Suara embusan angin lembut memasuki cela-cela jendela yang tertutup, menyebarkan aroma segar jeruk dan stroberi yang memancing indera penciumanku. Aku menghirup dalam-dalam aroma yang membuatku ketagihan. Suara petokan ayam jantan terdengar nyaring dari luar. Perlahan aku membuka mataku dan membiarkan indera penglihatanku beradaptasi dengan cahaya pagi hari. Sebuah senyuman manis menyapa di hadapanku.
"Selamat pagi kak Surya~" Chika berbaring di sampingku dengan senyum mengembang dari wajahnya memperhatikan ku yang bangun dari tidur. Aku menatapnya kosong seakan aku sedang mengumpulkan nyawaku yang berterbangan disekitar ragaku.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku ketika kesadaran sudah memenuhi diriku. Chika bangun dari tempatnya berbaring dan duduk di samping, masih di atas ranjang.
"Tentu saja membangunkan kak Surya."
"Kenapa kamu ikut berbaring?"
"Karena kak Surya tidak segera bangun saat Chika bangunkan, lagipula tidur kak Surya terlihat begitu nyaman."
Anak ini pasti bergurau. Mana mungkin aku bisa nyaman di ranjang tipis yang sempit ini. Aku baru bisa tidur saat subuh dan sekarang dia membangunkanku pagi-pagi.
"Sudah jam enam. Waktunya sarapan. Kakek sudah menunggu di meja makan," ucapnya yang saat ini turun dari ranjang dan berjalan keluar meninggalkanku. Aku hanya bisa mengusap mataku yang lelah dan mencoba menutup mataku kembali karena ini masih terlalu pagi bagiku untuk bangun.
"Kalau aku jadi kak Surya, aku akan segera bangun sebelum kakek menyeret kakak untuk bangun." Chika muncul dari balik pintu memperingatkan dengan ekspresi wajah yang ketakutan. Aku pun memaksakan diriku untuk bangkit dari tempatku dan berjalan keluar kamar dengan malas.
Sesampainya di ruang makan yang merangkap ruang tamu dan ruang tengah, kakek jono duduk di depan meja makan memperhatikanku yang berjalan dan duduk tepat disamping Chika.
"Kepalamu sudah membaik?" tanya kakek Jono dengan nada tegasnya, aku mengganguk pelan menjawab pertanyannya, "setelah makan kamu ikut saya ke perkebunan dan bekerja di sana."
Aku menatap tak percaya mendengar apa yang barusan ia ucapkan. Ia menyuruhku, seorang Leonardo, bekerja di perkebunan. Yang benar saja, memang dia kira aku pantas bekerja kasar seperti orang-orang kampung di sini.
"Kamu laki-laki harus berguna dan bekerja. Bagaimana kamu akan membayar biaya pengobatan, makanan dan tempat tinggal selama disini, jika kamu tidak bekerja?"tambahnya.
"Kak Surya, jangan khawatir nanti siang Chika akan mengantarkan makan siang kakak dan kakek nanti." Chika menyemangatiku setelah meletakan sepiring makanan di depanku dan menawarkan senyum lebar dari mulut mungilnya yang berwarna merah jambu.
"Untuk masalah pengobatan, makan dan tempat tinggal nanti akan saya bayar." Aku meyakinkan mereka bahwa aku akan segera membayar semua kebaikan mereka, jika aku bisa menghubungi seseorang untuk menjemputku di tempat asing ini.
"Bayar menggunakan apa? Kamu bahkan tidak memiliki apapun saat ditemukan dan kamu hilang ingatan." Kakek Jono mengingatkanku akan keadaanku yang memang tidak memiliki apapun, uang bahkan kartu identitas. Aku seratus persen seperti orang hilang atau orang ilegal tanpa asal usul. Masalah hilang ingatan, aku tidak pernah sekali pun mengiyakan meski aku juga tidak mengelaknya. Aku harus menjelaskannya.
