"Mimpi maho.."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Lo ngapain?"
Gue noleh kebelakang, dimana saat ini Justine lagi natap gue.
"Oh.. Ini, gue lagi lipat origami."
Justine lalu duduk di sofa tepat di hadapan gue, dan dia ikutan ambil selembar kertas origami bewarna kuning itu.
"Bentuknya?" tanyanya sambil natap gue.
"Bangau.."
Justine mengangguk-ngangguk.
Di luar hujan masih deras, sangat deras malahan.
"Justin, lo lapar?"
Gue melihat Justine melipat kertas origami tersebut.
"Tidak. Kenapa lo bertanya?"
"Bukannya tadi lo mau di temenin makan? Itu berarti lo lapar kan?"
Justine mengusap tekuk belakang lehernya lagi, matanya masih fokus dengan kertas origami yang dia lipat itu.
"Tadinya.. Sekarang tidak."
Wuanjerr..
Gue merasa bersalah coba, tadi pasti dia berharap gue nemenin dia makan. Tau-tau malah gue pehapein.
Anjir lo jadi cowok nen.
Gue berdehem, dan beranjak dari duduk gue.
Gue menuju ke dapur, membuka kulkas. Ada beberapa makanan didalamnya. Tapi..
Yah gitu..
Gue engga tau gimana caranya masak!!
"Eh, lo ngapain disitu?"
Bang Coli datang dan negur gue.
"Gue mau masak."
Bang coli natap heran gue, dan beberapa menit kemudian ketawanya pecah.
"Pftttt! Buahaha! Lo? Lo mau masak? Ga salah dengar nih kuping gue?"
Anjerr lah.. Gue diejek sama abang sendiri.
"Emang kalo gue ga tau kenapa? Marah? Hah?! Lo itu sebagai abang peka dong! Adeknya tidak tau masak malah di ketawain! Bukannya di bantu."
Bang Coli seketika kicep.
"gue jadi abang lo kok serba salah mulu ya?"
bang Coli kemudian ngedorong mundur tubuh gue, "biar gue yang buatin makanan. Suruh temen lo itu makan disini saja."
Gue mengangguk mantap "gitu kek dari tadi, malah ketawa dulu." gue pun pergi ninggalin bang Coli dengan kompor gas.
Gue kembali lagi ke ruang tengah, dan gue melihat bang Geryl lagi berbincang sama Justine. Gue merasa mereka lagi bicarain hal yang seru, soalnya bang Geryl setiap bicara pasti ketawa, Justine juga kadang tersenyum.
Gue pun menghampiri keduanya, dan keduanya terdiam di saat gue muncul.
"Kok malah diam?" tanya gue sambil natap bang Geryl.
"Kan sudah selesai pembicaraannya." jawab bang Geryl yang buat gue naikin sebelah alis karena bingung.
Bang Geryl beranjak dari duduknya dan tersenyum pada Justine "tolong ya justine," dan bang Geryl pun pergi.
Maksudnya apaan coba minta tolong sama orang asing?
Gue natap Justine, sebaliknya pun begitu.
"Abang gue ga macam-macam kan sama lo?"
Justine mengangguk. "Dia menarik. Gue berharap bisa punya kakak kayak dia."
Gue mengangguk, memangnya kakaknya Justine seperti apa? Sampai-sampai dia tertarik sama abang gue.
Yah..
Sebodo amatlah, gue ga peduli.
"Just, seragam sekolah lo mana?"
Justine natap gue, dan gue tau tatapan itu tatapan dengan kode—'emang lo mau apain seragam gue?'
Gue hela napas.
"Gue mau cuci."
"Tidak kotor."
"Tapi bau."
"Gausah, gue pulang kalo hujan sudah berhenti."
"Iya, gue tau lo memang bakal pulang kalo hujan berenti, tapi setidaknya gue mau cuci seragam lo."
"Kok lo ngotot gitu mau cuci seragam gue?"
Iya juga ya, kok gue ngotot banget mau nyuciin seragamnya?
Gue kalo kayak gini sudah seperti budaknya!
Anjerr..
"Y-ya.. Ya.. Gue cuma mau cuci, sebagai permintaan maaf."
Justine ngasih gue ekspresi bingung lagi.
Anjerr lah..
"Minta maaf buat apa?" Justine bertanya
"Gara-gara batalin janji lo." Gue jawab
Justine terdiam, beberapa menit kemudian dia ber-ohh ria.
