jawaban, aku meraih tengkuknya dan mendekatkan kepalanya kepadaku. Bibir kami saling bertemu. Aku bisa merasakan tubuhnya yang menegang dalam pelukanku. Aku melepas kecupanku dan menatapnya.
"Kurasa, aku akan menertawakan kak Surya." Ia mulai tertawa kembali sembari mengalungkan tangannya pada leherku. Seperti diberi tanda hijau, aku mencium bibir manis itu kembali lebih dalam. Kali ini rasanya terasa begitu manis setiap kali ia membalasnya.
Ckrek... buk... aku membuka mataku seketika. Kulirik jendela kamar yang tertutup tanpa cahaya yang selalu menrobos masuk, karena masih gelap di luar. Aku mencoba duduk dari tempatku sembari mengusap mataku pelan. Suara seseorang yang berargumen terdengar dari luar. Dengan pelan aku membuka pintu ruanganku dan mendapati Chika berdiri di daun pintu depan dan kakek Jono di depannya.
"Kakek mau kemana?"tanyaku penasaran. Kakek Jono memakai jaket tebal dengan sarung yang ia selempangkan di pundaknya.
"Kakek mau berlayar ke laut dan Chika melarang keras kakek pergi dari sini." Chika menjelaskan tanpa memandangku. Ia terlalu sibuk menatap tajam kakek Jono yang sekarang sedang membetulkan peci hitamnya.
"Chika, kakek hanya berlayar seperti biasa. Cuaca hari ini terlihat pas untuk mencari ikan. Kakek pergi bersama yang lain dan kemarin kita sudah mengadakan syukuran laut. Semua akaan baik-baik saja." Kakek berusaha menjelaskan kepada Chika yang masih tetap berdiri di ambang pintu seakan ia seorang penjaga pintu.
"Tetap saja. Chika tidak mau kakek pergi pagi ini. Perasaan Chika tidak enak. Perasaan yang sama ketika ibu dan ayah meninggalkan Chika." Chika merengek dan menatap dengan tatapan memohon. "Aku tidak mau sendirian."
"Kamu tidak akan sendirian dan tidak akan pernah sendirian." Kakek Jono menepuk kedua pundak Chika , "Kakek hanya berlayar dan masih ada Surya yang menemanimu."
Chika terdiam mendengar perkataaan kakek. Sesaat ia melirik ke arahku yang berdiri diam di belakang kakek. aku hanya bisa memberi senyuman singkat padanya, karena aku sendiri tidak begitu paham apa yanag mereka bicarakan.
Kakek Jono membalikan badannya ke arahku. Aku pun berjalan mendekat ketika lengannya terangkat seakan menyuruhku mendekat. Ia menepuk pelan pundakku saat aku berdiri tepat di sampingnya.
"Tolong jaga dan temani Chika selama saya tidak ada," pintanya padaku dengan tatapan tegas. Aku pun mengangguk menyetujui permintaan yang tanpa perlu ia minta. Karena aku akan menemani gadisku apapun yang terjadi.
"Chika masih belum setuju kakek ikut berlayar pagi ini!"
"Astaga, Chika! Orang-orang sudah menunggu. Jangan membuat orang kecewa."
"Kakek tidak mau membuat orang lain kecewa tapi malah membuat Chika kecewa."
Kakek Jono menghela napas panjang seakan dia sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia menatapku dan memberi kode untuk membantunya lepas dari cucu perempuannya. Aku mengangguk dan menarik Chika mendekat kepadaku.
"Biarkan kakek pergi, nanti siang kakek kembali," ujarku sambil mengedipkan sebelah mataku kepada kakek.
"tapi..."
"Nanti siang kakek pulang." Kakek berjanji dan melangkah pergi keluar dari rumah. Chika berbalik menatapku dengan muka cemberut. Aku menaikan sebelah alisku dan memasang wajah tanpa bersalah.
Ia berjalan meninggalkanku masuk ke dalam kamarnya. Rasa letih yang masih menggelayuti, berhasil membuatku menguap lebar. Aku menutup dan menunci pintu depan, memastikan orang luar tidak bisa masuk.
