"Kenapa baru pulang jam segini? Jangan seperti anak kelayapan kamu mau bertindak seenaknya. Sana masuk dan menyiapkan bahan untuk penjualan toko besok." Tak ada yang bisa Pelita ucapkan selain berjalan masuk kedalam rumah. Menuju kamar untuk membersihkan diri kemudian lanjut shalat Isya setelahnya melangkah ke dapur menyiapkan adonan kue.
Seseorang yang menyapanya tadi adalah ibu asuhnya, perempuan tangguh dengan tampang galaknya dan saat ini sudah berumur 40 tahun, masih sedikit muda memang. Pelita mulai mengaduk adonan kue yang akan dijual di toko kecil mereka. Tepatnya didepan rumah, cukup banyak peminatnya.
"Kenapa lambat pulang?" tanya Hanum, ibu Pelita.
"Tadi tinggal di pinggir pantai dulu, Bu." jawabnya jujur.
"Ngapain kamu disana? Lagi nyari keong? Kemana si Git itu kenapa engga nganterin kamu pulang?" kegiatan Pelita terhenti, ia mendongak menatap ibunya. Rambut yang diikat acak, wajah garang serta dastar yang warnanya sudah memudar.
"Kami sudah selesai,Bu." jawabnya dengan suara pelan, bayangan saat Git memutuskannya kembali terulang. Tapi Pelita menggeleng pelan, tidak ada gunanya menangisi masa lalu mending dirinya fokus membantu ibunya dan dunia kuliahnya.
"Laki-laki memang sama saja, tidak pernah cukup sama satu perempuan. Ibu sudah lama bilang sama kamu jangan punya hubungan apapun sama laki-laki tapi kamu ngeyel katanya Git itu beda, lihat sekarang! Sama saja." Hanum memang sudah lama menyuruh Pelita putus, karena dimatanya semua laki-laki itu sama, hanya datang lalu pergi setelahnya.
"Iya Bu, Pelita minta maaf." akan lebih baik baginya mempersingkat keadaan saja, jika boleh jujur Pelita tidak ingin membahas terlalu jauh karena sejak dulu ibunya memang sangat membenci kaum laki-laki, sangat sangat sangat membencinya.
"Ibu bukannya mau batasin pergaulan kamu, tapi ada baiknya kamu dengerin ibu yang sudah bertahun-tahun punya pengalaman. Kamu itu masih baru jangan ketipu cuman karena salah satu kaum laki-laki bilang Cinta." Peringatnya, Hanum duduk di kursi tepat didepan Pelita. Menaikkan kaki kanannya di kursi, khas preman kampung.
"Iya Bu, lain kali Pelita engga akan salah langkah lagi. Apapun yang ibu bilang pasti Pelita dengarkan, Maaf ya bu karena kemarin Pelita malah mengabaikan perkataan ibu." Hanum hanya mengangguk sebagai respon, ia membalikkan gelas kemudian menuangkan air putih, meminumnya dengan terburu-buru.
"Ibu mau ke warung beli bahan, sepertinya kamu kekurangan bahan karena kita terakhir beli itu 3 hari yang lalu. Kue tadi pagi cepat habis karena bu Rt borong semua, ada acara keluarga katanya." setelah mengucapkan hal itu Hanum berlalu, meninggalkan Pelita sendiri di dapur.
Pelita menatap nanar kepergian perempuan tangguh sebagai malaikat penolongnya meskipun sikap Hanum yang bar-bar dan layaknya preman kampung tapi perempuan yang selalu ia panggil dengan sebutan 'ibu' itu memperlakukannya dengan baik.
"... Aku bersyukur karena Allah memperlihatkan sikap aslimu padaku sebelum kita naik ke jenjang lebih serius."
Ucapan Git kembali terulang dalam ingatan Pelita, seribu pertanyaan datang tanpa henti dalam benaknya. 5 tahun bukan waktu singkat melewati kebersamaan tetapi dengan mudahnya Git mengatakan padanya hal seperti itu. Hanya karena kedatangan perempuan masa lalunya segala kebenaran menghilang tergantikan dengan kefanaan akan Cinta.
Ingatan Pelita kembali kemasa lalu, dimana pertemuan pertamanya dengan Hanum. Terasa menegangkan tetapi keduanya berhasil selamat meskipun sampai saat ini semua orang mengira jika Hanum telah meninggal sejak belasan tahun lalu.
Flashback on.
"Tante siapa?" perempuan dengan pakaian lusuhnya, rambut terikat satu, terdapat tindik ditelinga, serta celana jeans yang robek di lutut. Itulah yang ada dalam penglihatan seorang anak 7 tahun yang sedang menggenggam boneka beruang kecil.
"Ush! Jangan berisik. Sini! Kita sembunyi." Dengan raut bingungnya anak kecil berumur 7 tahun itu mendekat, ia ikut berjongkok dengan perempuan berandal itu.
"Kita lagi main petak umpet ya Tante?" dengan pandangan waspada perempuan itu hanya mengangguk pelan.
"Kemana perempuan itu? Kita harus membunuhnya sebelum sampai kerumahnya."
"Kita harus melenyapkannya. Karena kalau sampai dia sampai kerumahnya maka habis kita."
Anak 7 tahun itu menatap intens perempuan yang sedang menatap kedepan, saat ini mereka berdua sedang berada di antara tumpukan sampah, berusaha semaksimal mungkin tidak terlihat.
