Baru saja beberapa hari berlalu setelah hari pernikahannya, tapi Alina sudah merasa sangat bosan. Ia bangun, makan dan tidur lagi. Sangat bertolak belakang dengan rutinitasnya sebelum ia menikah.
Sebagai seorang wanita yang sudah memiliki tekad untuk tidak menikah, ia tentunya harus sibuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Tapi ia tidak pernah mengira, kelak akan menikah dengan seorang bos besar perusahaan dan menjadi nyonya besar yang tidak perlu melakukan apa-apa. Cukup duduk santai dan menikmati hidup. Meskipun kehidupan seperti ini adalah dambaan setiap orang, tapi tidak untuknya.
Ia seorang wanita yang mencintai pekerjaan dan kesibukan. Kehidupan seperti ini hanya akan membuatnya mati karena kebosanan.
"Huft! Aku merindukan suasana kelas dan murid-murid ku" Katanya, sambil meletakkan gelas yang sudah ditenggaknya habis di atas meja.
"Berapa hari lagi aku harus hidup membosankan seperti ini?" Keluh nya, lalu ia membaringkan kepalanya di atas meja. Wajahnya yang cantik, terlihat tidak bersemangat.
"Aku ingin sekali mengajar!" Gumamnya sambil mengerucutkan bibirnya.
"Berapa materi yang sudah tertinggal karena cuti ku ini?" Ia menatap piring yang sudah kosong, bekas roti bakar keju yang baru dilahap nya tadi. Sedangkan pikirannya mengembara jauh, mencoba mengingat beberapa materi dari bahan ajarnya yang tertinggal karena masa cutinya.
"Haruskah aku mencari guru pengganti untuk mereka sampai masa cuti ku habis?" Gumamnya lagi, di sela-sela mengingat.
"Ah! Bukankah aku sudah melakukannya?" Karena cutinya mendadak diperpanjang, ia sudah menyerahkan beberapa materi dari bahan ajarnya pada Maya untuk diserahkan kepada pihak sekolah agar menyiapkan guru pengganti selama masa cutinya itu.
"Baik!" Alina mendadak duduk tegak dan tangannya memukul meja. "Aku sudah memutuskan" Katanya tegas dan bersemangat.
"Aku akan kembali ke kota Z hari ini dan mulai mengajar lagi besoknya"
Karena keputusan yang sudah bulat itu. Pada malam harinya, Alina sudah berada di kota Z. Sebenarnya ia merasa berat untuk pergi karena mengingat kondisi neneknya. Tapi ia tidak mungkin terus tinggal di sana dan hidup sebagai nyonya besar. Itu bukanlah kehidupannya.
Tapi mengingat beberapa hari ini Zayyad memperlakukan mereka sangat baik, ia merasa yakin kalau neneknya aman sementara tinggal dengan pria itu. Walau begitu, bukan berarti ia sudah mempercayai Zayyad sepenuhnya. Hanya saja dengan rahasia besar pria itu yang ada di tangannya, pria itu pasti tidak akan bertindak macam-macam.
Terakhir, membujuk neneknya agar membolehkan nya pergi, bukanlah mudah dilakukan.
Bukan main sulitnya ketika ia meminta izin pada nenek nya untuk membiarkan nya kembali ke kota Z untuk mengajar. Di samping itu adalah kewajiban nya sebagai guru, tapi mengajar juga adalah profesi yang sangat disenanginya.
Terakhir neneknya membolehkan dengan syarat meminta izin pada Zayyad terlebih dulu. Alina mengiyakan saja padahal dalam hati mana mau ia melakukannya.
Keluar dari stasiun kereta api. Alina melihat Maya yang sudah datang untuk menjemput nya. Melambaikan tangannya, ia berteriak memanggil namanya.
"Maya"
Maya berbalik dan langsung berlari kearahnya. Mereka pun saling berpelukan. Berjalan keluar dari stasiun bersama. Alina melihat Maya mengambil motornya dan mengajak nya naik.
"Sudah makan malam?"
Alina naik keatas motor dan menggeleng. Karenanya Maya membawanya pergi ke salah satu restoran yang ada di pusat kota Z.