"Saya tidak menerima penolakan. Mulai hari ini kamu bekerja di perkebunan untuk membayar biaya selama hidup di sini,"sanggahan kakek Jono berhasil menutup mulutku yang saat itu akan menjelaskan situasiku. Aku hanya mendesah panjang karena laagi-lagi aku tidak bisa menghadapi orang-orang keras kepala seperti mereka.
Perasaan kalut yang menyelimutiku berangsur-angur mereda saat aku merasakan usapan hangat di pundakku. Aku menoleh ke samping dan melihat Chika yang menyadari perasaanku. Ia menawarkanku senyuman lembutnya dan mulai membuka mulutnya, "Chika akan menemani kak Surya."
ᴓ
Terik matahari di atas kepalaku terasa menyengat di ubun-ubun. Kulitku yang bercampur dengan keringat terasa terbakar terkena sengatannya. Orang-orang di perkebunan kelapa sawit bekerja tanpa kenal lelah meski sudah empat jam lebih mereka menaiki pohon dan mengangkat hasil panen mereka.
"Capek dari tadi mengangkat keranjang?" seseorang menepukku dari belakang yang saat ini aku sedang duduk bersandar pada salah satu pohon kelapa sawit disana. Aku mengusap keringat di wajahku dan mengangguk untuk menajwab pertanyannya.
"Mau mencoba memanjat? Badanmu tinggi kamu pasti pintar memanjat." Aku hanya tersenyum kecut mendengar tawarannya.
Badanku memang tinggi dan aku sangat ahli memanjat. Namun bukan memanjat pohon kelapa, aku sangat ahli memanjat tubuh wanita yang bertubuh lunglai. Sialan, aku merindukan Jakarta. Aku merindukan hingar bingarnya. Aku merindukan segala fasilitas yang aku miliki disana. Aku harus keluar dari tempat ini.
"Surya! Sini!" seseorang bertubuh gemuk memanggilku. Dengan malas aku berjalan mendekatinya.
"Taruh ini di meja mandor sana." Pria gemuk itu menyerahkan papan alas tulis dengan beberapa lembar yang sudah tercoret mengapit di klip besinya. Aku melakukan perintahnya dengan muka masam. Kalau bukan karena kakek Jono, mana mau aku di suruh-suruh seperti ini. Kalau bukan karena tidak ada uang aku tidak akan mau bekerja di tempat seperti ini.
Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah langsung ke ruangan mandor. Ruangannya tidak terlalu besar, malah berbentuk kotak dengan meja dan rak saja di dalamnya. Aku pun meletakan papan itu tepat di atas meja yang berantakan. Saat hendak berjalan keluar ruangan, mataku menangkap sesuatu di balik tumpukan kertas di atas meja. Sebuah telpon kabel.
Aku pun langsung melompat ke meja tadi, menyingkirkan semua kertas di atasnya tanpa memperdulikan kertas itu penting atau tidak. Dengan napas berburu dan jantung yang saat ini berdetak cepat. Aku mengangkat ganggan telpon itu berharap ada nada sambung keluar dari setiap lubangnya.
Tuuut...Tuuut... terdengar. Suara nada sambung terdengar. Aku pun segera menekan nomor seseorang yang sangat aku percaya dalam membantuku keluar di setiap masalah yang aku hadapi, Rekka. Lima kali nada panggilan terdengar, namun pemilik telpon tidak segera mengangkatnya.
"Sialan, cepat angkat! Ini bukan telpon iseng!" grutuku yang mencoba kembali menghubungi nomornya. Aku sangat kenal dengan Rekka, dimana dia tidak begitu saja mengangkat nomor yang tidak dikenalnya. Katanya untuk menghindari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Cklek... suara telpon terangkat dan nada sambung yang memuakan itu berhenti.
"Brengsek, Rekka! Kenapa kamu baru angkat sekarang?" Aku mendesis kesal tanpa mengucapkan kata sapaan padanya.
"Leo? Kemana saja kamu? Kami semua mencarimu? Apa yang terjadi?"
