"Aaach ... MAS ALVIIIIIN!!" teriak Audia tiba-tiba.
Jelang malam, mereka berdua sedang duduk-duduk santai, seraya menonton acara memasak dari televisi kabel—fasilitas cottage yang mereka sewa. Alvin yang merasa haus, kemudian beranjak dari sofa di depan televisi menuju dapur yang letaknya tidak jauh dari situ.
Audia, yang duduk sendirian di ruangan itu, tiba-tiba mendengar suara tokek yang nyaring bunyinya. Seketika itu pula ia lantas berteriak.
TOKKEEEK! TOKKEEEK! TOKKEEEK!
"MAS ALVIIIIIN ... huhuhu ...," panggilnya lagi. Audia mulai menangis tersedu.
Alvin yang sudah mendengar teriakan Audia pada kali pertama, langsung berlari menghampiri, seraya bertanya, "Ada apa, Di?" Dilihatnya sang istri berdiri di atas sofa dengan muka pucat pasi.
"Huhuhu ... tadi ... ada ... suara ... tokek. Didi takut!" jelasnya terbata-bata, masih bergeming dari tempatnya.
"Di mana?"
Tak lama suara itu pun terdengar lagi.
TOKKEEEK! TOKKEEEK! TOKKEEEK!
"Ituuuuu ... ituuuuuu suaranya!!" ucap Audia histeris, seraya mengibas-ngibaskan tangannya. "Tolong usirin, Mas. Didi takut." Alvin dengan sigap menarik tubuh istrinya agar turun dari sofa dan membawanya ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkannya.
Tak lama, terdengar lagi suara tokek tersebut.
TOKKEEEK! TOKKEEEK! TOKKEEEK!
Alvin lantas mengambil tombak yang memang disediakan di cottage itu. Mengikuti arah datangnya suara itu. Dengan isyarat jari telunjuk menyentuh bibirnya, menyuruh Audia diam. Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Tanpa suara, ada sekelebat bayangan melewati Alvin dari balik televisi. Tokek itu lari menuju Audia yang langsung naik kembali ke atas sofa sambil berteriak.
"Kyaaaaaa ... kyaaaaa ... KYAAAAA ... MAS ALVIIIIIIIIIN!! DIDI TAKUT TOKEK!!"
Alvin mengejar tokek itu hingga keluar, di taman kecil di dalam cottage. Akhirnya, sang tokek berhasil dikalahkan Alvin. Alvin kembali masuk.
"Turun, Sayang," bujuk Alvin, sebelah tangannya terulur untuk diraih Audia, beberapa saat setelah berhasil mengalahkan sang tokek, yang telah membuat Audia ketakutan.
"Tokeknya dah pergi? Dah mati?" tanya Audia. Mukanya masih pucat pasi.
"Udah mati, kok. Makanya udah turun, yuk," jawab Alvin, kini ia mengulurkan kedua tangannya.
Audia pun turun dari sofa, dan langsung memeluk Alvin erat. Tiba-tiba Alvin merasakan tubuh Audia bergetar dan bajunya mendadak basah.
"Didi, kamu nangis?" tanya Alvin, menahan tawa, tidak ingin istrinya merajuk karena ditertawakan. Membiarkannya beberapa saat menangis dalam pelukannya, memberinya rasa nyaman.
"Kita lanjut nonton, atau mau ke kamar aja?" tanya Alvin, mencoba membuat Audia tidak lagi ketakutan.
"Gendong," ucap Audia manja.
"Lho? Udah gede, kok, minta gendong, sih," goda Alvin.
"Mas Alvin, igh, Didi lemes tau! Gak bisa jalan. Gak kuat," jawab Audia masih dengan manjanya.
Tanpa peringatan, Alvin langsung menggendong Audia ke kamar mereka. Alvin keluar kembali, untuk mematikan televisi. Saat kembali, dilihatnya Audia telah tertidur pulas. Ntah karena lelah, atau yang lainnya, Audia cepat sekali tertidur malam ini. Diselimutinya sang istri, dan dikecup bibirnya yang merah. Alvin pun merebahkan tubuhnya di samping Audia, ikut tertidur sambil memeluk istrinya.
***
Jelang subuh ....
"Aaaaaach ...." Audia berteriak, sambil berusaha melepaskan tangan besar yang memeluk pinggangnya. "Lepasin ... lepasin," ucapnya sambil terengah.
Alvin membuka matanya sedikit, mulai terbiasa dengan teriakan Audia di pagi dini hari seperti ini. Bukannya melepaskan pelukannya, Alvin menyengaja mengeratkan pelukannya. Merapatkan tubuhnya, menopangkan dagunya pada bahu Audia.
"Sayang ...," ucap Alvin lirih. "Ssst ... tenang, ya. Ini aku, suami kamu," lanjutnya. Perlahan, dirasakannya Audia mulai tenang. Diam. Napasnya terdengar mulai teratur.
Alvin kemudian bangun dan berpindah tempat, agar bisa berhadapan dengan istrinya. Menangkup kedua pipinya, kemudian bertanya, "Audia, kamu kenapa?"
Audia terdiam. Sorot matanya kosong. Tidak ada yang berbicara di antara mereka selama satu menit.
Tiba-tiba, Audia menjatuhkan tubuhnya di dada Alvin, memeluknya, dan mulai menangis.
"Didi, bingung, Mas. Maaf," ucap Audia lirih.