Restoran itu tidak terlalu besar. Katanya menjual makanan lokal yang terbilang lezat. Mereka pun bergegas masuk kedalam dan menemukan tempat itu sesak oleh pengunjung.
Setelah menemukan tempat yang kosong. Mereka duduk. Seorang pelayan pun datang untuk mencatat pesanan.
"Samakan saja dengan mu"
Kata Alina yang menolak untuk memesan. Jika tidak, ia tak dapat menahan lidahnya untuk memesan semua makanan kesukaannya. Sedangkan saat ini ia harus menghemat uang untuk biaya pengobatan neneknya. Meskipun Zayyad bersedia menanggung biaya pengobatan neneknya, tetap saja Alina menganggap itu adalah hutang yang harus ia lunasi.
Maya yang mendengar hal itu terus memesan seadanya kepada pelayan. Setelah pelayan pergi, Maya tidak mampu menahannya lagi, terus bertanya pada Alina.
"Bagaimana kehidupan rumah tangga mu?"
Maya tampak sangat antusias. Karena membicarakan nya secara langsung jauh lebih menyenangkan daripada lewat telpon.
"Yah, biasa saja!"
Mendengar respon acuh tak acuh dari Alina. Segera ekspektasi Maya rusak. mengkerut kan bibirnya ia mencibir.
"Huh, kamu ini tidak seru sama sekali"
Alina hanya tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya itu. Sampai tak lama kemudian pesanan mereka tiba.
Ketika mereka saling menikmati makanan mereka. Maya yang masih sangat penasaran, lidahnya dengan gatal bertanya lagi.
"Kamu... tidak akan membenci suami mu sendiri, bukan?"
Alina menyeruput minumannya, mendengar pertanyaan Maya ia hanya berkedik bahu acuh tak acuh dan kembali makan.
"Lalu kamu kembali sekarang untuk memundurkan diri?"
Tanya Maya yang masih saja belum menyerah. Kali ini Alina berhenti makan dan memandang Maya dengan lekat.
"Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?"
"Alina.. suamimu seorang CEO perusahaan besar. Dengan posisi mu sebagai istrinya, untuk apa lagi bekerja? Ah, aku sungguh iri pada mu"
Alina memandang beberapa detik pada Maya dan menunduk pada piring makanan nya. Bibirnya meringkuk sedikit tersenyum dingin.
"Aku bisa saja memanfaatkan nya tapi bukan berarti aku bergantung padanya"
Setelahnya Alina kembali makan. Maya yang mendengar itu merajut sepasang alisnya. Dengan jawaban itu akhirnya ia jelas tau. Bahkan Alina membenci suaminya sendiri.
Tapi apakah itu ia akan melampiaskan dendam nya itu pada suaminya?
___
Zayyad yang sengaja lembur untuk menghindari makan malam keluarga. Baru saja pulang dari kantor dengan mengendarai mobil nya sendiri. Ia terbiasa tidak menggunakan supir. Hanya pada saat-saat tertentu dan biasa ia memilih Bakri.
Sesampai di vila beberapa koki masak sudah pulang. Tepat ketika ia melangkah ke ruang tamu. Ia melihat neneknya Alina sudah duduk di sana seperti sedang menunggu seseorang.
"Zayyad kau sudah pulang?"
Tanya wanita tua itu lembut padanya. Mata tuanya tampak cerah dan lemah bersamaan.
"Um"
"Apakah Alina sudah memberitahu mu?"
Pertanyaan ini membuat sepasang alisnya tertaut. Seharian ini ia sama sekali tidak memiliki komunikasi apapun dengan Alina. Jadi memberi tahu apa yang dimaksud dengan wanita tua itu.
Zayyad dengan tenang menggeleng kan kepalanya.
"Anak itu! Bukannya sudah ku katakan untuk memberi tahu mu"
Sebenarnya Zayyad menolak untuk bertanya. Tapi karena tak sanggup menahan rasa penasarannya, ia pun bertanya.
"Memang nya apa itu?"
"Ia kembali ke kota Z hari ini untuk bekerja. Bisakah kau membujuk nya untuk berhenti kerja di sana? Aku sudah tua, tapi ia masih tega membuatku kesepian disini"
Mendengar itu, Zayyad tidak tahu harus menjawab apa. Gadis yang keras kepala seperti Alina bagaimana begitu mudah untuk di bujuk.
