Ruby masih bergeming tak merespon ibunya. Tak lama kemudian ia bergumam, "Sudah jam 22.00. Aku harus berangkat sekarang!" Ia segera berdiri dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut.
Tiba-tiba Emmy merasakan tangannya menggantung di udara. Tidak ada lagi rambut halus putrinya yang tadi ia belai. Sekarang hanya ada udara kosong.
Emmy segera menarik tangannya kembali, dengan pelan ia bertanya, "Kau mau berangkat kemana? Ini sudah malam, tidak baik anak gadis keluar rumah sendirian."
Emmy sangat khawatir kepada Ruby. Apalagi tidak ada Juan yang selalu menjaganya. Bagaimana ia bisa tenang memihat putrinya keluar sendirian, malam hari seperti?
"Aku harus pergi ke klub malam, sekarang! Ada hal yang harus aku selesaikan disana." Ruby menjawab dengan singkat, tanpa menjelaskan apapun lagi kepada Emmy.
Jelas saja, Emmy sangat terkejut mendengar jawaban dari Ruby. Apa yang akan Ruby lakukan?
"Pergi ke klub malam?" Emmy berjalan menghampir Ruby, yang kini sudah berada di depan pintu keluar. "Apa yang akan kau lakukan disana? Apa kau akan menjual diri? Hah?"
Emmy sedikit emosi mendengar putrinya akan pergi ke klub malam, bahkan ada urusan yang harus dia selesaikan disana? Urusan apa itu?
"Mama tidak perlu tahu!" Ruby mengabaikan Emmy. Ia masih tidak berniat untuk menjelaskannya kepada Emmy.
Ketika Ruby akan membuka pintu, tiba-tiba ada sebuah tamparan yang melayang tepat ke arah wajahnya dan mendarat dengan sempurna di pipinya.
Plak! Suara itu terdengar sangat jelas.
Ruby terkejut, tanpa sadar memalingkan muka karena tekanan dari tangan Emmy begitu kuat di jawahnya.
Ruby meraba pipi kirinya yang terasa panas dan berdenyut. Ia mengangkat kepala untuk menatap Emmy.
"Mama? Ka-kau ... menamparku?" Ruby tidak percaya Emmy akan menamparnya.
Selama ini Emmy begitu memanjannya. Jangankan untuk menampar, memukul pun Emmy belum pernah melakukannya.
Tapi sekarang ....?
Melihat wajah Ruby yang mulai membengkak, Emmy segera tersadar dari tindakannya. Dengan gugup ia mengangkat tangan untuk menyentuh wajah Ruby.
"Sayang! Maafkan Mama! Mama tidak seng___" ucapannya tiba-tiba terhenti.
Belum sempat tangannya menyentuh wajah Ruby, terlihat Ruby membuka pintu rumah dan keluar dengan tergesa-gesa. Bahkan tidak membiarkan Emmy menyelesaikan ucapannya.
Ruby berjalan dengan cepat keluar dari rumah. Satu tangan masih menyentuh pipinya yang semakin terasa panas dan tangan satunya lagi membuka pintu gerbang rumahnya.
"Ruby berhenti! Mama bilang, berhenti! Mama melarang kau pergi, Ruby!"
Ruby sama sekali tidak menghiraukan peringatan dari Emmy. Ia tetap melanjutkan langkahnya, pergi semain jauh meninggalkan rumah, Emmy dan suara teriakannya.
*** ***
Dengan perasaan yang semakin tidak menentu dan rasa sakit di pipinya, Ruby terus membawa kakinya langkah demi langkah menembus gelapnya malam tanpa menghiraukan apapun.
Ruby melangkah terus hingga sampailah di jalan raya yang mulai terlihat ramai. Ia segera menghentikan taksi. Ia masih menutup satu pipinya dengan satu tangan, tidak ingin ada orang lain yang melihat wajanya yang kini mulai terlihat merah dan sedikit bengkak.
Ketika taksi berhenti di depannya, ia segera masuk ke dalam mobil dan mulai duduk di kursi belakang sambil menyandarkan tubuhnya disana.
"Ke Jln Calle Marques de falces." Ruby berkata dengan lelah.
Dirinya memang sangat lelah terus berjalan menempuh jarak ratusan meter dari rumah ke pinggir jalan raya, membuat tubuhnya kini terasa lemas tak berdaya.
Ia mulai memejamkan mata. Mencoba untuk beristirahat sejenak sebelum dirinya sampai ke Jln Calle Marques de falces.
Jarak dari sini ke sana cukup jauh, dirinya bisa beristirahat agar nanti tidak terlihat lelah ketika berhadapan dengan wanita yang bernama Vanetta, sang pemilik cawan yang telah ia pecahkan kemarin malam.
Keadaan di dalam mobil terasa hening dan sepi, sang supir taksi pun begitu mengerti keadaan Ruby, dia tidak menyalakan musik apapun, membuat Ruby bisa istirahat dengat nyaman.
"Vanetta ...Vanetta! Bukankah kupu-kupu itupun bernama Vanetta?"
"Tante cantik, mengapa putri Vanetta berubah menjadi kupu-kupu? Agar dia bisa terbang mengelilingi dunia untuk mencari dayang-dayangnya?"
"Tante, ketika aku besar nanti, aku ingin seperti putri Vanetta, berubah menjadi kupu-kupu cantik, bisa terbang mengelilingi dunia dan membawa mama pergi bersamaku."
"Aku ingin membawa mama terbang menjauh dari papa. Aku tidak ingin melihat mama menangis karena papa. Aku ingin___"
"Nona, kita sudah sampai." Suara sang supir terdengar sangat jelas.
"Hah?" Tiba-tiba Ruby membuka matanya. "Apa aku tadi bermimpi?" ia bergumam pelan.
Ruby merasakan jantungnya berdetak dengan sangat cepat ketika mengingat tentang mimpinya tadi. Mimpi itu tentang kejadian di masa kecilnya dulu, ketika dirinya baru berusia 4 tahun.
Tapi mengapa kejadian itu hadir di dalam mimpinya lagi?
"Kita sudah sampai, Nona!" Supir taksi itu kembali berkata.
"Oh, ya. Baik!" Ruby segera tersadar dari lamunannya.
Setelah membayar ongkos taksi, ia keluar dari dalam mobil dan berterimakasih kepada supir taksi. Setelah itu, terlihat taksi itu pergi menjauh meninggalkan dirinya disana.
Untungnya, ketika berhenti, supir taksi menghentikan kendaraannya tepat di depan pintu masuk klub Luz Del Alba. Jadi Ruby tidak perlu lagi mencari tempat yang diminta oleh sang nenek.
Hari semakin malam, tanpa membuang waktunya lagi Ruby segera masuk ke dalam klub. Ia harus mencari seseorang yang bernama Vanetta disini, meminta maaf kepada wanita itu karena dirinya telah memecahkan cawan penasannya yang dibuat oleh sang nenek.
"Oke, semangat, Ruby!" ucap Ruby menyemangati dirinya sendiri.