Haruskah kuakui semuanya sekarang? Lalu apa yang harus kukatakan pada Maya. Bahkan aku tidak tahu jika foto pre-wedding itu masih terpajang di laptop Dani. Aku sama sekali tak punya hak melarang Dani memajang foto itu. Tidak mungkin aku mengaku sebagai model. Itu konyol. Aduh ..., apa alasan yang harus kubuat.
'Ayo Kania, berpikir ... berpikir!' seruku pada diri sendiri. Gawat, otakku masih belum siap diajak berpikir cepat.
Aku membuka mata, melihat Dani, Dion, dan Beck datang. Sambil menarik napas panjang, jariku menunjuk ke arah mereka. Kedatangan mereka menyelamatkanku dari pertanyaan, setidaknya untuk sementara.
Dion, Beck, dan Maya kembali ke kantor, sementara aku harus menunggu mobil derek untuk membawa mobilku ke bengkel. Dani lebih memilih menemaniku daripada kembali ke kantor. Pilihan Dani makin menjelaskan semuanya. Jadi korban komentar teman kantor lagi deh.
Pesan dari Beck.
[Kamu pakai dukun mana sih? Manjur banget peletnya. Kemarin Steve, sekarang Dani.]
Kubalas dengan segera.
[Jangan ngaco, sana kerja!]
Berurusan dengan Beck memang repot.
[Sebenernya kamu itu Nyonya Bregmann atau Nyonya Wibisono sih?]
Beck kembali mengirim pesan.
[Ih Bambang, kamu nggak ada kerjaan apa? Ribet banget ngurusin hidup orang.]
Sejenak gawaiku tenang, tak ada getaran. Ternyata menunggu mobil derek itu membosankan. Sementara hujan bertambah deras.
Aku dan Dani sama-sama sibuk dengan gawai masing-masing.
[Kamu kapan balik ke kantor, Markonah? Jangan keasyikan mojok sama bos baru. Ketahuan Steve tahu rasa kamu.] Pesan dari Dion.
Segera kubalas pesan dari Dion.
[Mobil derek belum dateng, Ferguso!]
Dasar Dion, suka banget ganti nama orang.
Oh iya, aku belum memberi kabar Om bule. Kukirim foto mobilku terkini beserta sebuah pesan.
[Aku baik-baik aja, lagi nunggu mobil derek, ditemenin Dani.]
Jari telunjukku menekan tombol kirim.
Tak sampai 5 menit, gawaiku bergetar. Permintaan video call dari Steve. Kugeser naik tombol pada monitor, wajah Steve muncul.
"Where are you?" tanya Steve dengan nada panik. Seneng deh lihat Om bule muncul sambil khawatir tentang keadaanku.
"Share loc ya Hon," balasku.
"Wait for me. I'll be there."
Sambungan terputus kemudian. Asyik mau dijemput Om bule.
Dani memandangku dalam diam, lalu pandangannya kembali ke layar gawai. Aku sibuk menjawab beberapa email dari gawai.
"Kania ...," Dani memanggil namaku setelah diam beberapa saat.
Aku menoleh ke arahnya.
"Sampai kapan aku harus berbohong pada Steve?" tanya Dani.
Dani benar, cepat atau lambat, Steve pasti akan tahu. Lebih baik aku mengaku dari sekarang.
"Tenang Dan, abis ini aku mau cerita semua ke Steve," jawabku.
"Sudah siap dengan resikonya? Gimana nanti kalau Steve mutusin kamu?" tanya Dani.
"Do i have another choice?" Aku balik bertanya pada Dani.
"Kalau sampai Steve mutusin kamu, apa kamu mau ngasih aku kesempatan?" tanya Dani.
Aku menatap mata Dani dengan sedih.
Saat itu mobil derek datang. Sejenak kita lupa, sibuk mengurus mobil hingga selesai. Steve belum juga muncul. Bajuku basah gara-gara kehujanan mengurus mobil. Kini aku harus menahan dingin di teras ruko.
"Love, aku masih cinta sama kamu," bisik Dani di telinga yang membuatku serba salah. Tenggorokanku tercekat.
"Bolehkah aku sedekat ini, sebentar saja? Aku kangen, Love," pinta Dani. Wangi woody musk, parfum Dani seperti membawaku ke Dortmund.
"Tiap pagi, aku masih sering lupa menyiapkan 2 porsi sarapan untuk kita, padahal kamu sudah pergi meninggalkan aku."
