Dum ... Dum ... Dum ... Suara dentuman musik terdengar begitu nyaring di telinga. Pengaruh alkohol yang mengalir di dalam diriku begitu terasa saat ini. Aku menari mengikuti gerakan wanita di depanku yang berlenggak-lenggok sambil mengalungkan tangannya di leherku. Aku meraih pinggulnya mendekat kepadaku hingga tubuh kami bersentuhan.
Kita menari mengikuti irama. Ia menunjukkan tarian seksualnya yang berhasil membuatku panas dan sesuatu menegang di balik celana jeansku.
Sesekali aku memeluknya dan menciumi tengkuknya disela tarian kami.
"You're hot!" bisiknya saat merasakan sesuatu yang keras saat aku dengan sengaja mencengkram pinggulnya sekali lagi dan menggesekkan kebangganku padanya.
"Then, Fuck me baby" Bisikku sambil menjilat dan menciumi daun telinga wanita yang baru saja aku temui di lantai dansa. Ia pun mendesah di depan telingaku. Aku bisa merasakan napasnya yang terengah-engah menahan hasratnya yang muncul seketika.
Aku menatap matanya yang membara akan nafsu disetiap sentuhannya. Aku menaikkan ujung mulutku bangga akan ekspresinya.
Tanpa perlu ijinnya aku menariknya menjauh dari lantai dansa dan memojokannya di sebuah lorong yang menuju kamar mandi. Aku menghimpitnya diantara tubuhku dan dinding.
Aku mencumbu bibirnya dan melepaskannya saat ia akan membalasnya. Ia menatapku dengan tatapan memohon. Tatapan yang sangat aku sukai kepada setiap wanita yang aku temui.
Aku menciumnya kembali. Aku menjilat bibir bawahnya untuk mengijinkan lidahku mengeksplor rongga mulutnya. Dia pun membuka mulutnya, dengan cepat aku memasukkan lidahku dan bermain dengan lincah di dalam mulutnya bersama dengan lidahnya yang menari didalam.
Setelah puas bermain dengan mulut sensualnya, aku menarik wanita itu ke dalam salah satu bilik kamar mandi. Saat berada di dalam, aku mengunci rapat pintu tersebut dan menyerang kembali mulut merah yang sensual.
Disela ciuman kami, aku melepas jaket kulit yang kukenakan dan melemparkannya pada toilet duduk yang tertutup. Aku tak bisa membiarkan pantat seksiku terkotori kuman di toilet itu.
Aku duduk di atas dudukan toilet dan mengangkatnya pada pangkuanku sehingga kami saling berhadapan. Aku memegang tengkuk belakangnya dan mendekatkan kepalanya kepadaku sehingga aku bisa menguasai bibir seksinya dengan kedua bibir ku yang lapar.
Masih dengan ciuman panas kami, tanganku mengelus punggung kecilnya di atas kain satin hitam yang ia pakai. Tangannya meraba dada bidangku dan mengelus lembut otot perutku yang terbentuk dibalik kaos hitam yang kukenakan. Perlahan wanita ini mencengkram sabuk jeansku, dengan cekatanan dia membuka sabuk kulit dan kancing jeansku. Tangan lentiknya meremas juniorku dibalik celana boxerku dan berhasil membuatku mengerang kesakitan.
Ia turun dari pangkuanku dan sekarang sedang berjongkok tepat di depan juniorku yang mengeras di balik celana boxer. Dengan tatapan membara, wanita ini menjilat dan mengigit pelan bibirnya, tanpa membuka boxer ku dia mulai memberikan gigitan kecil pada bagian paling menonjol dan keras, dimulai dari pangkal ia bergerak ke ujung.
'Wow! wanita ini tahu benar cara melakukannya.' Aku mulai menikmati gigitannya yang lembut. Ia pun menyelipkan jemari nya di dalam boxer. Dia mengeluarkan juniorku yang sudah begitu menegang dan berhenti sejenak menatapnya dengan takjub. Tanpa perintah, wanita ini mencium perlahan ujung juniorku dan memulai aksinya dengan menjilatinya seperti sebuah es loli.
