***
"Ada apa kamu kemari? Ingin menyakiti anakku lagi? Cih! Semua laki-laki itu sama saja. Saat melihat perempuan cantik hatinya langsung berpaling." Didalam kamar Pelita mengerutkan keningnya bingung, dengan siapa ibunya berbicara diluar sana? Apakah Git?
"Alah! Menyesal? Alasan itu sudah pasaran. Sana kamu! Jangan ganggu anakku lagi." Mendengar nada bicara ibunya yang semakin besar, Pelita segera meraih tas selempangnya serta beberapa tugas yang akan di kumpulkan hari ini.
Tepat beberapa langkah didepan sana, terlihat ibunya sedang menatap sinis Git. Kenapa lagi laki-laki itu kemari? Bukankah dia sendiri yang mengatakan bahwasanya semuanya sudah selesai?
"Kenapa kemari Git? Bukankah kemarin semuanya sudah selesai?" tanyanya setelah berdiri disamping Hanum.
"Jangan memberikan kesempatan kepada laki-laki yang sudah meninggalkanmu demi perempuan lain. Mau dia masih punya rasa ataukah modal penyesalan pokoknya jangan pedulikan, resiko dia sendiri sudah diberikan perempuan baik-baik sesuai keinginannya malah dicampakkan. Segera berangkat dan ingat perkataan Ibu." Titah Hanum dengan suara tegasnya.
"Iya Bu. Pelita berangkat dulu." Pelita segera mencium punggung tangan Hanum kemudian berjalan keluar, melangkah kearah jalan besar menunggu angkutan umum.
Pelita tau dibelakangnya masih ada Git yang terus menerus mengikutinya. Tapi Pelita harus berusaha tidak peduli karena benar kata ibunya semua laki-laki itu sama saja, datang saat memerlukan pelampiasan kemudian pergi saat berhasil menemukan pengganti yang baru. Haruskah Pelita menertawakan dirinya sendiri saat ini?
"Pelita, aku minta maaf. Kemarin, aku benar-benar dibutakan oleh perasaan lama yang datang kembali. Saat aku bersama Veniza kemarin rasanya berbeda hatiku malah merasa asing dan pikiranku terus saja mengarah padamu. Maafkan aku." Pelita menghentikan langkahnya, menatap Git yang saat ini masih mentahtai hatinya.
"Kamu pikir aku percaya Git? Setelah apa yang kamu katakan kemarin padaku lalu dengan mudahnya kamu kembali mengatakan semua ini? Git! Hati aku bukan taman bermain yang bisa kamu datangi sesuka hatimu. Aku sudah berjanji pada ibuku untuk tidak mempercayai laki-laki."
"Meskipun itu aku?"
"Memangnya kamu siapa?" balasnya sinis, katakan Pelita orang jahat karena ini pertama kalinya ia berkata seperti ini. Hanya saja hatinya terlalu lelah menghadapi keadaan.
"Pelita, kita sudah melewati semua ini selama 5 tahun. Apakah me-"
"Kenapa baru sekarang Git? Kemarin kamu kemana? Kemarin aku menangis didepan kamu membahas segala masa kita tapi kamu malah mengatakan perasaaan kamu maunya dia bukan aku, terus sekarang dengan mudahnya kamu mengatakan hatimu maunya aku bukan dia. Git! Kamu anggap apa kaum kami?" napas Pelita memburu, matanya menatap tajam Git yang terlihat seperti orang bodoh didepannya. Kenapa bisa ia mencintai laki-laki seperti ini?
"Pelita,aku min-"
"Maaf? Kenapa semua orang begitu mudah mengatakan kata itu. Apa kamu bisa memperbaiki kaca yang sudah pecah tanpa ada jejak sama sekali Git? Kamu pikir setelah pengakuanmu kemarin semuanya bisa kembali seperti semula?" setelah mengucapkan hal itu Pelita berjalan meninggalkan Git yang mematung. Tidak akan, seberapa pun besarnya sisa perasaannya pada Git, ia tidak akan pernah mau kembali lagi. Cukupkan semuanya.
"Kenapa bisa ada laki-laki sepertimu Git? Dengan gampangnya meninggalkan perempuan kemudian dengan gampangnya juga memintanya kembali." gumamnya lirih.
"Setelah membuangku dan memilih perempuan itu lalu dengan mudahnya kamu kembali dan mengatakan hanya aku yang kamu inginkan? Kenapa dengan mudahnya kamu berkata Git?" lanjutnya, Pelita mendongak beberapa detik kemudian kembali fokus berjalan. Ia tidak boleh jatuh hanya karena sebuah perasaan lemah ini. Ia harus bisa melangkah tanpa harus jatuh karena Cinta.
Pelita memilih berdiri disisi jalan Raya, melihat angkutan umum yang mendekat ia segera melambaikan tangannya. Setelah angkutan umum terhenti, Pelita membawa langkahnya masuk kedalam, duduk di pojok paling belakang. Mata hitam legamnya menatap kebelakang disana, Git masih berdiri mematung seolah tidak peduli apapun.
"Tidak Git, untuk apa kamu kembali dengan seseorang yang sudah kamu buang? Bukankah kamu tidak bisa membohongi perasaanmu padanya? Aku hanyalah pelampiasanmu bukan? Lalu untuk apa kamu memungut sampah yang sudah kamu buang kemarin Git?" batinnya. Disana, Git masih berdiri seolah sedang menyesali waktu kemarin.