Dadaku sesak, mendengar kata Dani. Ia memang hobi memasak. Bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk kita berdua, itu kebiasaan Dani di Dortmund.
"Kenapa kamu nggak benci aku aja, Dani? Biar semua lebih mudah buatku." Aku membalikkan badan. Kini aku dan Dani berhadapan dalam jarak dekat.
Dani menggeleng dan tersenyum getir. "Sayangnya aku nggak bisa membencimu," kata Dani sambil menggenggam tanganku lalu menciumnya.
"Aku menunggumu, Kania. Pengantinku ...."
Hih! Rasanya aku ingin menangis, memohon di kakinya Dani agar menghentikan kebodohannya. Aku justru berharap Dani memukul, menampar, memaki, mencekik diriku asal jangan mencintaiku.
Sebuah pajero silver datang mendekat. Steve turun, di tangannya terdapat 2 buah payung. Ia memberikan satu pada Dani dan mereka pun bicara dalam bahasa Jerman yang membuatku pusing. Steve mengantar kami kembali ke kantor. Sepanjang perjalanan Steve dan Dani membicarakan sistem. Sesekali Dani menunjukkan tampilan monitor tablet pada Steve. Di tengah jalan, Dani sakit perut. Steve menghentikan mobilnya tak jauh dari SPBU.
Sebelum turun Dani memberikan tabletnya pada Steve.
"Please check," kata Dani.
Permintaan Dani membuat Steve mematikan mesin mobil. Mata Steve menekuni tiap tampilan di layar monitor. Mulai konsentrasi dan seolah membuat pernyataan 'jangan diganggu.'
Di tengah proses, tablet Dani meminta pengajuan password. Mungkin karena Steve terlalu lama berpikir dan tidak menyentuh layar.
"Argh ...!" Steve mengerang sebal.
"Give it to me, Steve. You need the password, don't you."
Steve menoleh ke arahku dan memberikan tablet Dani. Tanganku mengetik dengan lancar, sebentar kemudian tablet dapat digunakan.
"How do you know the password, Kania?" tanya Steve.
Aku terdiam, sejenak ragu. Namun aku tak boleh mundur, ini saatnya Steve harus tahu siapa aku.
"Aku tahu semua yang Dani miliki. Bahkan yang melekat di tubuh Dani sekalipun."
"Excuse me ...." Steve memastikan tak salah dengar.
"Ya Steve, aku perempuan yang dicari Dani. I am Dani's ex in Dortmund," kataku.
Jariku membuka email milik Dani, disana tersimpan salinan dokumen pengajuan nikah kami di Jerman hingga tanggal yang sudah ditetapkan dari catatan sipil Dortmund.
Steve melihat tampilan dokumen. Beberapa kali Steve mengacak rambutnya sendiri. Sudah dua kali tangan Steve memukul stir mobil. Kami berdua terdiam, hingga Dani masuk ke mobil.
Mobil kembali berjalan.
"Why are you lying to me, Dani?" tanya Steve dengan suara bergetar.
Dani tak langsung menjawab, dia melirik ke arahku. Aku memandang Dani sejenak, lalu menutup mata.
"Talk to me, Dani!" Steve mulai berteriak marah.
Awalnya Dani membalas Steve dengan datar, tapi karena Steve bicara terlalu pedas, kini mereka saling berteriak.
Cara menyetir Steve mulai tak terkendali, aku pun ikut berteriak, "Let me drive! Terserah jika kalian mau saling bunuh di kursi belakang. Aku belum mau mati, Tuan-tuan!"
Steve mulai menepi. Di sebelah kiri ada lapangan. Tiba-tiba Steve mencengkeram kerah baju Dani dan berkata dengan napas tertahan, "Turun!"
Hmm ..., aku mencium aroma pergulatan di sini.
Dani menanggapi tantangan Steve. Ia mulai melepas arloji, sepatu, meninggalkan dompet di dalam tas. Steve melakukan hal yang sama.
Hujan masih tetap mengguyur. Mereka berdua tak peduli. Steve dan Dani turun, aku pun ikut turun. Steve menitipkan kunci mobil padaku dan berkata, "Wait here, Kania."
Mereka berdua menuju ke lapangan yang becek. Wah, baju Dani yang super mahal akan ternoda lumpur sebentar lagi. Aku mengawasi mereka di pinggir lapangan. Sepertinya aku tahu, apa yang harus kulakukan agar mereka berdua menyadari kekonyolannya.