"Aaaaah...!" Aku mengerang menikmati aksinya, tanganku mulai mencari pegangan, aku terengah dan meletakkan tangan ku di kanan-kiri dinding toilet. Belum selesai tubuhku bergetar dari sentuhan lidahnya, ia membuka lebar mulutnya memenuhinya, membasahi aku dengan kehangatan rongga mulutnya.
"Damn!"aku tercekat.
Kuremas rambut nya menahannya tetap disana.
Ia membiarkanku keluar masuk dalam kehangatan di mulutnya dengan sesekali mendapat gigitan kecil disepanjang milikku. Juniorku terasa berkedut seakan ingin melakukan pelepasan. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku mendekatkan kepala wanita itu sehingga juniorku masuk sampai pangkal tenggorokannya, membuat dia sedikit tersedak. Tanpa memberinya peringatan aku segera mencapai pelepasan dan mengeluarkannya di dalam mulut seksi itu yang masih mengulumnya. Dengan senyum sensualnya dia menelan habis cairan yang keluar dari junior kebanggaanku.
"You're freaking great, babe~" pujiku padanya. Aku meraih kepalanya, menciumi pipi, telinga dan lehernya. Ia mendesah ketika aku menemukan area sensitifnya. Aku mengigit pelan dan menjilatnya.
"Aku menyukainya," bisikku tepat di depan telinganya. Aku menaikan ujung bibirku saat melihat tatapan laparnya. Aku mengusap bibirnya yang terdapat bekas cairanku dengan ibu jariku dan memasukan ke mulutnya. Ia pun dengan senang hati menghisapnya.
ᴓ
Dengan pandangan sedikit buram, aku berjalan menuju meja bartender di mana teman-temanku sedang asik meminum minumannya. Mereka tersenyum saat melihatku datang. Alex mengangkat tangannya yang aku balas tepukan ringan saat aku menghampirinya.
"Bagaimana wanita yang tadi?" tanya Gading yang duduk di sebelah Alex. Aku tesenyum sembari mengacungkan jempol kananku. Aku pun menghampiri bartender dan memesan segelas minuman. Tak lama bartender pun memberikan minuman pesananku.
"Jika kamu mau, kamu bisa mencobanya,"ujarku sambil memberikan gelas itu ke Gading, "Dia sedang menunggu minumannya dan mengajak pergi berdua. Jadi kenapa kamu tidak mewakilkan ku?"
Gading menatapku tak percaya dengan yang aku ucapkan saat ini, dimana aku terdengar menolak pergi dengan wanita seksi yang aksi mulutnya begitu hebat. Sepanjang sejarah, Leonardo tidak akan pernah menolak untuk pergi dengan wanita yang dapat memuaskan seperti tadi.
"Kamu tidak mau?" tanyaku kembali sambil menggoyangkan gelas yang aku pegang.
"Kamu tidak menyesal melepasnya?" tanya Gading tidak yakin.
"Aku akan lebih menyesal jika TUAN BESAR memutuskan semua akses kartu kredit, jika aku gagal dalam kelas sialan besok pagi." Aku sengaja mempertegas kata TUAN BESAR yang tak lain sebutan untuk orang tua kami semua yang memiliki kuasa lebih. Alex tertawa dengan lantang mendengar alasanku. Sedangkan tanpa mau rugi, Gading menyambar gelasku dan pergi menuju tempat wanita tadi menungguku.
"Mana Rekka?" tanyaku melihat sekeliling mencari Reka, salah satu teman main dan sekaligus pengawal pribadi yang selalu siap sedia sejak aku kecil. Meskipun kita seumuran, keahliannya sebagai pengawal pribadi tidak bisa diragukan lagi. Secara turun temurun keluarganya, keluarga Samidt, selalu setia melayani keluarga Kandou, yang tak lain keluarga besarku.
"Entahlah, dia tadi pergi setelah mendapat panggilan penting dan belum kembali sampai sekarang," jelas Alex yang saat ini menyesap minumannya. Aku pun menepuk pundakknya dan berjalan menjauh.
"Mau kemana?"
"Balik dulu."
"Kamu mabuk, jangan menyetir bego!"
