Chereads / Alunan Nada Pelita / Chapter 5 - 4 - Keluarga Ibu

Chapter 5 - 4 - Keluarga Ibu

"Pelita!" ia berbalik dan ternyata yang memanggilnya adalah Pak Haiden.

"Kamu duluan aja, Jez. Aku mau ketemu sama Pak Haiden dulu sepertinya dia benar-benar kenal Ibu." Jez mengerutkan keningnya seolah berpikir keras,

"Aku engga bakal jadi bahan gosip kok, kalau kalau misalnya ada apa-apa aku bakal telepon kamu.' seolah mengerti apa yang Jez pikirkan Pelita segera bersuara kembali

"Beneran ya?"

"Iya, duluan aja. Nanti abang kamu marah-marah karena kamu keluarnya lama." Jez menatap pak Haiden beberapa saat kemudian berjalan meninggalkan Pelita menuju gerbang kampus karena mungkin abangnya sudah menunggunya di depan sana.

"Selamat sore Pak, ada perlu apa Pak?" Haiden meneliti wajah Pelita tetapi tidak ada kemiripan dengan Hanum sama sekali.

"Pak?" Haiden menghela napas sejenak.

"Kita bicara di restoran depan disana ada mama saya juga, kalau memang Hanum yang kamu maksud adalah Hanum yang kami cari maka kami akan sangat bersyukur akan hal itu," Haiden berjalan lebih dulu disusul pelita dibelakangnya yang kini sibuk dengan pemikirannya.

Pelita membuka tasnya sepertinya ia harus menelepon ibunya karena takutnya ibunya akan khawatir,

"Assalamualaikum ibu, mungkin Pelita pulangnya agak lama karena ada keperluan lain." Haiden menoleh kearah Pelita ternyata mahasiswinya sedang menelpon dengan ibunya yang katanya bernama Hanum itu.

"Bukan sama laki-laki kok, Bu. Pelita mana lupa dengan janji Pelita dengan ibu. Iya, Pelita akan pulang sebelum maghrib dan tidak akan terlambat, wa'alaikumussalam." Ia kembali menyimpan ponselnya, sedikit mematung karena di gerbang kampusnya ada Git berdiri disana berbaur dengan mahasiswa lain yang juga sedang menunggu temannya.

"Pelita, aku benar-benar menyesal dengan yang terjadi kemarin. Su-"

"Git, kamu mengatakan hati tidak bisa dipaksa kan? Dan sekarang aku tidak punya keinginan sama sekali untuk kembali lagi denganmu. Dan kamu lihat perempuan disana?" Pelita mengarahkan telunjuknya kearah parkiran.

"Dia adalah perempuan yang kamu bela dan sangat kamu percayai bukan? Kamu menganggap aku memfitnahnya kan?" Pelita tertawa kecil, sedang Haiden memilih diam saja karena ini benar-benar bukan urusannya.

"Aku permisi, jangan sekali-kali datang kerumah lagi, Git. Kamu tau kan kalau ibu aku sangat benci sama laki-laki dan kamu adalah laki-laki yang telah membuat putrinya terluka." setelah mengucapkan itu Pelita berjalan kearah Pak Haiden yang kini sudah berada di depan restoran menunggu Pelita.

"Maaf Pak, ada kendala tadi." ujarnya dengan raut wajah bersalah yang dibalas Haiden dengan gumaman.

Keduanya masuk ke dalam restoran dan berjalan masuk ke arah ruangan VIP yang katanya sudah di pesan, Pelita tentu tidak khawatir lagian tadi dosennya ini sudah mengatakan pada Pelita kalau ada mamanya yang menunggu disini.

"Ayo masuk," Haiden mempersilahkan Pelita masuk terlebih dahulu setelahnya barulah ia.

Pelita agak kikuk karena ternyata didalam ruangan ini bukan hanya satu orang yang menunggunya tetapi ada sekitar 4 orang, 2 perempuan dan 2 laki-laki untungnya Pelita pandai mengendalikan ekspresinya jadi tidak terlalu memalukan.

"Saya kan ngajak, mama. Kenapa kalian pada ikut?" ternyata Haiden juga tidak tau kedatangan mereka.

"Mama yang panggil kedua adikmu, kalau istrimu mama yang ajak juga karena takutnya ada kesalahpahaman nanti." Haiden hanya mendengus pelan mendengar hal itu.

Pelita menatap paruh baya yang baru saja berbicara, masih cantik di usianya yang tak lagi muda. Garis-garis di wajahnya tidak terlalu kentara mungkin rajin ke salon atau pun perawatan skincare rutin.

"Kamu mengatakan kalau ibumu itu bernama Hanum kan?" Pelita sedikit tersentak karena ditanya secara tiba-tiba.