"Ceritanya panjang. Cepat jemput aku di sini. Aku tidak betah berada di tempat asing seperti ini."
"Dimana kamu?"
"Entahlah. Kamu bisa melihat kode area dari nomor ini, bukan? Kamu bisa melacaknya dari sana. Orang-orang sini tidak memberitahu lokasi pastinya, mereka selalu bilang pantai Lunci." Aku mencoba memberikan informasi yang aku pelajari selama disini. Sebelum aku mendapatkan respon dari Rekka, terdengar langkah kaki seseorang dari luar.
Aku menutup ganggang telpon dan menjauh dari meja tersebut. Pak mandor dengan kacamata tebal dan tubuh kurusnya masuk ke dalam ruangan sambil menghitung uang yang ada di tangannya.
"Kenapa kamu berdiri di sana?" tanya pak mandor saat melihatku berdiri diam di dekat pintu.
"Hanya mengantar laporan. Itu sudah aku taruh di atas meja."
"Cepat pergi dari sini," perintahnya. Aku mendengus kesal mendengar perintahnya yang sok. Tanpa menoleh kebelakang aku keluar ruangan panas itu dan berjalan ke perkebunan. Dari jauh aku bisa melihat Chika berjalan melambaikan tangannya kepadaku. Aku pun berjalan mendekat ke arahnya.
Chika mengayunkan sebuah tempat makan dengan senyum lebarnya ke arahku. Jika boleh jujur, aku sangat menyukai senyuman bocah yang memiliki dada kecil ini. lesung di pipinya membuatku ingin mengecupnya dengan lembut setiap kali melihatnya.
Ia menarik tanganku untuk mengikutinya tanpa memberiku penjelasan dan dengan bodohnya aku selalu mengikuti kemana pun dia membawaku. Aroma tubuhnya begitu semerbak setiap kali angin menerpanya yang berlari kecil. Ada yang ganjil ketika aku melewati perkebunan kelapa sawit yang lebat ini. semua pekerja tiba-tiba menghilang. Suara gesekan daun terdengar nyaring karena hembusan lembut angin.
"Kemana yang lainnya?" Ia tetap berlari kecil tanpa memperdulikanku. Aku pun mengaitkan jemariku padanya, jari telunjuknya merespon, "Kemana yang lainnya?" tanyaku kembali.
"Mereka sedang mengadakan syukuran laut di pinggir pantai, pekerjaan hari ini hanya setengah hari," ia menoleh kebelakang menatap wajah bingungku dan tersenyum lembut, "dan kita akan melihat acaranya dari jauh."
Kita berlari menelusuri jalan setapak, keluar dari jalur dengan memasuki semak-semak lebat dan memasuki bebatun besar yang menghadap laut. Ia melepaskan tanganku dan menunjuk ke arah utara. Dari jauh tampak orang-orang yang sedang berkumpul membawa beberapa makanan dan lainnya yang di masukkan ke sebuah kapal kecil. Kakek jono terlihat dengan pakaian serba putih memimpin acara.
"Acaranya sedang berlangsung. Kita bisa melihat dengan jelas dari sini,"jelas Chika yang saat ini sudah duduk di atas sebuah batu dan menaruh kotak makan sebuah rantang besi diatas pangkuannya.
Aku pun berjalan mendekatinya dan duduk tepat di sampingnya. Aku sedikit menyipitkan mataku untuk melihat acara dari kejahuan. Semua orang berkumpul mengelilingi sekitaran kapal.
"Apa yang mereka lakukan?"tanyaku penasaran.
"Entahlah. Chika juga tidak tahu dan tidak tertarik."Aku pun menoleh ke arahnya yang saat itu memang terlihat acuh. Ia sibuk membuka kotak makannya dan menatapku saat ini, "Ini makan siang untuk kak Surya."
"Kenapa kita makan di sini dan tidak ikut melihat acara di sana?"