Saat hendak masuk kembali ke kamar, ia keluar dengan membawa tikar bambu dan menggelarnya di ruang tengah. Aku berdiri diam di tempatku memperhatikannya yang sedang duduk bersila sembari menyilangkan tangan ke dada.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Chika akan duduk di sini menunggu kakek pulang!" jawabnya dengan tatap lurus ke arah pintu.
Aku berjalan mendekatinya, "masih gelap, lebih baik kamu kembali tidur. Kakek pasti pulang."
"Chika mau menunggu kakek!" jawabnya dengan tegas. Aku mendesis melihat tingkahnya, ia menatapku kesal kali ini. Tanpa mempedulikannya aku berjalan masuk kembali ke kamar dan berbaring ke ranjang tipis itu.
Satu menit...
Dua menit...
Sialan, mataku tidak bisa terpejam. Aku mengambil sarung di ujung ranjang dan bantalku lalu berjalan keluar kamar. Dia masih tetap duduk seperti yang aku tinggalkan tadi. Aku menaruh bantal di sampinya dan langsung merebahkan tubuhku di sana.
Ia menoleh ke arahku yang sudah berbaring di dekatnya, "Kenapa kak Surya di sini?"
"Tidur. Jangan berisik!" jawabku sembari membalikkan badan darinya.
"Terima kasih," ucapnya pelan sebelum aku terlelap dalam tidurku.
ᴓ
Krek... krek... suara decitan jendela yang saling beradu dengan dinding berhasil membangunkanku. Perlahan angin sejuk menyusup melalui celah jendela dan pintu. Suara rintikan hujan mulai terdengar nyaring. Aku mencoba mengangkat lenganku namun terasa begit berat. Aku mengedipkan mataku berulang kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya sekitar.
Gadis kecilku yang bersikukuh duduk menunggu, sekarang sedang tertidur pulas meringkuk di atas lenganku yang terbuka. Pelan-pelan aku menghadapkan tubuhku padanya. Aku mencoba menyingkirkan beberapa helaian rambut hitamnya yang menutupi wajah, sehingga aku bisa melihat wajah tidurnya yang belum pernah aku lihat.
Cantik, gadisku terlihat cantik dan damai dalam tidurnya. Aku mendekatkan wajahku sehingga wajah kami saling berhadapan satu sama lain. Mulutnya sedikit terbuka sehingga aku bisa melihat samar gigi kelincinya, ia mendesah pelan dan hampir mendengkur, aromanya tercium, bercampur dengan aroma hujan di luar. Aku mengusap lembut rambut hitam lurusnya yang terurai, lalu turun ke pipinya dan mulut mungilnya.
Sesuatu di pangkal pahaku mulai mengeras, fenomena yang selalu hadir dipagi hari, ditambah pemandangan indah di hadapanku. Aku menelan ludah. Nuraniku sedang bertarung hebat dengan hasratku. Sedikit, aku menginginkannya hanya sedikit. Kuusap mulut mungilnya dengan jempolku, kudekatkan kepalaku padanya dan perlahan aku menyentuhnya lembut dengan bibirku. Tidak ada respon darinya. Aku mencoba menekan lebih dekat padanya. Ia merespon pelan masih dengan mata terpejam. Rasa manis dari bibirnya membuatku ketagihan.
'Tolong jaga dan temani Chika selama saya tidak ada.'
Aku membuka mata dan melepaskan ciumanku padanya, seketika pesan kakek Jono sebelum pergi memenuhi pikiranku. Dengan pelan aku mengangkat kepalanya dari lenganku dan menggantikannya dengan bantal yang aku gunakan sebelumnya. Sebelum ia menyadarinya, aku berjalan keluar rumah dan menatap derasnya rintikan hujan. Aku berusaha menenangkan diriku dan juniorku yang terasa sakit di bawah sana.
ᴓ
Pengecut. Mungkin itu kata yang tepat untuk diriku saat ini yang kabur begitu saja dipagi hari, meninggalkan dirinya tertidur di ruang depan, meski aku sudah menutup rapat pintu rumah. Namun aku tidak lebih dari seorang pengecut yang lari setelah melempar batu.
'So not me.'
Gadis itu berhasil mengubahku; membuatku ketakutan, membuatku berpikir sebelum bertindak dan membuatku selalu memikirkannya. Ia satu-satunya yang membuatku seperti lelaki payah karena perempuan yang selalu aku tertawai.