Menolak untuk merespon apapun lagi, Zayyad bersiap pergi hanya untuk menemukan wanita tua itu berbicara lagi padanya.
"Aku tau ketakutan mu terhadap wanita. Tapi ku harap Alina dapat menyembuhkan nya. Dan bolehkah aku memohon sesuatu padamu?"
Erina memilin pakaiannya dan merasa gugup. Mengingat sikap acuh tak acuh Zayyad pada hari itu saat di rumah sakit dan sikapnya yang masih menjaga jarak dengannya sampai saat ini. Ia merasa ragu untuk memohon hal seperti ini padanya.
"Apa itu?"
"Maukah kau menjadi suami Alina selama-lamanya sampai akhir hayat mu?" Tanya Erina, terdengar pelan dan ragu. "Melindungi nya dan membahagiakan nya?" Lanjutnya, meskipun dalam hati ia sangat takut Zayyad akan menolak permohonannya itu.
Setelah beberapa saat, Zayyad hanya diam.
Erina merasa semakin gugup setelah mengatakan permohonan nya tadi. Apakah terlalu berlebihan meminta hal seperti itu pada Zayyad yang belum tentu mencintai cucunya? Tapi ia tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran nya dalam hati. Ia takut Alina bersedia menikah dengan Zayyad hanya karena untuk menyenangkan hatinya.
Bagaimana jika ia tiada nanti, apakah mungkin cucunya itu akan menuntut perceraian?
Hal yang sama pun pastinya juga akan terjadi pada Zayyad yang menikah hanya untuk menyapu rumor buruk tentang nya.
Apakah mungkin suatu hari nanti Zayyad akan menceraikan Alina setelah semua pencapaian nya?
"Tenang saja! Meskipun aku seorang gynophobic, tapi dalam hal pernikahan aku memiliki prinsip. Jika aku sudah memutuskan menikah maka itu adalah yang terakhir"
Mendengar pernyataan Zayyad yang sangat memuaskan, Erina tidak dapat menahan rasa haru di hatinya.
"Dan sekalipun aku tidak dapat menyentuh nya, tapi aku bersedia memberikan dunia ku untuk nya. Bukankah itu cukup?"
Kali ini mata tua Erina sudah berkaca-kaca. Ia mengangguk berkali-kali merasa sangat puas dan bahagia dalam hati nya.
Pada akhirnya ia berhasil memilih pria yang tepat untuk Alina. Yang diharapkan kelak dapat membuat cucunya itu tertawa dan bahagia. Melupakan segala penderitaan dan kebencian nya di masa lalunya.
Setelah mengatakan hal itu Zayyad sudah pergi ke lantai atas.
Dan Erina berkata dengan dirinya sendiri.
"Tapi aku berdo'a semoga kelak kalian sama-sama dapat melupakan luka masa lalu dan dapat saling menerima satu sama lain"
Air matanya jatuh meluncuri kedua belah pipinya yang keriput.
"Aku yakin hari itu akan tiba, sekalipun pada saat itu mungkin aku sudah tidak ada lagi bersama kalian"
Zayyad yang sudah tiba kamar merebahkan dirinya di atas ranjang. Melempar dasinya secara acak, ia begitu malas mengganti baju. Beberapa hari ini, ia merasa sudah kehilangan hak milik atas ranjangnya sendiri. Tapi kepergian wanita itu, membuatnya dapat dengan bebas menguasainya lagi.
Memejamkan matanya, ia memijit pelipisnya yang terasa pusing. Entah bagaimana ia merasa kosong dan hampa dalam hatinya. Melihat keadaan kamar yang sunyi, tidak ada pergerakan seseorang di dalamnya dan hilangnya aroma mawar yang akhir-akhir ini mendominasi kamar minimalis nya.
Ia tidak tau bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini, hanya saja itu bukan sesuatu yang dapat ia senangi.
"Ada apa ini?" Gumamnya.
Bukankah seharusnya ia merasa senang karena wanita itu tidak ada disini untuk menggangu tidurnya?
Tapi kenapa ia merasa kehilangan?
___