"Seharusnya anakmu bisa mengendus aroma mate yang menguar dari tubuh anakku."
Lenard saat ini sedang berdiri menikmati bunga-bunga yang tumbuh subur di halaman belakang istana.
"Harusnya seperti itu," Daren memutar-mutar tangkai tulip yang bunganya sudah dia lemparkan entah kemana.
Miray menggenggam jemari Cassandra yang berada di atas pahanya, "Maafkan Gavriil, dia begitu --- kehilangan."
"Tidak perlu saling menyalahkan," Lenard berbalik menatap Miray dan juga Daren. Mereka berdua adalah yang terdekat ketika ia masih menjadi Raja, "Aku ingin menemui Liora."
Cassandra menatap suaminya dengan tatapan bertanya. Serius? Liora?
"Sayaang?" suara Cassandra seakan seperti anak yang merengek meminta dibelikan mainan.
"Aku ingin melihat wajahnya." Lenard berjalan menghampiri istrinya yang kini terlihat panik, mengusap lembut surai panjang wanita yang amat di cintainya itu, "Setelah 20 tahun kita mengasingkan diri di dunia manusia, tetapi sifatnya tak pernah berubah istriku. Padahal Berly tak pernah sedikitpun mempunyai niat untuk merebut tahtanya tetapi dia malah mencelakakan keponakannya sendiri."
Daren mempersilahkan Lenard dengan tangan kanan yang terbuka. Dua lelaki berusia ratusan tahun itu berjalan beriringan menuju ruangan tahanan untuk mereka yang terlibat peperangan kemarin.
"Halooo Adik." Lenard mulai tersenyum tipis saat melihat wajah Liora yang sembab dan tubuhnya yang penuh dengan bekas pecutan.
Lenard menyeringai membuat Liora yang baru saja membuka matanya kini mulai meronta-ronta membuat gemerincing rantai yang mengikat pergelangan tangannya berbunyi.
"Kau tak rindu padaku, Liora? Adikku."
Liora menggerakkan kakinya berusaha menendang Lenard yang kini sedang berjalan ke arahnya. Takut? Sudah pasti. Liora tau kakaknya adalah orang yang terkejam seperti Ayah mereka terdahulu tetapi kekejaman itu memudar seiring hadirnya manusua setengah dewa itu.
Lenard mengepalkan tangannya dan keluarlah api berwarna putih berkibar-kibar seolah tertiup hembusan angin. Api itu berjalan mengitari tubuh Liana yang mulai menegang.
Lenard tertawa. Tawanya adalah tawa menyeramkan di telinga Liora. Suara tawa yang sengaja di naik turunkan seolah mengejek ketakutan Liora. Api putih itu menembus tembok batu yang menjadi panghalang antara Liora dengan tahanan lain.
Tembok itu lenyap. Memperlihatkan tahanan lain yang merupakan bawahan Lenard kala ia menjabat menjadi Raja di Cynuria.
"Yaa...Yang Muliaa." satu suara lolos di ucapkan oleh lelaki yang kini berlutut di hadapan Lenard, "Hamba pikir, Anda telah tiada."
Lenard menatapnya datar, mata elang Lenard mengabsen satu demi satu orang yang telah berniat menghabisi putrinya.
"Kesetiaanmu tak ada artinya lagi Jenderal," Lenard menatap Liora yang kini telah menatapnya dengan tajam, "Aku telah mematikan rasa belas kasihanku semenjak kalian dengan berani menyerang Putriku, bahkan kau Panglima," Lenard menunjuk Panglima yang begitu ia kenal, "Kau membantu Liora mendapatkan belati itu."
Lenard menarik kakinya dengan kasar saat Sang Pangliman memeluk kakinya dengan suara tangisan yang terisak, "Aku jijik padamu."
Lenard berjalan hendak keluar dari ruangan berbau anyir itu tetapi makian dan umpatan yang di ucapkan oleh Liora membuatnya berbalik--menggenggam rahang Liora dengan kuat.
"Aku tak peduli dengan kenyataan bahwa kau Adik kandungku, Liora. Ambisimu telah menghilangkan kewarasanmu."
Liora histeris, "Bunuh saja Aku, Kakak. Bunuh!! Aku benci denganmu dan juga keturunanmu!!!"
Lenard melepaskan tangannya dari wajah cantik Adiknya yang mirip dengan Ibunya. Tertawa kecil kemudian menggelengkan kepalanya.
"Bukan aku. Bukan aku yang akan membunuhmu. Tetapi keponakanmu. Kau akan menderita bila tangannya telah mengambil alih hari eksekusimu."
~~~
"Sayang" suara lembut nan merdu mengalun di telinga Gavriil. Lelaki itu menoleh menuju sumber suara.
Dilihatnya seorang wanita dengan rambut cantik berwarna hitam tergerai tertiup angin di sore hari. Gavriil tidak sedang tidur saat ini dan dia yakin dia tidak sedang berhalusinasi.
"Aku merindukanmu, Gav."
Air mata Gavriil menetes. Ia memeluk wanita itu tetapi tidak bisa. Tubuhnya menembus wanita yang kini berdiri di hadapannya.