"Terima kasih sudah mau membantu ketika lainnya masih meringkuk di dalam rumah karena hujan," ujar pak Sito, salah satu pekerja di perkebunan yang memanggilku saat berada di depan rumah pagi tadi. Ia memintaku membantunya, sesaat hujan berhenti turun, membersihkan ranting pohon yang jatuh karena hujan.
"Sama-sama." Aku yang merasa bersyukur karena aku bisa menjauh dari gadis itu. Jika bukan karena pak Sito mungkin naruniku yang sedang bertarung akan kalah dengan hasratku.
"Kembalilah, sebentar lagi mereka akan kembali," kata pak Sito yang saat ini melihat jam tangannya. Aku mengangguk pelan dan berjalan pergi. Sebuah benda yang tergeletak begitu saja menarik perharianku. Sebuah sepeda.
"Ini sepeda bapak?" Tanyaku kepada pak Sito yang saat itu menatap sekeliling perkebunan.
"Iya. Kenapa?"
"Boleh aku pinjam? Aku ingin mengajak Chika berkeliling, sebelum ke pantai menyambut mereka. Dari pagi dia murung," pintaku berharap dia meminjamkannya. Pak Sito tersenyum, ia mengijinkanku untuk membawa sepedanya dengan syarat nanti sore aku harus mengembalikan ke rumahnya.
Aku mengayuh kuat sepeda tua ini menelusuri perkebunan kelapa sawit yang lebat dan langsung menuju ke rumah kakek Jono. Saat di depan rumah, aku bisa melihat Chika yang duduk bersila di dalam melalui pintu depan yang terbuka lebar, mungkin ia membukanya setelah bangun tadi. Aku menyandarkan sepeda tua itu pada dinding kayu di samping pintu dan masuk ke dalam.
"Kamu mau duduk diam di situ menunggu atau ikut aku bersepeda dan menjemput kakek siang ini di pantai?" tawarku padanya. Ia diam mempertimbangkan tawaranku. Beberapa menit setelahnya ia berdiri dari tempatnya duduk dan masuk ke dalam kamar.
Tanpa perlu menunggu lama, ia keluar kamar dengan menggenakan kardigan merahnya, "ayo bersepeda. Kak Surya yang mengayuhnya," perintahnya yang sudah berjalan keluar dan berdiri di samping sepeda. Ia menepuk pelan sadelnya seakan memintaku segera membawanya bersepeda.
Aku mendesis setengah tertawa melihat tingkahnya. Aku menuruti perintahnya dan mengayuh sepeda menelusuri jalanan yang becek karena hujan pagi tadi. Kami berkeliling kampung yang tidak terlalu padat. Jumlah rumah yang berdiri di sekitaran bisa dihitung dengan jari. Dia selalu melambaikan tangan dan menyapa siapa saja yang ia temui. Aku mengayuhkan sepeda tua itu ke perkebunan sawit yang lebat, karena itu satu-satunya yang aku tahu kecuali pantai dan rumah kakek.
Ia tertawa senang ketika aku bersusah payah mengayuh sepeda pada jalanan yang menanjak. Ia juga berteriak kencang saat jalan menurun dan membuat laju sepeda berputar dengan cepat. Dia juga marah ketika aku tidak sengaja menabrak batu-batu kecil sehingga membuatnya terkantuk di punggungku.
Aku menghentikan sepedaku di ujung pantai bebatuan. Ia turun dari sepeda dan berlari senang mengejar ombak kecil yang datang dan berlalu. Aku menyandarkan sepeda tua itu di bebatuan besar dan mengikutinya dari belakang. Ia berjongkok, sibuk menggaruk pasir putih yang basah dan menunjukkan satu kerang berwarna pink kepadaku.
"Kerangnya indah!" ujarnya sembari tersenyun lembut kepadaku. Aku mengambil kerang itu dari jemari kecilnya.
"Ya. Indah sekali." Aku mengarahkan kerang kecil itu ke arah matahari yang membuatnya bersinar gemerlap.
"Itu kapal mereka!" Chika berteriak kencang saat melihat sebuah kapal yang berlayar mendekat. Aku segera mengambil sepeda dan menaikinya. Tanpa diminta, Chika sudah duduk di belakangku dan melingkarkan kedua lengannya di pinggulku dengan erat.