"Iya Bu, ibu aku bernama Hanum. Saat melihat Pak Haiden memperkenalkan diri kemarin wajahnya hampir ada kesamaan dengan ibuku dan saat sampai dirumah, aku bertanya padanya apakah mengenal Pak Haiden, ibu terlihat kaget dan malahan langsung mengajak aku pindah." semua yang ada di ruangan itu mematung,

Bu Fenita, mama dari Haiden pindah duduk ke sisi Pelita mengenggam tangannya erat,"dia sangat membenci laki-laki?" Pelita mengerutkan keningnya bingung, bagaimana bisa mama Haiden tau mengenai hal itu sedangkan baru bertemu?

"Sejak kecil ibu aku selalu melarangku dengan laki-laki karena menurutnya laki-laki sama saja dan tidak ada yang Setia. Kok ibu bisa tau?" Fenita memeluk Pelita erat dan beberapa detik kemudian Pelita dapat merasakan ibu ini menangis.

"Aku selalu bersikukuh kalau Hanum-ku masih hidup disuatu tempat dan laki-laki gila itu tidak mau percaya karena katanya mantan istrinya telah meninggal karena bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya ke dalam lautan." Pelita mematung dan Fenita merasakan itu, ia menguraikan pelukannya dan menatap sendu Pelita.

"Aku benar-benar yakin kamu bukan anak Hanum tetapi jika Hanum merawatmu dan menjagamu dengan baik maka aku akan menganggapmu sebagai cucuku juga, kalian bertemu dimana? Tunggu sebentar, aku perlihatkan foto Hanum-ku dulu." Pelita mengabaikan perkataan Mama Pak Haiden ia masih sibuk dengan pemikirannya.

Bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya kedalam lautan? Bukankah saat itu mereka dikejar oleh orang berbadan besar?

"Bu..." panggil Pelita lirih

Fenita menghentikan pencariannya di ponselnya dan menatap Pelita yang terlihat linglung,"ada apa?" tanyanya

"Kami berdua memang menjatuhkan diri kedalam lautan tetapi bukan bunuh diri tetapi untuk menghindari kejaran orang-orang itu, dan saat aku menemukan ibu ia memang dalam pelarian. Meskipun umurku saat itu masih kecil tetapi kejadian itu takkan kulupakan dengan jelas."

BRAAAKK.

Pelita terperanjat kaget saat Pak Haiden tiba-tiba saja memukul meja dengan keras dan tanpa mengatakan apapun dosennya itu berjalan keluar dengan emosi yang terlihat jelas.

Fenita menangis terisak, merasa tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia dengarkan. Tak lama kemudian kedua laki-laki yang berada di ruangan itu berjalan keluar dengan wajah datarnya.

Jujur, saat ini Pelita benar-benar bingung dan tidak paham dengan keadaan. Ada apa sebenarnya? Kenapa orang terlihat emosi dan tidak menerima keadaan.

"Ada apa ini, Bu? Apa yang saya katakan bukanlah bualan. Diwaktu yang sama aku dan keluargaku mengalami kecelakaan, hanya aku yang selamat. Kemudian bertemu dengan ibu yang sedang senang bersembunyi dari kejarannya." Fenita terus menangis dan Pelita bingung.

"Ayah Hanum menikahkannya dengan salah satu anak rekan bisnisnya guna untuk memperkuat jalinannya dan ditambah lagi bahwa laki-laki itu akan menjaga dan membahagiakan Hanum selayaknya kami menjaganya. Tetapi pernikahan baru jalan 6 bulan aku telah mendapatkan kabar Hanum bunuh diri." Fenita kembali menangis, Dan Pelita masih sibuk memikirkan apa yang terjadi pada ibu Hanum? Kenapa harus di kejar?

"Ini Hanum,coba kamu lihat." Pelita menoleh kedepan, ia lupa disini masih ada satu perempuan lagi dan mungkin istri Pak Haiden.

Pelita menerima ponselnya dan terhenyak melihat penampilan perempuan yang ada di foto itu, wajahnya memang ibu Hanum tetapi pakaiannya sangat berbeda. Di foto Ibu Hanum sangat cantik dengan dress cantik dan make up tipisnya, model rambutnya di gerai dan sangat cantik.

"Ini memang ibu, tapi penampilannya sangat berbeda disini." Kalista, istri Haiden itu tersenyum pelan.

"Sebenarnya dari dulu Hanum penampilan lebih kearah tomboy dan sangat suka kebebasan mungkin terbawa arus karena ketiga saudaranya laki-laki semua. Tapi misal ada pertemuan dia bakal make baju gini itupun paksaan yang lainnya, aku kenal Hanum terbilang singkat itupun dulu masih masa temanan sama Haiden. Kalau datang bertamu kesana ketemu sih tapi sebentar banget soalnya Hanum lebih suka main diluar tapi ya engga bebas soalnya ada pengawalan."

Kalista tertawa kecil mengingat masa dulu, saat Hanum hanya menyapanya saat bertamu kemudian berlalu dengan pakaian tomboy-nya disusul beberapa bodyguard di belakangnya.

"Pak Haiden itu?"

"Dia kembarannya Hanum." jawab Kalista seolah mengerti apa yang Pelita pertanyakan.