"Tangga darurat atau lift? Pikirkan baik-baik!" Setelah mengatakan nya, Zayyad kembali menekuni dokumen di tangannya. Alina yang melihat itu, bibirnya terus mengerucut. Mau di pikir berapa kali pun ia tak akan memilih di antara kedua hal itu. Tapi tidak mungkin kan ia bermalam di tempat ini lagi?
"Aku sudah memikirkannya nya!" Kata Alina. Ia menoleh pada pria itu, yang tampak sangat serius. Dahinya sama sekali tidak berkerut, tapi sorot matanya yang sedang membaca itu, tajam dan teliti. Alina tanpa sadar terpesona oleh pemandangan itu. 'Aku baru tau, seorang pria dapat begitu menarik di saat serius'
Itu adalah kali pertama baginya, memperhatikan seorang pria, sampai begitu terpikat. Itu karena ia tidak pernah menaruh perhatian pada pria manapun sebelumnya.
Masa mudanya ia lewati tanpa jatuh hati pada lelaki manapun. Ia tidak punya 'cinta monyet' dan tidak tertarik terlibat di dalamnya. Dulu ia belum begitu membenci pria, hanya saja ia takut terhubung dengan mereka. Sampai ketika ia dewasa, kejadian dirinya, yang hampir di lecehkan oleh pria tua yang merupakan suami nenek nya. Membuat nya sadar. Ia harus menjadi pribadi yang kuat, bukan wanita lemah yang penakut. Dengan begitu ia tidak akan mudah tertindas oleh pria manapun lagi.
Dan 'kebencian' yang ia miliki dalam dirinya, Seperti tameng dan senjata. Membuat nya tergerak untuk melakukan hal-hal yang dapat ia gunakan untuk perlindungan diri. Salah satunya ia pernah mengikuti club taekwondo. Itu akan sangat berguna jika ia berhadapan dengan para bajingan di luar sana.
"Aku tidak akan memilih antara keduanya" Tegas Alina.
Zayyad menutup dokumen di tangannya. Mengambil gagang telpon perusahaan, ia meletakkan di bawah telinganya. Lalu jari-jarinya mulai menekan tombol-tombol. Ia menelpon seseorang.
Alina yang melihat itu terdiam beberapa saat. Pria ini mengacuhkannya? Beberapa saat tangannya terkepal meredam amarah.
"Saya sudah membacanya dan menemukan beberapa kesalahan. Itu ada pada kesepakatan kerjasama, ada kesalahan dalam pembahasan tentang pembagian hasil. Bisa tolong datang ke ruangan---"
Talian terputus!
Entah sejak kapan Alina berdiri di depan meja dan merebut gagang telpon dari tangan Zayyad.
Puk! Alina meletakkan telpon itu ke tempatnya.
"Apa yang kau lakukan? Aku belum selesai berbicara"
"Aku juga belum! Tadi aku sedang berbicara padamu, tapi apa yang kau lakukan? Kau mengabaikan ku!" Gerutu Alina, kesal.
Zayyad memijit pelipisnya. Sepertinya ia tidak akan tenang bekerja jika wanita ini masih belum meninggalkan tempat ini.
"Kau merasa terganggu?"
Zayyad mendongak ke arah Alina. Lalu ia mengangguk kan kepalanya. Sangat terganggu!
"Kalau begitu pikirkan cara! Bagaimana aku bisa kebawah tanpa harus menggunakan lift atau tangga darurat"
Zayyad memutar bola matanya. Pertanyaan itu tidak realistis sama sekali. Bukankah wanita itu tahu jelas? Hanya dua hal itu yang dapat di gunakan. "Kau ingin aku mendatangkan helikopter kemari untuk mengambil mu?"
"Boleh juga!"
"Bahkan anak konglomerat belum tentu melakukannya" Zayyad tidak akan mengira Alina akan menganggap ide konyol itu serius.
"Jadi untuk apa juga kau bertanya?"
Rahang Zayyad mengeras. Ia berusaha keras untuk tidak terbawa emosi. Meskipun berhadapan dengan wanita ini, sangat mudah membuat tensi darahnya naik.
"Ayo pergi! Aku akan menemani mu turun" Zayyad berdiri, membereskan barang-barang nya di meja bersiap untuk keluar.
"Kau serius? Kau bahkan tidak cukup mampu menangani ketakutan mu sendiri, tapi ingin menemani ku?"
Langkah Zayyad yang mencapai pintu, terhenti. Ia menoleh kebelakang. Menemukan tatapan meremehkan wanita itu. Ada rasa asam yang menusuk hatinya. "Kalau begitu aku akan menelpon Bakri untuk menemani mu turun!"
"Tidak!"
"Lalu kau mau apa?" Zayyad sudah di penghujung akhir kesabarannya.
"Aku akan menggunakan tangga darurat saja!"
"Kenapa tidak dari tadi?"
