Chapter 5 - Luka

"AAGGHHhhhaa,AAAUuughhhhhuuUU."

Tendangan demi tendangan ia terima, begitupun juga dengan pukulan-pukulan yang terbang ke arah wajahnya. Kesakitan akan luka yang ia terima, Hadasa berteriak kesakitan karenanya.

"UUUuuuggGGHAAAAA,uuuuUUUGhakk."

Tendangan dari para preman itu lalu sampai pada bagian tengah perut Hadasa, kaki preman itu lalu tertahan pada perutnya karena mencoba untuk menginjak perut dari tubuh yang lemah itu dengan keras.

Tidak ada yang menolongnya, ia hanya sendirian di balik semua luka itu.

Singkat cerita para preman itu pun pergi dari tempat kejadian perkara dan meninggalkan Hadasa sendirian di gang yang sempit itu.

Dengan kesadaran yang melemah, dirinya menangis meratapi langit dengan mengulurkan tangan kanannya menghadap langit yang luas itu.

Pakaiannya sangat berantakan sekarang, penuh dengan kotoran dan lecet dimana-mana.

Terlihat jika matanya sekarang ini sudah bengkak berwarna biru, sepertinya hal ini dikarenakan pukulan yang ia terima langsung di wajahnya sebelumnya.

Dirinya lalu batuk-batuk sambil menghadap langit di atasnya.

Memang sekarang ini 'Luka' tidak terlihat karena ia memakai pakaian yang menutupi tubuhnya, tapi jika ia melepas pakaiannya sekarang mungkin kita bisa melihat luka-luka yang ia punya sekarang ini.

Perlahan-lahan tangan kanannya jatuh, mulutnya lalu terbuka karena hal itu.

Tangan kanannya pun jatuh seperti sebuah bola yang jatuh dari ketinggian. Mungkin karena tubuhnya kelelahan atau kesakitan, Hadasa pun akhirnya pingsan di gang kecil itu.

'Luka'

Langit sekarang ini sangat terang, cahaya bisa dilihat oleh semua orang saat ini.

Sederhananya hanya seperti hari-hari biasa pada umumnya di dunia lain.

Tapi cahaya yang ada di langit itu tidak menyinari gang kecil tempat dimana Hadasa terbaring lemas. Hal ini sepertinya dikarenakan bangunan-bangunan yang menutupi cahaya dari langit yang terang itu.

Matanya perlahan terbuka, Hadasa lalu membuka kedua matanya yang bonyok itu secara perlahan-lahan.

Menyadari jika dirinya ternyata sudah pingsan selama ini, Hadasa pun bangun dari tanah dan berjalan menuju sudut gang sambil mengambil kantung plastiknya.

Sepertinya para preman itu tidak mengambil barang-barang Hadasa seperti kantung plastik yang ia bawa dikarenakan mereka sepertinya merasa kasihan karena melihat Hadasa yang babak belur dikarenakan ulah mereka sendiri.

Hadasa pun berjalan dan mengambil kantung plastik nya, dirinya pun berhenti sebentar karena sepertinya ia sedang memutuskan mengenai apa hal yang harus ia lakukan selanjutnya dengan menutupi matanya yang sedang melihat cahaya dari langit yang terang.

Perlahan-lahan dirinya lalu berjalan, berjalan sempoyongan menuju ke sudut gang yang ia tempati sekarang ini.

Disaat sudah sampai Hadasa pun duduk di sudut gang itu, dirinya pun duduk bersender ke dinding salah satu bangunan yang ada di sana.

Duduk lemas sambil bersandar pada dinding, Hadasa lalu mengecek isi dari kantung plastiknya.

Dirinya dibuat agak terkejut karena sepertinya para preman yang memukulinya itu tidak mengambil satupun barang yang ia miliki, berpikir karena sepertinya para preman itu kasihan padanya, dirinya lalu menghela nafas dan berkata,

"...Sepertinya, akulah yang salah ya..."

Mengatakan hal seperti itu, Hadasa lalu mengarahkan pandangannya ke arah bawah seolah-olah dirinya sedang meratapi suatu hal.

Pandangan yang menyedihkan, pancaran kehidupan dari matanya yang bersifat innocent itu benar-benar kosong.

Benar, dirinya memasang sepasang mata kosong seperti orang-orang yang tidak memiliki kehidupan saja.

Mengingat jika dirinya mempunyai suatu hal yang penting di kantung celananya, Hadasa lalu mengambil suatu benda yang ada di kantung celananya.

Benar, seperti yang kalian duga. Benda yang ia ambil itu adalah sebuah Cellphone, benda yang sepertinya tidak terlalu berguna pada jaman sekarang ini karena seharusnya semua orang sekarang ini sudah memiliki produk yang lebih baru bernama Smartphone.

Mengambil Cellphone miliknya yang berada di bagian kanan kantung celananya dengan tangan kanannya, Hadasa lalu membuka Cellphone yang ia sedang pegang itu.

Ia membuka Cellphone miliknya, ia lalu pergi ke bagian halaman 'kontak' yang berisi kontak-kontak yang ia miliki.

Orang pertama pun ia telfon, menunggu jawaban dari orang yang ia panggil, Hadasa meletakkan Cellphone itu pada area di dekat telinga kanannya.

Menunjukkan wajah khawatir sekaligus serius, Hadasa lalu meletakkan jari jempol tangan kirinya ke dalam mulutnya yang kering.

Tidak menunjukkan respon apapun, Hadasa lalu terkejut akan hal itu. Dengan cepat ia memanggil kontak lain yang ada di Cellphonenya.

"Halo...?! Kumohon jawab...!"

"Siapapun.....!!!"

"Ayolah.....Ayolah.....!!!!"

"....Kumohon jawab aku..."