Aku mengayuh sepeda yang terasa berat di atas pasir yang setengah basah di pinggir pantai. Aku bisa merasakan ketegangannya yang mengalir ke tubuhku melalui pegangannya yang erat pada pinggulku. Aku memegang tangannya dengan tangan kiriku untuk menenangkannya. Genggamannya mulai merenggang. Aku mengusap lembut punggung tangannya dengan telapak tanganku yang sedikit kasar karena pekerjaan di pekerbunan. Saat mendekat ke kerumunan orang yang menyambut kedatangan mereka, aku bisa melihat sorotan sedih yang tersirat dari mereka yang menuruni kapal. Chika melompat dari sepeda secara tak sabar dan berlari menuju keramaian. Aku menghentikan sepeda, turun dan menuntunnya perlahan mendekati orang-orang.
"Kakek mana? Kakek mana?" Chika menghambur dikeramaian dan mulai berteriak memanggil kakek Jono. Aku mendongakan kepalaku ikut mencari sosok kakek Jono, tapi aku tidak bisa menemukan sosoknya.
"Alif! Dimana Alif?" Sosok wanita setengah baya muncul dari belakangku ikut berhambur dengan Chika. Mereka berdua menatap lurus ke arah pak Rusdi, kapten kapal yang bertanggung jawab, saat tidak menemukan sosok yang mereka nantikan.
"Maaf. Mereka menghilang" jawabnya lirih. Semua kru menunduk menatap pasir putih, "Alif jatuh dari kapal saat ada badai besar di tengah lautan. Pak Jono loncat untuk menolongnya, tapi mereka tidak tampak sama sekali setelahnya."
"Bohong! Katakan semuanya bohong!" Bagai sebuah pukulan keras, Chika berteriak keras sembari menarik kaos pak Rusdi yang lusuh. Ia berteriak keras sambil terus menarik-narik tubuh pak Rusdi. Segera, aku pun meraih tubuhnya menjauhkannya. Ia meronta denganair mata yang membasahi pipinya. Aku membalikan badannya untuk menghadapku yang masih memeganginya.
"Tenang Chika! Tenang!" pintaku setengah memohon. Ia berteriak dengan keras. Teriakan yang melengking di telingaku masuk ke gendang telinga.
"Firasat Chika benar! Firasat Chika benar, kak Surya!" Ia menatapku penuh kesedihan. Hatiku terasa sakit ketika melihatnya. Aku mendekap erat tubuhnya, aku menenggelamkan wajhnya pada dadaku membiarkannya berteriak, menangis dan memukuli dadaku sampai dia terdiam tak sadarkan diri dalam dekapanku.
ᴓ
"Bagaimana keadaan, Chika?" tanya pak Sito ketika aku mengembalikan sepeda tua yang kupinjam ke rumahnya sore itu. Aku menggeleng sedih ketika mengingat Chika yang menangis meronta.
"Beberapa kapal mencoba berlayar kembali nanti untuk mencari mereka berdua. Kita hanya bisa berdoa semua akan baik-baik saja." Pak Sito menepuk pundakku pelan agar aku bisa bersabar. Aku pun menawarkan senyuman palsu kepadanya agar tidak membuatnya khawatir.
Setelah selesai dengan urusanku, aku bergegas pulang. Aku merasa tidak enak meninggalkan Chika dengan bibi sebelah rumah yang masih tidak sadarkan diri. Aku mulai berjalan cepat saat atap rumah terlihat dari kejahuan.
Bibi suarti keluar dari rumah dengan wajah panik, merasa ada yang tidak beres aku langsung berlari menghampirinya.
Ia langsung mencengkram pundakku saat ia mendapatiki menghampirinya, "Chika ... Chika menghilang begitu saja saat ditinggal ke kamar kecil. Cari Chika. Pikirannya masih kalut."
Aku pun segera berlari tak tentu arah seketika bibi Suarti melepaskan cengkramannya. Aku berkeliling sekitar rumah tapi tidak menemukannya. Perasaan tak enak mulai menyelubungiku, entah mendapat pengarahan darimana, aku segera berlari menuju pantai yang jaraknya beberapa meter dari tempatku saat ini. Tanpa memperdulikan genangan air maupun dahan yanh rendah, aku menerobos begitu saja.