"Tante cantik." ujarnya Ceria tentunya dengan suara yang cukup jelas membuat sang berandal geram tapi berusaha sabar. Dengan pelan ia menggengam tangan anak itu kemudian berjalan keluar dari tempat persembunyiannya.
"Itu dia."
Keduanya berlari, berusaha semaksimal mungkin mengindari dua laki-laki berbadan besar yang sedang mengejar di belakang sana.
"Tante... Aku capek." perempuan itu berdecak malas, tapi berusaha tetap berlari. Jika dirinya melepaskan anak ini maka bisa saja suruhan orang itu akan menjadikan anak ini sandra dan tentunya bumerang untuknya.
Matanya menatap laut lepas dibawah sana, kemudian menoleh kebelakang kedua orang suruhan itu semakin dekat. Setelahnya menunduk, anak ini juga sudah sangat lelah berlari. Dengan segala tekad yang ada ia menggendong anak kecil tersebut kemudian berlari secepat mungkin. Lompat kebawah tepatnya menjatuhkan dirinya dan anak kecil itu ke lautan lepas.
"Mereka bunuh diri?" tanya laki-laki dengan pakaian hitamnya.
"Mungkin, coba kau lihat. Boneka anak itu ada dibawah sedang mengapung." jawab laki-laki dengan pakaian hitam berpadu coklat.
"Yaudah yuk balik, perempuan itu sudah mati." keduanya berbalik pergi meninggalkan tepi jurang itu.
Sedang dibawah sana anak kecil tadi berusaha menahan isak tangisnya. Hanya bisa memejamkan matanya erat. Sedang perempuan tadi berusaha naik kembali keatas setelah bersembunyi diantara bebatuan. Sebelah tangannya sesekali memegang anak kecil yang memeluknya erat layaknya anak koala dan sebelahnya lagi berusaha kuat menahan beban.
Setelah 20 menit berjuang akhirnya keduanya telah naik keatas dengan resiko tangan perempuan itu berdarah karena tajamnya bebatuan.
"Capek banget. Hei anak kecil! Nama kamu siapa?" tanyanya sembari mendudukkan dirinya di rumput. Tempatnya saat ini sedang berada ditempat paling terpencil sekaligus tempat pembuangan sampah, tak jauh dari tempat pembuangan sampah terdapat jurang dimana lautan dibawahnya.
"Malah diam. Hei! Gue nanya! Nama kamu siapa?" tak ada jawaban, anak kecil itu hanya tetunduk dengan tangisan kecilnya.
"Mama papa kamu mana?" tanyanya sembari berdiri, ia mendekatkan diri pada anak kecil itu.
"Disana... Mobilnya nabrak pohon. Mereka tidak mau bangun." perempuan itu mengerutkan keningnya, jadi orang tua anak ini kecelakaan?
"Siapa nama kamu?" ulangnya.
"Pelita."
"Okey Pelita. Mari kita melihat dimana orang tuamu berada."
"Nama Tante siapa?"
"Hanum." setelah mengucapkan hal itu, Hanum meraih tangan mungil Pelita. Keduanya berjalan kearah jalanan yang Pelita tunjukkan tadi.
"Kita harus membuat ini benar-benar kecelakaan bukan kerusakan rem yang disengaja."
Hanum berhenti melangkah, memilih mundur dan membawa Pelita sembunyi dengannya. Matanya menatap lambang bunga Mawar dimobil tersebut dan Hanum sangat yakin orang tua Pelita adalah keluarga sangat terpandang.
"Anaknya tidak ada disini." beritahu seseorang.
"Biarkan saja, asalkan keduanya meninggal itu sudah lebih dari cukup." beberapa menit kemudian kumpulan orang itu pergi.
"Kamu tinggal sama gue aja." putusnya sepihak.
"Tapi mama papa?"
"Udah. Jangan peduliin mereka, yang pertama adalah panggil gue Ibu dan selanjutnya mari kita cari tempat tinggal."
Flashback off.
Jika saat itu Pelita tidak memahami keadaan meskipun sudah berumur 7 tahun tapi sekarang Pelita paham jika yang terjadi saat itu adalah kesengajaan. Orangtuanya meninggal karena suruhan seseorang. Sejak saat itu sampai sekarang Pelita tidak pernah pulang kerumahnya karena cukup Hanum bersamanya itu sudah hal luar biasa.
"Saat bertemu denganmu aku berharap kamu memberikan aku warna Git, bisa memberikan aku sebuah kebenaran serta memperlihatkan pada ibu jika laki-laki itu tidaklah semuanya sama tapi apa yang kamu lakukan hari ini malah semakin membenarkan apa yang ibu yakini. Yaitu semua laki-laki itu sama datang memberikan kenyamanan setelahnya pergi saat bosan." lirihnya.
Pelita memang tidak terlalu cantik, hanya saja senyumnya yang tampak manis adalah nilai plusnya. Rambut lurus yang tentunya banyak diidamkan sebagian perempuan, alis tebal serta kulit yang tidak terlalu putih. Mata agak sedikit sipit. Banyak yang bilang Pelita itu cantik tapi mungkin mantan Git jauh lebih cantik.
Mulai sekarang ia harus memulai hari tanpa Git lagi, untungnya ia dan Git tidak satu kampus jadi tidak perlu sesak saat bertemu. Git hanyalah masa lalu yang harus segera dilupakan jika tidak akan menjadi luka secara bertahap.
***
See you next bab.