"Gimana kalo Permintaan maafnya gausah nyuci baju gue?"
Gue melongo.
Mpus gue, pasti nih berandalan mau jadiin gue tukang suruh-suruhnya, padahal saat ini gue lagi jadi pembantunya si Shuu kampret itu. Kalo di tambah Justine, bisa double combo mampusnya gue.
Yang bisa gue lakuin sekarang, pasrah..
Tapi gue bukan tipe orang yang gampang menyerah njing!
"Emang nyuci seragam lo ga pantas sebagai permintaan maaf?"
Ga mungkinlah gue bilang kayak itu, bagaimana pun berandalan tetaplah berandalan. Dan gue tetaplah takut.
"Yah.. Terserah lo sih.."
Gue sempat melihat Justine tersenyum.
"Wekend nanti temenin gue. Gaada alasan apapun. Lo nolak, gue lakuin sesuatu yang sadis ke lo"
Gulp!
Gue di ancam gaes..
Sama berandalan lagi..
Gue takut!
"Hehe.. O..oke.."
Gue mundurin langkah gue, dan cepat-cepat menghilang dari hadapannya.
Jadi begini ya rasanya di ancam sama berandalan.
Lain waktu, gue gamau berurusan sama yang namanya berandalan!
.
.
.
.
.
.
.
.
Di luar masih hujan, malah deras lagi.
Jam juga sudah menunjukkan pukul 9 malam. Justine bahkan masih terdiam duduk sambil lipat origami, dia sudah makan tadi. Pas bang coli selesai masak gue cepat-cepat nyuruh dia makan duluan.
Gue dari pertama nyuri start.
"Justine.. Mungkin lebih baik kamu bermalam saja disini dulu." kata bang Geryl, gue sempat cengo. Justinenya cuma ngasih ekspresi datar.
"Tidurnya dikamar nen saja." kata bang Geryl lagi, yang tambah buat gue cengo!
"Are you kidding me?" heran gue. Tapi dengan suara kecil.
"Nen, antar Justine kekamar lo." perintah bang Numero.
Tapi bang..
Kamar adek lo ini kecil!
Tapi, ga sopan juga kalo nyuruh dia tidur di ruang tengah.
Gue mengangguk, dan beralih natap Justine.
"Ayo ikut gue."
Justine mengangguk dan beranjak dari duduknya.
Tidur bareng berandalan, kok gue merasa takut ya?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Jadi.. Gue tidur di kasur lo?" Justine bertanya, dan gue mengangguk. "Terus lo tidurnya gimana?"
Gue tidurnya di lantailah!
Kalo tidur bareng lo, mana cukup elah..
Ini pertama kalinya seseorang tidur di kasur gue, sepanjang hidup gue. Temen maupun sepupu selalu tidur di ruang tengah, tapi ini Justine.. Malah tidur di kasur gue.
Bukan keinginan gue, tapi..
Ah sudahlah..
"Gapapa, tamu adalah raja ingat?" kata Gue, dan dia terdiam natap gue.
"Tapi lo tuan rumah."
"Lo ta—"
"Tidurnya bareng gue saja nenra, gue ga bakal apa-apain lo."
....
Gusti..
Ini cobaan apa lagi?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tangan gue di genggam erat oleh seseorang, samar-samar gue ga bisa liat wajahnya. Siluetnya hitam, dan gue bingung ngapain nih cowok genggam tangan gue.
Gue kemudian ngerasa pinggang gue di peluk, gue menoleh kesamping. Dimana seorang cowok juga, tapi gue ga bisa liat wajahnya.
Ada 2 cowok yang lagi genggam gue.
Ini maksudnya apaan coba?
"Ini memang aneh.. Tapi.. Gue selalu kehilangan akal kalo berada di dekat lo, nenra."
Deg!
I-ini kan.. Suaranya justine!
"Lo—"
Tiba-tiba gue di tarik kedalam pelukan seseorang, gue gatau siapa. Tapi aroma parfumenya sangat familiar di hidung gue.
"Gue lebih suka lo tersiksa dengan tangan gue.. Dari pada orang lain.. Nenra"
Deg!
Suara justine..
Gue noleh keatas, ternyata yang peluk gue saat ini. Justine.
Justine..
Tapi, kok dia nangis?
Gue tiba-tiba ngerasa bibir gue menyentuh sesuatu yang basah dan kenyal.
Tu-tunggu!!
Woi! Ini justine ci-cium gue!?
