Aku berjalan mondar-mandir mengelilingi ruangan sempit ini dalam kegelapan. Aku mempertanyakan keberadaanku saat ini yang terperangkap di tempat asing dengan orang-orang aneh di sekitarku. Terutama gadis itu yang seenaknya menyatakan bahwa aku kehilangan ingatan, hanya karena aku tidak ingat bagaimana aku bisa ada di tempat terkutuk ini. Bahkan semua barang-barangku lenyap begitu saja yang tersisa hanya kaos hitam dan celana jeans yang aku kenakan pada malam itu.
Seberkas cahaya memasuki cela daun pintu yang setengah terbuka, aku menoleh kebelakang dan menepati gadis dungu itu sedang duduk berjongkok menatap gerak gerikku. Ia mendongakan kepalanya dan menangkap mataku yang sedang menatapnya.
"Kak Surya ingin buang air?" Surya, ia memanggilku dengan nama pemberiannya yang kampungan. Aku tidak memperdulikannya, aku berjalan ke arah ranjang, berbaring kesamping membelakanginya. Perlahan aku bisa merasakan terdapat gerakan di belakangku. Aku menoleh dan mendapati gadis itu, Chika sedang bertumpu dengan lututnya diatas kasur sembari menatapku.
"Mau apa?" tanyaku kesal. Ia pun duduk bersimpuh dengan kedua tangan diatas paha putihnya yang tertutup setengah akan celana pendek pola bunga.
"Kepala kak Surya, masih sakit?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Aku menghela napas pendek ketika mendengar suara kecilnya.
"Ya. Bisa kamu tinggalkan aku sendiri?" jawabku singkat. Aku pun membalikan badanku kembali.
"Kak Surya tidak lapar?"
"Tidak."
"Kak Surya dari kemarin belum makan. Makanlah sedikit setidaknya menemani Chika di meja makan."
Aku diam.
"Kakek sedang berkumpul dengan orang-orang di pantai untuk mempersiapkan syukuran laut setahun sekali, jadi tidak bisa menemani Chika makan malam."
Aku masih diam mendengarkannya. Tiba-tiba suara isakan terdengar dari belakang. Aku pun menoleh dan mendapati dirinya yang sedang menutup wajahnya dengan lengannya yang kurus. Aku bangkit duduk di depannya.
"Chika tidak suka makan sendirian. Chika takut. Chika tidak mau di tinggal sendirian seperti ayah yang pergi meninggalkan Chika begitu saja di rumah kakek." Chika berkata dengan isakan yang terdengar mebitu memilikan hati.
Sialan, anak ini berhasil membuatku tidak karuan. Sebelumnya dia dengan mudahnya membuatku menurut dan sekarang dia berhasil membuat hatiku ikut sedih mendengar ceritanya.
"Aku lapar. Apa ada makanan?"ucapku yang saat ini sudah turun dan berdiri di samping ranjang. Chika mendongakan kepalanya, menatapku yang sedang berdiri. Ia pun tersenyum sembari menghapus air matanya dan turun dari ranjangku.
"Ada ayam goreng dan sambal."jawabnya yang berjalan keluar kamar. Aku mengikuti langkah kecilnya dari belakang. Tanpa kusadari saat ini senyuman mengembang di wajahku ketika melihat ekspresi wajahnya dengan mudahnya berubah-ubah secepat kilat yang datang dan pergi ketika hujan lebat.
ᴓ
"Jadi, darimana asalmu sebenarnya?" tanyaku kepada Chika setelah ia meletakan segelas teh hangat di depanku dan duduk berhadapan denganku setelah mencuci bersih bekas makan malam kita. Chika menatap bingung ke arahku sambil memiringkan kepalanya ke kanan.
"Tadi, kamu bilang di tinggalkan di rumah kakek, jadi sebelumnya kamu dari mana?" Chika menyesap minumannya sendiri sebelum menjawab pertanyaanku.
"Hum... Surabaya." Ia menatapku diam, "Surabaya, itu salah satu kota besar di Indonesia, letaknya bukan di pulau ini, tapi..."
"Pulau jawa bukan?" Aku memotong penjelasannya. Semalas-malasnya aku belajar, bukan berarti aku orang bodoh yang tidak tahu dimana kota-kota besar di Indonesia.
"Bukannya kakak hilang ingatan?" Aku menaikan sebelah mulutku dan menyesap minuman hangat buatannya tanpa menjawab pertanyaannya. Dia masih berpikir aku hilang ingatan ternyata, sudahlah sekali-kali menjahili anak kecil tidak ada salahnya.
Tanpa peringatan, mesin pencerna di dalam perutku mulai beraksi. Aku ingat sejak tidak sadarkan diri dan malam ini aku belum mengeluarkan sampah di perutku. Usus dua belas jari terasa terikat dan melilit satu sama lain, menyebabkan otot perutku menegang menahan rasa sakit.
"Ada apa kak?"tanya Chika yang menyadari gelagatku.
"Toilet, aku butuh toilet." Aku mengerutkan dahiku dan memegang perutku yang melilit. Chika berdiri dari tempatnya duduk dan berlari kecil meninggalkanku yang menahan sakit.