"Karena Chika tidak suka dengan acara yang terasa sakral," jawabnya sembari berdiri dari tempatnya dan berjalan mendekati ombak kecil yang membasahi pasir, "Lagipula, lebih menyenangkan bukan makan siang di pinggir pantai seperti ini." Ia berbalik menghadapku dan melebarkan kedua tangannya dengan senyum khasnya.
Aku hanya bisa mengangguk menyetujui ucapannya. Memang lebih baik menjauh dari acara sakral seperti itu ketika kita sendiri adalah orang luar yang tidak tahu apapun. Aku menatap kotak makan yang diberikan Chika, terdapat nasi yang bercampur sesuatu dengan tekstur kecil berwarna kuning, sayuran bercampur kelapa dan satu buah ikan kering yang baunya sedikit amis.
"Apa ini?"
"Nasi jagung buatan bibi sebelah," jawab Chika yang sedang sibuk mencari kerang di pasir putih yang basah. Aku menelan ludah menatap makanan yang ia bawa.
Diriku sedang berkecambuk antara memakan atau tidak makanan yang terlihat aneh ini. rasa lapar sepertinya menguasai diridan menutup semua egoku, aku pun memakannya secara perlahan dan berdoa semoga aku tidak sakit perut. Aku tidak tahan lagi. Lima suapan sudah berhasil membuatku mual. Aku pun segera menghabiskan air minum di botol yang berada di atas batu.
"Kak Surya, kemari!" sapa Chika yang keluar dari balik batu besar sembari membawa ranting pohon. Aku pun mengikutinya yang terlihat begitu bersemangat. Ia berdiri diam di tempatnya sembari melambaikan tangannya, isyarat agar aku mendekat kepadanya.
"Disini tempat Chika menemukan kak Surya telungkup terkena sinar matahari pagi," jelasnya sembari menunjuk ke tempatnya berdiri. Aku mendekatinya dan berdiri tepat di sampingnya. Aku menatap jauh ke arah laut dan membayangkan siriku terombang ambing di tengah lautan dan terdampar di pulau ini.
"Kalau saja Chika tidak menemukan kakak di sini, entah bagaimana nasib kak Surya saat ini. karena jarang sekali orang-orang berada ke tempat ini." ia menatapku dengan bangga akan dirinya yang menemukanku di tempat sepi seperti ini.
"Terima Kasih"ucapku sembari membalas senyumannya. Tidak bisa dipungkiri aku sangat berterima kasih karena dia menemukanku di antara bebatuan besar seperti ini. Jika bukan karena dia mungkin aku bisa mati atau terombang-ambing kembali di tengah lautan.
Siapa? Siapa orang yang begitu ingin melenyapkanku? Mereka bahkan tanpa belas kasih melemparkanku begitu saja di dasar lautan. Ada apa sebenarnya?
Tiba-tiba perasaanku terasa tidak nyaman ketika memikirkan kemungkinan yang tidak ingin aku pikirkan sebenarnya. Aku sadar ada banyak persaingan dalam keluarga besar. Terutama sejak kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan, lima tahun lalu dan membuat kakek begitu keras terhadapku.
Apa karena harta dan tahta? Sialan, aku tidak ingin terlibat di dalamnya. Aku tidak ingin terlibat ke dalam permainan bisnis keluarga yang kotor itu.
"Malam ini kita kencan di pasar malam, yuk?" Chika menatapku dengan tatapan memohon sambil mengaitkan lenganku di tangan kecilnya yang halus.
"Nona kecil, apa kamu tahu kata kencan?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alisku.
"Tentu saja aku tahu. Kencan adalah sebuah istilah yang digunakan pasangan yang saling menyukai pergi menghabiskan waktu berdua. Chika bukan orang bodoh."
"Memang kita pasangan?" Chika mengangguk yakin, "Apa kita saling menyukai?" Dia terdiam menatapku sembari berpikir.
"Entahlah."
"Jadi bagaimana kita ini seorang pasangan jika kamu tidak tahu menyukaiku atau tidak?"