Alvin balas memeluk istrinya, kemudian mencium keningnya. "Kita pelan-pelan cari tahu, ya?" ucap Alvin akhirnya.
"Kita salat dulu, dan bersiap-siap mengejar matahari terbit, okay?" ujar Alvin yang diangguki Audia.
***
Selepas salat, Audia dan Alvin bersiap-siap, mengenakan jaketnya. Memakan sedikit kudapan, yang kemarin mereka bawa. Membawa kamera dan alas tikar kecil, kemudian langsung keluar cottage menuju pantai.
Audia dan Alvin berjalan bersisian, di sepanjang pesisir pantai yang masih lengang, tangan mereka saling bertautan selama menyusuri tepi pantai.
Suara angin dan deburan ombak bergemuruh, bersahutan, memenuhi atmosfer di pagi buta. Satu-satunya cahaya, adalah dari lampu jalan yang dipasang di setiap beberapa meter dari jalan setapak, tak jauh dari cottage. Hawa dingin yang menusuk tulang, andai mereka tidak mengenakan jaketnya.
Tiba-tiba rasa hangat menjalar dari jari-jemari Audia ke dalam relung hatinya. Ntah perasaan apakah itu.
Perasaan yang sepertinya pernah singgah, dahulu, jauh sebelumnya. Namun, Audia masih belum memahami perasaan itu. Yang Audia ketahui hari ini, dia mulai mengagumi sosok suaminya, sekaligus dosen pengganti di kampusnya, dan jangan lupakan satu hal, Alvin juga adalah pewaris tunggal perusahaan real estate Mandala Hutomo Tbk.
Meski demikian, Audia berpikir, Alvin lebih cocok menjadi seorang fotografer profesional, dengan senjata andalan—kamera pro melingkar di lehernya, berkelana mencari objek menarik untuk diabadikannya, seperti sudah terbiasa dengan beban kamera itu.
Audia sudah melihat beberapa foto hasil jepretan suaminya. Semuanya tampak indah dan mengagumkan. Memiliki kesan kuat pada karakter dirinya dalam foto-foto itu. Misterius. Mistis. Magis. Dia jatuh cinta, dengan semua foto yang Alvin tunjukan padanya. Mungkinkah rasa cinta itu telah hadir di hati Audia? Sehingga semua menjadi tampak indah?
Langkah Alvin tiba-tiba terhenti. Membuat Audia tertegun.
"Kita ke atas sana, ya?" ujar Alvin, seraya menunjuk tebing di depan mereka. "Spotnya bagus buat ambil sunrise," lanjutnya yang diangguki Audia.
Alvin melangkahkan kakinya, setapak demi setapak, dan dengan hati-hati membantu Audia untuk menaiki tebing, meski tidak terlalu tinggi, namun suasana remang-remang membuat Audia kesulitan menjejakan kakinya.
Tiba di atas tebing, Alvin menghamparkan alas untuk mereka duduk, meletakkan kameranya di sebelahnya, kemudian menanti sang mentari menampakan sinarnya. Direngkuhnya tubuh sang istri. Saling memberi kehangatan. Perlahan Audia menyandarkan kepalanya di bahu Alvin. Menatap hamparan lautan luas yang terbentang di hadapannya. Ombak bergulung-gulung, sesekali menyapa tebing tempat mereka bercengkerama, kemudian terurai, menghasilkan melodi yang indah.
Tiba-tiba Audia merasakan sesuatu yang lembut, hangat, dan basah menyentuh pipinya. Membuatnya menoleh, dan melihat Alvin menatapnya seraya tersenyum.
"I love you," bisiknya. Audia hanya membalas senyuman suaminya. Membuat Alvin gemas.
"I said, I love you, honey," ulang Alvin. Audia menjawabnya dengan tertawa.
"Hei, jawab dong. Masa malah ketawa, sih," Alvin makin gemas dibuatnya. Tanpa malu-malu Alvin menghujani wajah istrinya dengan kecupan-kecupan, membuat Audia tergelak.
"Mas Alvin, geli, ampun, ampun," ucap Audia di sela tawanya.
Perlahan seberkas sinar mulai terpancar dari ufuk timur. Langit tampak merona merah dan oranye khas arunika, yang disebabkan oleh penyebaran sinar matahari oleh partikel debu, partikel kecil, aerosol padat lainnya, dan aerosol cair di atmosfer bumi.
Arunika atau matahari terbit adalah peristiwa di mana sisi teratas matahari muncul di atas horizon di sebelah timur. Matahari terbit tidak sama dengan fajar, di mana langit mulai terang, beberapa waktu sebelum matahari muncul, mengakhiri twilight (peristiwa cahaya matahari terlihat mulai akhir senja hingga fajar).
Alvin berhenti menggoda istrinya dan mulai menyiapkan kameranya, mengabadikan salah satu fenomena alam itu.
Audia sendiri, menikmati pemandangan itu, dengan perasaan takjub. Perlahan seperti mendapat kilasan akan sesuatu, peristiwa yang pernah terjadi di masa lalunya. Namun, ia tidak bisa mengingatnya.
Tanpa disadari Audia, Alvin mengabadikan pemandangan di sampingnya. Wanita yang kini telah menjadi istrinya, dan ia mencintainya, menatap arunika di ufuk timur.
"Cantik," ujarnya lirih. Namun, masih bisa terdengar oleh netra Audia, karena itu, dia menoleh dan tersenyum.
Senyum yang ntah terasa tidak asing di benak Alvin. Senyum yang dahulu pernah ia lihat.
***