"Ah!"
Spontan Gue bangun dari tempat tidur dan mendapati diri gue terengah-engah, bahu gue gemetar hebat.
kepala gue sakit, dan mata gue terasa seperti berputar.
Gue melihat sekeliling, di luar masih gelap. Dan Justine, tertidur lelap di samping gue.
Ngeliat Justine seperti ini, membuat gue ingat dengan mimpi yang barusan.
Apa sekarang gue maho?
Masa iya gue mimpi berciuman sama Justine?
Gue yakin, ini cuma ilusi. Gue yakin banget.
Mata gue kemudian natap seragam Justine, gue hampiri seragamnya dan cek.
Mana ada seragam bersih kayak gini? Nih anak kemarin kayaknya main di lumpur deh. Buktinya seragam osisnya ada bercak cokelat.
Gue cuci saja ah.. Lagian gue masih tetap bersalah sama dia.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
•sampai di sekolah jam 07:02•
Semalam..
Benar-benar hal yang tidak terduga, gue mimpi aneh. Tapi yang lebih anehnya, gue merasa itu kayak nyata.
Masa iya Justine nyium gue, gue ini cowok ingat, gue berbatang!
Baiklah, Perasaan gue sekarang tercampur aduk.
"Lo gapapa?" Justine bertanya, dan gue respon dengan anggukan..
Jadi, tadi pagi itu..
Gue perginya barengan sama Justine, dia yang maksa. Jadi gue ikut saja, kebetulan geratis.
Iya gue tau gue orangnya ga bermodal, geratis mulu di pikirannya.
Gue cuma manusia biasa juga.
Ga sempurna kayak Tuhan.
"Wajah lo pucat, lo ga sarapan tadi?"
Justine bertanya lagi, dan gue responnya dengan anggukan.
"Gue gapapa."
"Yakin lo?"
"Iya justine.." kata Gue sambil natap dia, dan ternyata wajahnya begitu dekat dengan wajah gue. Buru-buru gue memalingkan wajah gue ke arah lain.
"Ohya.. Terimakasih ya."
"Buat apaan?"
Tangan besar Justine itu menepuk pucuk kepala gue dan mengelusnya dengan lembut.
"Buat segalanya semalam."
Gue natap dia. Dia tersenyum dan pamit pergi.
Gue melongo, dan merepeat ulang kalimatnya barusan.
Buat segalanya semalam.
Emang semalam gue apain dia?
"Oi pedo!" Evan nyapa gue, dan gue respon dengan tatapan bosan.
"Apaan lo manggil gue?"
"Itu sapaan pedo."
"Bodo amat."
"Lo.. Makin hari makin dekat ya sama justine, lo ga di apa-apain sama dia kan?" tanya Evan yang buat gue mengerutkan kening.
"Engga, emang kenapa kalo gue dekat sama dia?"
Evan menggaruk rambutnya dan natap gue dengan gusar "lo tau kan, dia itu berandalan?"
Gue ngangguk. "Terus kenapa?"
"Lu ga papa? Lu gak di gebukin kan?" si Evan khawatir.
Tumben nih anak khawatir.
"Gak tuh. Emang dia kenapa?"
"Dia itu Kejam banget! Itu waktu pawainya anak kelas 3 tahun lalu, anak kelas 1 malah gebukin kelas 3. Bahkan ada yang berdarah!" si Evan ngejelasin
"Anak kelas satu?" bingung gue.
"Iya, anak kelas satu. Kelasnya si Justine, kelas 1-D itu."
"Kok bisa? Pasti ada salahnya tuh sampe main gebukin gitu." gue komentar.
"Mana gue tau ada salahnya atau tidak. Yang namanya preman, selalu nyari masalah duluan nenen."
Gue ber-ohh ria.
"Emang waktu pawainya anak kelas 3 lo dimana? Semua murid disini ikutan nonton aksi gebukin waktu itu." si Evan bertanya.
Gue dimana ya waktu itu?
Gue bahkan baru denger ada masalah kek gitu.
Tapi..
Gue sih ga peduli, karena gue..
Sudah takut duluan sebelum Evan nyeritain.
Ponsel gue berbunyi, ada yang ngirim gue chat.
Gue liat.
Ternyata itu shuu
Mau apa lagi nih bocah recehan.
Shuu: Lo datang ke toilet pria sekarang.
Etdah.. Perintah baru lagi ini ceritanya?
*bersambung•