Chereads / Alunan Nada Pelita / Chapter 4 - 3 - Tak Ingin Mengerti

Chapter 4 - 3 - Tak Ingin Mengerti

"Tadi di kampus ada dosen baru Bu." beritahunya sambari mengaduk adonan kue.

"Perempuan atau laki-laki?" tanya Hanum

"Laki-laki Bu, dia sepertinya seumuran dengan ibu,Masih muda." Hanum menghentikan kegiatannya.

"Memangnya ibu masih muda? Sudah masuk 40'an ini mah." Pelita tertawa kecil, senakal apapun ibunya menurut para tetangga tetapi menurut Pelita ibunya adalah yang terbaik, yang selalu memberikan kebahagiaan untuknya sebagaimana pun keras kepalanya Pelita.

"Namanya Haiden Prakoso, ibu." Hanum mematung mendengar nama itu, tidak mungkin dia kan? Setelah belasan tahun berlalu tidak mungkin mereka kembali lagi di kehidupannya?

"Besok kita pindah daerah ya Pelita, mengenai kuliah kamu mungkin bis-"

"Bu, ibu kenapa? Pak Haiden engga gangguin Pelita kok di kampus dia orangnya baik dan ramah." Hanum menggeleng pelan, bukan karena orang itu jahat hanya saja Hanum belum siap bertemu dengan semua orang. Apalagi ada Pelita bersama-nya semua orang pasti akan menuduhnya tidak-tidak.

"Selesaikan kue-nya, ibu mau ke kamar dulu." Pelita hanya mengangguk sedangkan Hanum telah berlalu. Ingatan Pelita kembali ke kejadian tadi pagi saat Kak Leo mengundangnya.

"Gimana? Mau kan?" Pelita dapat melihat besarnya harapan di mata Kak Leo tapi sayangnya Pelita tidak ingin memberikan peluang pada siapapun untuk menyakitinya lagi.

"Maaf kak, malam ini aku harus bantu ibu membuat kue." jawabnya, binar harap dimata Leo langsung menghilang dengan kekecewaan.

"Pacar kamu pasti marah ya kalau kamu datang, maaf sekali. Kalau begitu aku permisi maaf Pelita menganggu waktumu." Pelita tau saat ini ia sudah mematahkan hati seseorang sebelum dia berjuang, hanya saja Pelita tidak ingin menerima orang baru saat perasaannya masih tertuju pada satu nama.

"Kami sudah selesai Kak, aku permisi." setelah mengucapkan kata itu Pelita berlalu tanpa Pelita ketahui dibelakang sana Leo tersenyum senang bukan lagi penutup kekecewaan kali ini dia benar-benar senang, kesempatannya untuk memiliki Pelita sudah didepan sana.

"Kenapa kamu tidak menerima undangan kak Leo?" tanya Jez setelah keduanya berjalan terlalu jauh dari posisi tadi.

"Menerimanya? Lalu membuat ibu marah? Semalam ibu sudah memperingatiku dengan keras untuk tidak berdekatan lagi dengan laki-laki. Jika aku menerimanya maka sama saja aku memberikan kesempatan untuk kak Leo untuk mendekat sedangkan sampai saat ini aku belum bisa menampik jika perasaanku masih untuk Git." jelasnya pelan, takutnya ucapannya terdengar oleh teman-teman yang lain.

"Apasih yang kamu suka dari si Git itu? Mata keranjang dan engga pernah cukup sama satu perempuan. Mending kamu lupain dia aja ya Lit! Banyak laki-laki yang ingin mendekati kamu tapi ya gitu, kamu terus aja menjaga jarak. Git engga pantes dapat perempuan seperti kamu." Pelita hanya tersenyum singkat mendengar ucapan temannya itu.

"Perasaan siapa yang tau Jez? Andaikan aku bisa memilih maka aku sangat ingin menghapus Git dalam ingatanku dan tak lagi berada dalam bayang-bayang pikiranku. Capek Jez! Setiap saat harus menepis rindu sekaligus benci di waktu yang sama. Mungkin sekarang dia sudah bahagia dengan perempuan lain." ujarnya lirih, Pelita sangat lemah jika semuanya sudah menyangkut tentang Git.

"Bukan engga bisa tapi kamu aja yang terus berharap dia kembali Lit, coba kamu buka hati untuk laki-laki lain pasti kamu akan melupakan dia." Pelita berhenti melangkah, ia menoleh menatap Jez dengan senyum lembutnya.

"Gampang memberikan saran Jez, sangat gampang. Tetapi untuk merealisasikannya-lah yang susah. Kamu tidak akan mengerti jika tidak merasakannya sendiri." senyumnya tak luntur, Pelita memilih melanjutkan langkahnya meninggalkan Jez yang masih mematung.

Pelita lelah, jika boleh ia ingin meminta pada tuhan untuk menghentikan segala hal yang ditakdirkan padanya. Pelita akan terus menerus memohon untuk hal ini, hatinya lelah mencintai seseorang plin plan dan tidak punya pendirian seperti Git. Bolehkah Pelita memilih siapa yang harusnya ia cintai sepanjang hidupnya? Hingga tidak dihakimi dan dianggap lemah oleh sebagian orang?

"Kamu punya bukti Pelita? Seorang perempuan bisa berubah menjadi sosok lain disaat mereka sedang patah hati. Dan saat ini kamu sedang patah hati..."

Git?

Laki-laki pertama yang datang dalam hidup Pelita, mengejarnya tanpa henti seolah berusaha meluluhkan hatinya. Kemudian laki-laki pertama yang membuat Pelita mulai membenci kaum lelaki.