Terdengar suara ringtone jika suatu panggilan telah diakhiri, sepertinya itu adalah suara Cellphone Hadasa yang telah ia matikan dengan tangannya sendiri.

Mematikan panggilan yang ia buat sendiri, Hadasa lalu menutup Cellphone-nya dan menaruhnya kembali ke kantung celananya.

Perlahan-lahan air mata keluar dari kedua matanya, tidak ada suara tangisan. Hanya terdengar suara seperti orang yang berusaha untuk tidak menangis.

Dengan kedua tangannya, ia lalu berusaha untuk menutupi wajahnya dengan siku tangannya bersamaan dengan kedua kakinya.

Meskipun ia menangis, dirinya tetap berusaha untuk menghentikan tangisan yang memalukan itu.

"Berhentilah bodoh!"

"Kenapa kau malah menangis, dasar si cengeng sialan!"

Mengatakan hal-hal yang akan menyakiti dirinya sendiri, dengan wajah seriusnya Hadasa menguatkan dirinya untuk berhenti menangis seperti anak kecil yang cengeng.

"Aku bilang BERHENTI sialan...!"

"...Ayolah sudah kubilang untuk berhenti..."

Memukul tanah yang ia duduki dengan tangan kanannya, Hadasa melakukan hal itu untuk menguatkan dirinya yang lemah.

Singkat cerita, akhirnya redalah air mata yang membanjiri wajah yang innocent itu.

Kepalanya sudah lumayan tenang sekarang, sudah tidak ada lagi air mata yang keluar dari kedua mata yang ber-alis aneh itu.

Dengan kedua kakinya, Hadasa pun berdiri dengan bantuan kedua tangannya.

Ia lalu mengambil kantung plastik yang berada di sampingnya dengan tangan kirinya, merasa jika ia tidak terlalu bagus dengan tangan kiri, Hadasa pun memindahkan kantung plastiknya ke tangan kanannya.

Hadasa lalu berjalan, berjalan keluar dari gang kecil, tempat dimana ia digebuki oleh tiga preman yang baru saja ia temui sebelumnya.

Berjalan keluar dari sana, Hadasa lalu mengelilingi desa yang cukup besar menurutnya ini.

Dikarenakan ia tidak punya tempat tujuan, maka dari itu dirinya hanya berkeliling-keliling tidak jelas saja.

Singkat cerita, Hadasa sekarang ini sedang berada di belakang bangunan desa Aru.

Bukan bermaksud untuk mencuri, tapi Hadasa ingin memakai keran air yang ada di dekat bangunan itu.

Perlahan ia lalu berjalan menuju keran air yang ada di sana. Saat sudah sampai ia lalu menaruh kantung plastiknya di dekat keran air tempat itu.

Selesai menaruh kantung plastik miliknya itu, dengan salah satu tangannya, Hadasa lalu menghidupkan keran air yang ingin ia pakai itu dengan cara memutar ( Apalah gatau saya namanya ).

Air pun keluar, Hadasa pun lalu membersihkan kedua tangannya sampai bersih. Perlahan-lahan ia bersihkan kedua tangannya itu dengan air.

Agar lengan bajunya tidak basah, Hadasa pun menggulung lengan bajunya satu persatu.

Setelah membersihkan kedua tangannya, Hadasa lalu bertujuan untuk membersihkan wajahnya yang kotor bersama dengan luka yang ada di wajahnya itu.

Perlahan-lahan ia bersihkan mata yang menurutnya kotor itu dengan kedua tangannya, ternyata saat ia melihat ke kaca yang ada di atas keran yang sedang ia pakai itu.

Hadasa menyadari jika ternyata terdapat luka di matanya sehingga membuat mata kanannya bengkak dan berwarna biru, ia lalu beranggapan jika luka itu adalah hasil yang pantas ia terima dikarenakan perbuatannya sendiri meskipun ia masih kesal dengan para preman itu.

Ia lalu memegang matanya yang terluka dengan tangan kanannya, perlahan-lahan ia sentuh bagian matanya yang bengkak itu.

"Ah serem."

"Aku harap ini tidak bakal menjadi luka yang permanen. Yah, jika ini bakalan jadi luka permanen, itu artinya aku akan jadi-."

"...ADUH! Sakit-sakit-sakit."

Merasa kesakitan jika menyentuh matanya yang terluka itu terlalu lama, Hadasa lalu bersikap latah seperti orang biasa pada umumnya.

"Pa--padahal tadi gak sakit, kok tiba-tiba malah sakit sih?!"

Mengeluh karena rasa sakit yang tiba-tiba ia terima, Hadasa merasa jika moodnya yang hilang itu telah kembali seperti semula.

"Aku merasa jika mood-ku sudah kembali normal..."

Dengan sigap ia lalu mengenggam tangan kanannya dengan erat, merasa jika dirinya sekarang ini sudah kembali normal.

"Yah, event-event seperti ini terkadang memang terjadi sih. Jadi apa boleh buat kan?"

"Aku hanya perlu mengikuti alur cerita yang sudah diberikan, maka dari itu aku akan dapat Happy End! Yah, sudah pasti begitu."

Mengangguk karena merasa percaya diri akan hal-hal yang akan ia hadapi berikutnya, Hadasa lalu kembali seperti dirinya yang biasanya.

Dengan sebuah senyuman di wajahnya yang penuh dengan luka itu, Hadasa lalu berpose dengan menunjuk jempol tangan kanannya ke arah dirinya sendiri.

Namun dari kejauhan, ehh sebenarnya Author bingung ini dari kejauhan atau dari kedekatan wkwk.

Seseorang memanggil dirinya, seorang pria berbadan besar memanggil Hadasa yang sedang membersihkan dirinya dengan keran air yang ada di sana.

"Hei, siapa kau?"

To Be Continued