"Chika tidak tahu kak Surya suka Chika atau tidak. Namun Chika tahu kalau suka dengan kak Surya. Terutama melihat wajah tidur kak Surya yang terlihat seperti seorang pangeran di buku dongeng," Aku menyukai pujiannya padaku, "dan juga aku sangat suka dengan tatapan kak Surya dengan alis tebal ini." Ia mencoba sedikit berjinjit, tangan kirinya berpegangan pada pundakku, tangan kananya meraih sebelah alisku dan meraba pelan bulu halus di atas mataku.
Aromanya tercium kembali bercampur dengan aroma laut. Sesuatu di dalam diriku mulai bergejolak. Aku menatap wajahnya, matanya dan mulutnya yang saat ini berada tepat di hadapanku.
"Kau tahu. Pasangan yang saling menyukai tidak bisa dikatakan sebagai pasangan jika mereka belum melakukan satu hal." Aku menatap langsung manik mata hitamnya yang menatap lurus ke mataku.
"Oh ya? Melakukan apa?" tanyanya dengan tatapan penasaran. Aku menaikan sebelah sudut mulutku karena mendengar pertanyaan yang aku tunggu. Aku meraih pinggul rampingnya dan mendekatkan ke tubuhku sehingga aroma tubuhnya bercampur dengan aroma tubuhku.
"Berciuman,"bisikku pelan di depan telinganya. Ia memundurkan tubuhnya sedikit untuk melihatku tapi masih memegang pundakku.
"Ciuman di pipi?" Aku menggeleng pelan dengan senyum mengembang di wajahku. Aku mendekatkan wajahku padanya dan memberi sedikit jarak diantara bibirnya dan milikku.
"Berciuman bibir." Aku diam menunggu reaksinya yang saat ini terlihat sedikit kaget. Aku suka ekspresinya saat ini yang menatap mataku dan bibirku bergantian.
Baik nona kecil, apa yang akan kamu lakukan? Jangan pernah bermain dengan Leonardo Kandou. Meski aku tidak menyerang anak di bawah umur, bukan berarti aku tidak akan menggoda anak polos di depanku ini.
Aku sedikit mendengus melihatnya terdiam tak bergerak. Aku pun melonggarkan peganganku pada pinggulnya. Tanpa kuduga, ia mengalungkan tangannya ke leherku dan memberiku kecupan singkat di bibirku.
"Seperti ini?" katanya setelah melepas kecupannya. Aku terpaku melihatnya yang mulai tersenyum bangga akan perbuatannya.
Manis. Sungguh, kecupan singkatnya terasa begitu manis dan masih membekas di bibirku. Kecupannya terasa seperti madu dan aku menginginkannya lagi.
"Bukan. Tapi seperti ini." Aku mencengkram pinggulnya mendekat, aku menempelkan bibir manisnya kepadaku. Dengan lembut aku menyesapi rasa manis dari mulut mungilnya yang lembut dan hangat.
Ia terdiam. Aku menghentikan ciumanku dan melihatnya yang sedang menatapku dengan mata hitamnya yang besar seperti bulan.
"Jadi sekarang kita berpasangan?" tanyanya kepadaku. Aku mengangguk pelan. ia pun mendekatkan tubuhnya kembali, bukan untuk menciumku namun sekarang dia hanya memelukku.
Sialan, aku masih ingin menciumnya.
Sabar Leo, Dia masih kecil.
Aku hanya bisa menghela napas panjang dan mempererat pelukanku padanya. Untuk saat ini saja aku mengikuti kemauannya. Dia masih terlalu muda untuk ke tingkatan selanjutnya. Aku akan melatihnya pelan-pelan.
Aku pun mengusap lembut rambut hitamnya yang panjang sembari sesekali menghirup dalam aromanya. Aku menyukainya. Ya aku menyukai segala sesuatu darinya saat ini; kepolosannya, keceriannya, senyumannya, kecupan manis dan aroma tubuhnya yang tidak pernah membuatku bosan.