"Ada apa denganmu Git? Kenapa kamu berubah secepat ini? Kita bahkan sudah saling mengenal sejauh ini. Dan apa kabar dengan rencana kita ke jenjang pernikahan?"

Setelah semua yang terjadi mana mungkin Pelita berani memikirkan tentang pernikahan. Jika pacaran saja laki-laki bisa bosan dan menyakiti serta meninggalkan lalu apa kabar dengan pernikahan? Jika pacaran masih bisa putus lalu bagaimana dengan pernikahan? Pernikahan yang abadi harus cepat usai hanya karena bosan atau ajang tempat pelampiasan?

Git, kumohon. Jangan kembali lagi biarkan aku berjalan bersama puing-puing luka yang kualami. Biarkan aku berjalan tanpa harus memikirkan rumitnya sebuah Cinta bertahta, aku tidak munafik jika sampai saat ini masih membencimu tapi sisi lainnya kamu masih menggenggam hatiku, batin Pelita.

Pelita masuk kedalam kelasnya, memilih fokus belajar dan membuat ibu Hanum bangga karena perjuangannya tidak sia-sia dalam membesarkan Pelita.

"Kamu melamun?" Pelita mendongak, menemukan Ibunya dengan style hariannya.

"Ibu kenapa tidak istirahat?" tanyanya balik.

"Tadinya mau istirahat tapi lupa kalau ibu harus keluar dulu. Ada tetangga yang akan mengadakan lamaran rasanya tidak baik jika ibu tidak kesana, ibu kesana dulu bantu-bantu mereka." Pelita memilah kembali penampilan ibunya, rambutnya tidak diikat asal tetapi sudah diikat rapi.

"Iya bu." jawab Pelita seadanya.

Pelita menatap kepergian ibunya dengan tatapan nanar, tentunya Pelita peka. Dosen baru disekolah itu pasti ada sangkut pautnya dengan masa lalu Ibu Hanum. Haruskah besok ia berbincang dengan Pak Haiden? Untuk menanyakan apakah dia mengenal ibunya atau tidak. Rasanya itu keputusan yang pas.

Maafkan aku Pelita, aku mohon. Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

Pelita tertawa pelan melihat pesan yang baru saja Git kirimkan padanya, meski pun Git masih mentahtai hatinya bukan berarti Pelita masih mempercayainya. Segala kepercayaannya untuk Git sudah memudar tanpa bekas sama sekali yang ada hanyalah kebencian yang begitu besar.

"Aku bukan taman bermain Git," gumamnya.

Setelah semua adonan kue selesai serta mencetaknya. Pelita memilih berjalan kearah kamarnya setelah sebelumnya mencuci tangannya terlebih dahulu, ada baiknya Pelita istirahat karena untungnya tugasnya sudah Pelita kerjakan saat pulang kampus tadi jadi tidak perlu begadang malam ini.

Pelita, apa perasaanmu padaku sudah tidak ada? Bagaimana dengan 5 tahun yang kita lalui?

Pesan Git masuk lagi, tapi Pelita memilih mengabadikannya. Rasa pedulinya pada Git sudah mati tepat saat Git mengatakan padanya jika mantannya itu hanya menganggap Pelita sebagai pelampiasan bukan sebagai kekasih.

"5 tahun? Ada apa dengan kata itu Git? Bukankah kamu mengatakan kamu tidak bisa membohongi perasaanmu pada Veniza? Lalu kenapa mengemis maaf dariku lagi? Untuk apa memungut sampah yang sudah kamu buang?" lirihnya, selalu lemah.

Air matanya sudah datang lagi, perempuan memang selalu lemah jika dihadapkan dengan perasaannya sendiri. Tapi Pelita akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menanggapi Git lagi. Semuanya sudah selesai tinggal perasaannya saja yang harus dipadamkan secepat mungkin.

Pelita, aku tau kamu pasti sangat terluka dengan perkataanku kemarin. Tapi kita bisa memulainya dari awal lagi.

"Kemarin kamu sudah mengatakan perpisahan Git lalu kenapa kamu menawarkan kebersamaan lagi? Kamu mencintai Veniza bukan aku. Aku hanyalah tempat pelampiasanmu bukan tujuan pulangmu, tidak ada awal untuk hubungan yang telah di selesaikan Git." gumamnya, pesan Git ia hapus.

Pelita hanya ingin istirahat baik pikiran, tubuh dan hatinya. Pelita hanya ingin semuanya benar-benar selesai bukan ditarik ulur begini, kenapa Pelita harus mencintai laki-laki seperti dia? Kenapa harus Git yang tidak menghargai perempuan kenapa bukan laki-laki lain?

Aku akan terus datang sampai kamu menerimaku kembali.

Pelita tidak peduli, seberapa banyaknya pesan Git yang masuk.

"Pergilah Git, aku akan berusaha ikhlas melihatmu dengan perempuan lain. Jangan datang padaku karena sepertinya takdir tidak mengizinkan kita bersama. Pergilah Git, temukan perempuan lain yang bisa membuatmu berhenti mencari." setelah mengucapkan hal itu Pelita menangis tergugu, isakannya terdengar pilu.

Bibir memang mengatakan ikhlas tetapi hati menampik. Hati Pelita menginginkan Git disini tak peduli dengan apa yang telah Git lakukan padanya, Hatinya ingin Git hanya untuknya. Hanya untuk Pelita seorang.

"Apa yang harus kulakukan Git, aku kangen kamu. Sangat sangat sangat sangat rindu kamu." gumamnya lirih.

Pelita tertawa bersama air matanya yang terus melaju, Git hanya sebatas singgah bukan? Lalu kenapa Pelita harus sesakit ini? Rasanya sangat pedih. Sangat pedih.

***

See you next bab.