Beberapa menit kemudian Pelita sudah masuk di area kampus, mungkin jam kuliahnya masih lama karena memang Pelita selalu datang lebih cepat dari yang seharusnya alasannya sederhana, Pelita hanya takut terlambat. Harusnya setahun lalu Pelita sudah lulus serta sarjana tapi karena kendala biaya ia harus sempat menunda kuliahnya.
"Pelita..." perempuan dengan rambut dikuncir kuda itu berbalik. Menemukan salah satu teman sekelasnya.
"Gue punya berita penting dan tentunya baru beberapa orang yang tau." ujar orang itu setelah berada didekat Pelita.
"Berita apa?" tanyanya sambil melanjutkan langkahnya tentunya temannya juga ikut bersamanya.
"Si Veniza, semalam pas gue di kafe. Gue liat dia lagi ngomong serius sama cowok tapi mereka berakhir kayak berantem gitu. Emang sih! Menurut pengamatan gue cowok itu pas sama Veniza dia engga konsen malah terkesan kayak risih gitu. Perempuan itu ya! Udah pacaran sama senior ehh malah gebet cowok lain mana cowok itu engga suka sama dia lagi."
Pelita menghentikan langkahnya, pikirannya langsung menyebutkan satu nama. Apakah laki-laki yang bersama Veniza itu adalah Git? Jadi semalam mereka bertemu ya? Setelah membuangnya di pinggir pantai Git langsung mengajak Veniza bertemu. Walaupun sampai sekarang Pelita belum tau pasti apakah perempuan itu benar-benar sesuai perkiraannya atau bukan.
"Ada apa Pelita? Kenapa lo kayak kaget gitu?"
"Engga papa Jez, mungkin aku cuman kaget aja kan aku dengar senior kita itu Cinta banget sama Veniza jadi ya diluar perkiraan aja." jawabnya sambil kembali melanjutkan langkahnya.
"Tapi ya Lit, cowok itu hampir mirip sama Git pacar kamu itu. Semalam gue engga terlalu jelas lihat cowoknya. Hubungan kalian baik-baik aja kan?"
Pelita berhenti melangkah lagi, ia menoleh kesamping kemudian memperlihatkan senyum manisnya. "Kamu engga perlu terlalu khawatir Jez, takdir takkan salah tempat." ujarnya dengan lengkung senyum menawan.
"Benar kata ibu lo, jangan mempercayai kaum laki-laki karena mereka itu takkan pernah cukup dengan satu perempuan karena mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri. Setelah melihat perempuan bening pasti yang baik malah dilupain, untungnya gue denger perkataan ibu lo untuk engga pacaran jadinya gue engga perlu patah hati."
Pelita hanya tertawa kecil mendengar perkataan Jez, temannya ini memang pernah datang ke rumahnya dan berbincang panjang lebar tentang banyak hal. Termasuk menceritakan serta memberikan nasihat tentang jahatnya kaum lelaki.
"Kenapa ibu begitu membenci kaum laki-laki?"
"Apa ada hal dari mereka yang bisa membuat ibu menyukainya?" jawab Hanum sarkas.
"Tidak semua laki-laki seperti yang ibu pikirkan, banyak laki-laki baik diluar sana dan mungkin ibu belum menemukannya." ujarnya pelan.
"Ibu tau, tapi sayangnya sudah beberapa laki-laki yang ibu temui semuanya sama saja. Mereka hanya datang menebarkan perasaan, memberikan kenyamanan, menuai masa-masa tentang Cinta, serta memberikan janji palsu. Selama ini yang ibu temui bukan sisi baik mereka jadi baiknya kamu jangan dekat dengan mereka." ujarnya tegas, dapat Pelita lihat dengan jelas kebencian yang begitu besar dalam mata ibunya.
"Tapi ib-"
"Berhenti bahas kaum itu, membuat ibu muak."
Sejak saat itu Pelita jarang membahas kaum lelaki dan sampai saat ini Pelita belum tau kejadian apa yang menimpa Hanum sehingga bisa mendapatkan kebencian yang begitu besar.
"Pelita? Lo ngelamun?" Pelita tersentak, ia hanya mengagumkan maaf kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas.
"Mending lo sama Kak Leo aja." Pelita hanya tertawa kecil mendengar saran temannya itu.
"Gue serius. Kak Leo pasti Setia sama lo." ia tidak menjawab ataupun merespon apapun, memilih bungkam.
"Nanti malam ultah kak Leo, gue yakin nanti dia bakal nyamperin lo terus ngundang ke pesta dia dan mungkin menawarkan lo untuk jadi pasangan dia." keduanya berhenti melangkah, beberapa langkah didepan sana terlihat orang yang baru saja Jez bicarakan, menatap keduanya dengan senyumnya bukan keduanya tapi hanya menatap Pelita saja.
"Hai Pelita." Sapanya setelah tepat berada didepan Pelita.
"Hai juga kak." balasnya disertai senyuman.
"Nanti malam aku ngadain pesta, kamu mau datang kan? Jadi pasangan aku?" ajaknya dengan suara pelan.
"Gebet terus pantang mundur." Teriak teman Leo dari ujung lorong.
"Diam kalian." Balas Leo dengan teriakan juga, "gimana? Mau kan?" lanjutnya, tetapi tentunya dengan suara pelan tidak berteriak.
Pelita terdiam, apa ini waktunya ia mulai membuka hati dan melupakan segala hal tentang Git? Tapi bukankah ibunya sudah memberikan peringatan untuknya yaitu tidak mengenal dan dekat dengan kaum lelaki? Jika Pelita mengiyakan ajakan Leo maka itu sama ia memberikan Leo kesempatan untuk mendekat bukan?
***
See you next bab.