"Sialan, bisa-bisanya dia meninggalkanku yang kesakitan. Dimana toiletnya?" Aku berdiri dan setengah membungkuk menahan sakit di perut. Chika muncul dari belakang dengan membawa lampu sorot di tangannya.
"Ikut Chika!" Ia meremas tanganaku dengan jemari kecilnya yang lembut nan hangat. Ia menuntunku keluar rumah dan mengarahkanku ke sebuah tempat gelap di dekat sungai. Aku berdiri terpukau dengan apa yang aku lihat. Sebuah dinding anyaman berbentuk kotak berdiri kokoh di samping sungai yang arusnya tidak terlalu deras.
"Kamu bercanda?" Aku menatap Chika yang saat ini mempersilahkanku masuk ketempat itu. Logikaku mulai bertengkar dengan hasratku yang ingin membuang sampaah perut saat menatap pandangan di depanku.
"Brengsek!" makiku yang saat itu tidak bisa menahannya lagi. Aku, seorang Leo yang berkelas, pun masuk kedalam tempat yang seumur-umur baru pertama kali melihatnya secara langsung kecuali di televisi yang menyiarkan lokasi kumuh dan tidak berkelas sama sekali, mengeluarkan semua sampah perut yang tidak bisa diajak berkompromi.
"Hei! Kamu masih di sana?" kataku saat keheningan dan kegelapan mulai menggelayuti di sekitaran. Hening, tidak ada jawaban. "Hei kamu masih ada disana?" aku mencoba kembali yang masih duduk berjongkok berusaha mengeluarkan sampah perut.
"Chika!"sapaku kembali agak keras dari dalam.
"Ya!"jawabnya lantang.
Hening kembali datang.
"HEI!"tidak ada respon, "Chika!"
"Apa?" aku mendesis mendengar jawabannya, anak ini hanya mau menjawab jika aku memanggil namanya.
"Katakan sesuatu. Jangan diam saja!"pintaku yang mencoba bersabar.
"Kak Surya takut dengan gelap?"
Pertanyaan bodoh. Mana mungkin aku takut gelap, aku ini raja kegelapan yang akan memangsa setiap wanita jika aku menginginkannya. Aku hanya tidak suka kesunyian.
"Berapa umurmu?"tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya untuk memecah keheningan diantara kita.
"Lima belas tahun."
"Bocah,"sindirku dari dalam sembari menyelesaikan kegiatanku.
"Chika bukan bocah. Chika sudah SMA." Aku keluar dari tempat menjijikaan itu dan melihat wajah cemberut Chika di depan pintu yang masih memegang lampu sorot di tangannya.
"Jangan membodohiku. Kamu ini terlihat seperti bocah SD."Aku mengusap kepalanya dengan tangan kananku. Ia memandang tajam ke arahku. Ia meraih tanganku dan meletakannya ke dada kecilnya. Aku bisa merasakan dada kenyalnya yang kecil di balik kaosnya yang kebesaran.
"Anak SD tidak akan punya dada!"
Shit! Gadis ini tidak kenal kata takut. Bisa-bisanya ia membiarkan orang yang baru ia temukan beberapa hari yang lalu untuk menyentuh dada kecilnya yang empuk.
Tiba-tiba sesuatu di dalam diriku muncul. Aliran darahku terasa mengalir dengan cepat sehingga membuat suhu tubuhku sedikit memanas. Hembusan angin dari arahnya menyebarkan aroma segar yang keluar dari tubuhnya. Aku menatap wajahnya yang masih memajukan bibir mungilnya.
Aku ingin merasakan bibir itu dan menguasainya saat ini juga.
Srek... sebuah suara rerumputan menyadarkanku, dari belakang tampak dua orang dengan sarung yang mereka selempangkan di bahu masing-masing jalan mendekat sambil bercakap-cakap. Aku menjauhkan tanganku darinya.
'Tahan dirimu bodoh, kamu bukan fedofil' batinku memperingatkan. Aku pun membuang mukaku pada Chika dan menatap kedua orang yang datang mendekat.
"Oi, malam-malam jangan berduan, ntar di tengah-tengah ada setan." Salah satu dari mereka berteriak ketika menyadari kami berdua. Chika pun mendekat kepadaku dan mengaitkan tangannya ke lengan kiriku.
"Kalian setannya, week!" Chika menjulurkan lidahnya dan menarikku berjalan menyusuri jalan setapak di depan mereka. Ia mengajakku ke arah pantai yang sedang dipenuhi orang-orang dewasa. Kakek Jono, kakek Chika, melambaikan tangannya dari kejauhan saat menemukan kami berdua berjalan mendekat.
"Lihatlah, anak muda zaman sekarang, kalau jalan berdua bergandengan seperti orang pacaran." Salah satu dari dua pria tadi yang mempergoki kita berkomentar saat berkumpul dengan kerumunan.
"Om saja yang merasa tua. Lagipula kita memang pacaran kok!" Chika membalas ucapan orang itu sembari mempererat pelukannya pada lenganku sehingga aku bisa merasakan dada kecil itu kembali.
Orang-orang yang berkumpul di pinggir pantai di sekitar api unggun hanya bisa tertawa mendengar jawaban Chika. Aku hanya bisa diam menahan hasratku saat ini sambil menatap Chika yang sibuk meladeni omongan orang-orang.
Sialan, lama-lama aku bisa gila jika berada di dekat gadis ini.