Mengenakan pakaian terusan berwarna biru gelap dengan sabuk yang melilit pinggang ramping wanita itu memperlihatkan lekuk tubuhnya yang mempesona.
"Jemputlah aku," sambungnya.
"Kaauu... kau dimana Amour?" Gavriil meluncurkan lebih banyak air mata dan itu membuat wanita yang berdiri di hadapannya melengkungkan bibirnya kebawah.
"Jangan bersedih," wanita itu mencoba mengusap air mata Gavriil walaupun tak bisa "Selamatkan aku sebelum kita tak bisa bertemu lagi."
Hilang.
Berly menghilang.
Gavriil berteriak dramatis membuat Galvia yang berada di lantai bawah segera mengangkat gaunnya dan berlari ke atas kamar kakaknya. Para pengawal terlihat terdiam di ambang pintu masuk kamar Gavriil yang masih belum di perbaiki.
"Ada apa?" Galvia terengah-engah memegangi dadanya dan matanya menatap bergantian kepasa kedua pengawal yang tengah melongo di depan pintu.
"Ta..di Tadi ada Yang Mulia Princess Berlyvie." pengawal itu menundukkan pandangannya dari adik majikannya itu.
"Kakak ipar? Beneran?"
Galvia segera melangkah masuk tanpa memperdulikan jawaban pengawal atas pertanyaannya.
Galvia menepuk bahu Gavriil dengan pelan membuat lelaki itu menoleh dan segera memeluk Galvia dengan erat membuat wanita itu memukul pelan kedua lengan Gavriil yang mengurungnya.
Gavriil menceritakan perihal kedatangan Berly kepada Galvia dengan suara yang tersendat dan isakan tangis yang tak kunjung reda. Ia juga menjelaskan bahwa ada lebam di pergelangan tangan Berly dan sudut bibirnya yang sedikit merah.
Galvia segera bertelepati dengan mate-nya Christof. Menanyakan posisi Raja Lenard dan Raja Daren-ayahnya.
Galvia menuntun kakaknya untuk duduk di tepi ranjang dan memberikan segelas air putih untuk meredakan tangis kakaknya. Diusapnya kedua mata kakaknya yang mulai membengkak itu.
"Jangan cengeng kak. Ayo kita tolong Kakak ipar." Galvia menggenggam jemari Gavriil dan menuntunnya menuju ruang makan tempat dimana semua orang sedang berkumpul.
Gavriil memberi hormat kepada Ayah mertuanya dan juga Ibu Mertuanya.
"Kau melalaikan tugasmu untuk menjaga Berly-ku, Pangeran."
Suara itu membuat Gavriil menunduk dan berlutut, "Maafkan kelalaianku, Raja Lenard. Aku akan menebusnya dengan seluruh jiwaku."
Galvia berdiri di sebelah Christof dan memeluk lengan lelaki itu sebelum ia tersenyum dan mengangguk ke arah Gavriil untuk berbicara.
Gavriil berdiri dengan berpunggung tangan dan mulai menceritakan kejadian yang menimpanya barusan. Menceritakan bagaimana dia melihat luka Berly dan bagaimana bentuk serta warna pakaian Berly membuat Ayahnya--Raja Daren tersentak terkejut.
"Tobias." ucapnya.
Raja Lenard mengulang perkataan Raja Daren dengan nada penuh tanya, "Tobias?"
"Apakah kau ingat Lenard? Di katakan bahwa ada sebuah kerajaan tak terlihat sebagai penyeimbang negara kita? Kerajaan yang lebih mempunyai kuasa dari Tetua Agung. Kerajaan yang mendapatkan berkah langsung dari moongoddes."
Raja Lenard mengetukkan jemarinya di atas meja makan berbahan kayu antik tersebut. Dia mulai mengelus-elus dagunya yang di tumbuhi bulu sepanjang satu senti.
"Kano?" tanyanya.
"Ya. Tangan kanannya bernama Kano yang pernah bertemu dengan kita di hulu."
Tepat sudah dugaan mereka bahwa Berlyvie masih hidup dan terperangkap di Kerajaan milik Tobias.
"Tapi bagaimana?" Ratu Miray membuka suaranya yang mengalun indah bagai terompet malaikat itu, "Bagaimana caranya kita menyelamatkan Berly apabila kita tidak punya izin masuk?"
"Pengamanan mereka begitu ketat. Kerajaan itu dilindungi berlapis-lapis berkah dari dewi bulan."
Sementara para orangtua mulai beradu debat. Yang lainnya hanya terdiam dan mendengarkan saja.
"Aku bisa meminta Ayah menolong kita."
Ucapan itu sukses membuat Lenard menoleh ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya. Menggelengkan kepalanya, Lenard menggenggam jemari lentik Cassandra yang selalu mengusap surainya dengan lembut, "Itu akan menghabiskan energimu."
"Demi anak kita Lenard." Cassandra menumpukkan lagi sebelah jemarinya menutup jemari suaminya yang sedikit gemetar.
"Aku tak mau kehilanganmu, Cas."
Cassandra menggelengkan kepalanya dan menatap dalam suaminya itu, "Tak akan ada yang kehilangan. Gavriil bisa membagi energinya kepadaku. Bukan begitu, Pangeran?"
Berikan aku 🌟
Salam
Putri Mataram