Dari kejahuan aku melihat sosok gadis, yang aku ingat beberapa hari ini, berjalan menuju tengah lautan. Rasa dingin mulai menjalar keseluruh tubuh. Aku berlari. Berlari sekencang-kencangnya. Entah sudah berapa lama aku tidak pernah berlari secepat ini. Aku sudah terlalu sibuk dengan dunia gemerlap sehingga napasku mulai tersenggal.
Tubuh gadis itu mulai tenggelam, laju meloncat ke dalam laut dan menarik lengan kurus dan putihnya. Aku membalikan tubuhnya sehingga berhadapan denganku. Ekspresinya kosong saat itu. Mulut bergetar mengucapkan kata-kata dengan cepat sehingga aku tidak bisa mendengat dengan jelas.
"Chika!" panggilku. Ia tak bergeming. "CHIKA! Sadarlah!" ujarku dengan nada tinggi sambil menepuk pipinya. Ia terlonjak kaget menatap lurus ke mataku saat ini.
"Kakek! Chika harus mencari kakek. Ia kedinginan disana."
"Chika..." Aku mengguncang tubuhnya pelan agar membuatnya sadar.
"Chika harus mencari kakek! Kakek tidak mungkin hilang. Chika-..." Merasa frustasi mendengar perkatannya yang memilukan. Aku mengecup bibirnya dengan paksa sehingga ia berhenti berbicara. Namun ia meronta dengan kata-kata yang sama keluar dari bibir manis itu. Aku memperdalam ciumanku sehingga ia tidak memiliki kesempatan membuka mulutnya. Ia menangis dalam ciuman kami, aku bisa merasakan rasa asin dari air matanya yang jatuh.
Aku segera melepaskan kecupanku ketika dia sudah tenang. Ia menatapku dengan kedua tangannya berpegangan pada kedua pundakku. Lenganku masih mencengram pinggulnya agar ia selalu dekat denganku.
"Kakek pergi meninggalkan Chika. Ibu meninggal, ayah pergi begitu saja dan sekarang kakek. Semua orang meninggalkan Chika! Chika sendirian!" jeritnya dalam tangisan.
Aku mencangkup wajahnya dengan kedua tanganku sehingga wajah kami saling berhadapan, "Chika tidak sendirian. Masih ada aku. Aku akan menemani Chika!"
"Bagaimana kakak Surya menemani Chika? Mereka, keluarga Chika sendiri meninggalkan Chika sendiri begitu saja. Bagaimana kak Surya menemani Chika? Kita baru saja bertemu."
"Aku tidak akan meninggalkanmu, percayalah padaku. Kita berpasangan bukan, atau apalah namanya." Chika menatapku diam. Aku mencoba menghapus air mata yang jatuh di pipinya.
"Pacar. Hubungan kita hanya itu dan Chika yakin bahwa Chika saja yang berpikir begitu." Perkatannya saat itu bagaikan pisau yang menusuk langsung ke dadaku. Aku tidak terima dengan perkatannya, tapi aku tidak bisa marah dengan semua perkatannya yang benar.
Aku sudah berjanji. Aku sudah berjanji akan menjaganya dan menemaninya. Aku ingin menepati janjiku dan juga aku menginginkannya selalu disampingku. Aku tidak ingin membuatnya sedih, aku tidak ingin membuatnya menangis, aku tidak ingin membuatnya sendirian.
"Menikah. Menikahlah denganku Chika. Izinkan aku menemanimu selalu menggantikan kakek." Sebuah janji tulus terucap dari mulutku. Chika menatapku tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Aku mengulangi setiap kataku kembali. Ia tersenyun ragu dan memeluk tubuhku dengan erat.
Aku tahu bahwa menikah adalah hal paling bodoh dan tidak akan pernah terbesit di pikiranku, Leonardo Kandou. Tapi itu satu-satunya cara agar aku bisa bersamanya yang bukan siapa-siapa. Aku sunguh-sungguh menginginkannya. Aku sungguh-sungguh ingin membuatnya bahagia di sisiku.
Apapun yang terjadi, aku akan menikahimu dan selalu ada di sisimu.