"Aku naik taksi, bego!" balasku sembari berjalan menjauh menuju pintu keluar. Saat berada di luar, angin berhembus membuat tubuhku sedikit mengigil. Aku pun menutup rapat jaket kulitku dan menggesekan telapak tanganku sendiri agar tanganku tidak kedinginan.
Kepalaku saat ini terasa begitu berat, dengan samar aku melihat sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku. Setengah sadar aku menatap mobil hitam itu. Dengan enggan aku berjalan menjauh, namun segrombolan orang berpakaian hitam keluar dari mobil tersebut dan mengelilingiku.
"Jangan halangi jalanku bodoh!" teriakku kesal, aku mencoba menerobos keluar dari kerumunan orang-orang bodoh itu. Namun salah satu dari mereka mendorongku, rasa kesal seketika menyelimutiku. Aku pun segera memukul pria di hadapanku, tapi dia berhasil mengelak dan memberiku beberapa pukulan di wajah maupun kepala yang membuatku tumbang tak bergerak.
Samar-samar aku merasakan mereka mengangkut tubuhku dan dengan kasar memasukannya kedalam mobil. Mobil berjalan dengan cepat, masih setengah sadar aku melihat cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui cela jendela.
"Selanjutnya bagaimana?" tiba-tiba suara terdengar memecah keheningan.
"Kita lenyapkan."
'Lenyapkan? Siapa yang mereka lenyapkan.' Aku tidak kuat lagi, kepalaku terasa berat. Pelan-pelan cahaya dari lampu jalan tak tampak, semua terasa gelap.
Byuuur ... suara air terdengar jelas ditelingaku. Aku terdiam tidak bergerak mencoba beradaptasi dengan sekitarku yang terasah aneh. Tenggorokanku terasa tercekat, aku membuka mulutku dan gelembung udara keluar begitu saja. Aku membuka mataku seketika dan menyadari sekitarku.
'Sialan mereka membuangku di laut.' Aku mencoba bergerak dan mengayunkan kakiku, tetapi kakiku tidak mau bergerak. Aku menatap kebawah dimana menemukan kakiku terikat pada seutas tali yang terhubung dengan sebuah batu. Aku mencodongkan badanku kebawah dan mencoba membuka ikatan itu.
Semakin lama aku di dalam, semakin terasa tercekik leherku karena udara mulai menghilang. Dengan sedikit tenaga, aku mencoba berkonsentrasi untuk membukanya. Seketika tali terlepas, aku berenang ke permukaan dan menghirup dalam-dalam udara yang bisa aku jangkau. Aku menatap sekelilingku, yang hanya laut lepas dan gelapnya langit yang penuh bintang. Dengan tenaga minimum aku berenang menjangkau potongan kayu yang mengapung tak jauh dari tempatku.
Aku mencoba mengatur nafasku dan mengistirahatkan tubuhku disana. Aku memegang kepalaku yang terasa sakit. Ada darah segar terlihat pada tanganku, sepertinya orang bodoh itu memukul kepalaku sampai berdarah.
"Sialan, sialan, sialan" makiku berulang-ulang akan kejadian yang menimpaku sampai aku tidak sadarkan diri di atas potongan kayu ini.
ᴓ
Desiran ombak terdengar begitu nyaring disekitarku, sengatan matahari terasa menyengat pada kulit pipiku dan suara langkah kaki pendek terdengar mendekat.
"Hei, kau tidak apa-apa?" Suara wanita terdengar begitu jernih. Aku mencoba membuka mataku yang terasa begitu berat apalagi kepalaku terasa sangat teramat sakit. Saat aku berhasil membuka mataku tampak seorang gadis muda, bukan wanita, berjongkok di hadapanku. Gadis itu mendekatkan wajahnya ke arahku, samar-samar aku melihat sorotan mata bulat dan hitam, penuh kekhawatiran memandangku.
Aku mencoba membuka mulutku, namun sepertinya tenagaku sudah habis saat ini, mataku tertutup rapat dan suara teriakannya lama-lama menghilang.
'Damn, kepalaku sakit. Biarkan aku beristirahat,' pintaku tanpa suara. Keheningan dan kegelapan pun menyelimutiku seketika.