•••
Setelah berlari menuruni ribuan anak tangga. Akhirnya Alina sudah mencapai di tangga lantai kesepuluh. Melirik arloji di tangannya, itu sudah jam dua belas lewat. Sepertinya tiga puluh menit lebih telah ia habiskan hanya untuk menuruni ribuan anak tangga tadi. Rasanya ia akan mati lemas. Ini sudah di lantai kesepuluh dan dia harus menuruni beberapa anak tangga lagi.
"Ah! Rasanya aku akan mati karena kelelahan" Alina memilih berhenti sebentar dan duduk di atas anak tangga.
"Hah..hahh.." Deru nafasnya yang kelelahan. Keringat sudah membasahi sekujur tubuhnya. Kedua kakinya sudah berdenyut dan terasa pegal. Sepertinya malam ini ia akan menemukan keduanya bengkak.
"Ini kali terakhir aku mendatangi tempat ini!" Gerutu Alina sambil memukul besi yang merupakan pegangan tangga. Mengeluarkan ponselnya dari tas tangan, ia lupa kalau belum mengisi daya.
"Ah! Aku tidak sanggup lagi" Alina meluruskan kakinya, kemudian tangannya memijit kedua betisnya pelan.
"Padahal aku ingin merayakan skor tidur tercepat ku semalam! Karena aku dapat terlelap cukup awal daripada biasanya. Tapi jika begini, apanya yang harus dirayakan? huh.."
Setelah merasa lebih baik. Alina perlahan bangun. Kakinya pun kembali bergerak cepat menuruni ribuan anak tangga. Hingga lantai demi lantai ia lewati. Sesekali ia berhenti untuk mengatur nafas. Menstabilkan detak jantungnya yang sudah tak beraturan. Lalu ia lanjut turun lagi. Sampai pada akhirnya ia mencapai di lantai terakhir.
Detik itu ia nyaris hampir mati lemas. Kakinya nya seakan kehilangan tenaga untuk berjalan, nyaris akan roboh.
"Anda baik-baik saja Bu?" Bakri mendatangi Alina yang hampir saja jatuh mencium lantai.
"Saya baik-baik saja!" Alina mengambil langkah jauh kebelakang untuk menghindar. Ia tidak senang menerima bantuan atau kebaikan dari seorang pria manapun. Mungkin Zayyad adalah pengecualian. Karena pria itu tidak cukup normal!
Alina pun pergi meninggalkan perusahaan. Di luar sudah ada supir yang dikirim Zayyad untuk membawanya pulang ke vila. Alina dengan langkah tertatih-tatih, masuk kedalam mobil. Menghembuskan nafasnya, ia menyandarkan kepalanya ke jendela mobil.
"Berkemudi lebih cepat! Saya ingin segera pulang dan istirahat"
"Baik Bu!"
Mobil pun bergerak cepat menuju vila. Alina sesaat tertidur karena lelah. Tapi ia segera terbangun ketika mobil berhenti. Membuka matanya, ia melihat bangunan besar yang asri serta pagar yang menjulang tinggi menyambut pandangannya.
"Kita sudah sampai Bu!"
"Em!" Alina mengangguk lemah.
Membuka pintu mobil, ia melangkah turun. Di dalam vila, tubuh tua neneknya yang ringkih menyambut kedatangannya di ruang tamu. Wanita tua itu memperhatikan tubuhnya dari atas kebawah, tangan nya terus mengusap lengannya lembut.
"Alin baik-baik saja?" Mata tuanya terlihat sangat khawatir.
Sebenarnya Alina ingin sekali mengatakan, rasanya ia akan mati karena lelah sekarang! Tapi ia menahannya. Melihat keadaan neneknya, ia tidak tega membuat khawatir. "Aku baik-baik saja!" Ia melebarkan senyumnya, berusaha menutupi rasa lelahnya.
"Kenapa punggung Alin basah sekali?"
"Ah, itu karena aku tidak berani naik lift jadi terpaksa menggunakan tangga darurat"
"Ayo duduk!" Wanita tua itu membawanya duduk di sofa. "Pasti kau sangat lelah! Biarkan nenek memijit kakimu."
"Nenek itu tidak perlu! Aku hanya menuruni beberapa anak tangga" Jelas ia sedang berbohong, tapi ia terpaksa melakukannya. "Ini bukan kali pertama untuk ku! Bukankah dulu aku sering seperti ini" Sebelum Alina cukup berani menggunakan lift. Ia selalu menggunakan tangga darurat. Meskipun tangga darurat yang ia gunakan kali ini adalah pemecah rekor terbanyak dari tangga-tangga yang pernah ia gunakan dulu.
"Jadi anggaplah hari ini aku sudah membakar sedikit lemak di tubuh ku"
"Kalau begitu sebentar! Nenek akan mengambil kan mu air"
"Nenek tidak perlu!" Alina segera meraih pergelangan tangan wanita tua itu, menghentikan nya. Lalu matanya tanpa sengaja melihat kulit tuanya yang keriput sudah dipenuhi dengan ruam-ruam.
"Kenapa banyak sekali ruam di kulit nenek?"
•••