Chereads / Cinta Om Bule / Chapter 8 - Steve yang Membuka Diri

Chapter 8 - Steve yang Membuka Diri

Kita bertiga tertawa gembira meninggalkan ruangan. Ah senangnya sudah selesai pelatihan, rasanya lega. Nanti malam Beck, Dion, dan Aku sudah punya rencana mau nonton. Kebetulan bioskop deket. 

Gawai Beck berbunyi, lalu Dion, terakhir gawaiku, dengan pesan yang sama.

[Nanti malem kita nongkrong yuk, sama bos baru.]

Kami bertiga berpandangan. Akhirnya Beck buka suara, "Ah Steve, masak iya malem-malem kita disuruh bahas sistem."

Dion mencebik, "Noh, suruh Kania bilang ke pacarnya. Ngapain juga kita deketan sama si Dani. Mana kita tahu, dia orangnya asik apa nggak."

Tak lama kemudian, sebuah undangan grup perpesanan muncul. Sudah ada Steve dan Dani. Untuk sementara sepi, tak ada pesan. Beck dan Dion hanya berani berkeluh kesah di belakang. Mereka tak berani menulis di grup.

Sementara aku langsung kirim pesan ke Steve.

[Steve, kalau nyuruh orang kira-kira dong. Kita seharian pusing, masak iya ntar malem masih disuruh bahas sistem?]

Pesan dari Dani muncul di grup.

[Nanti malem, nggak ada bos, nggak ada anak buah. Kita nyantai bareng. Nggak ada bahas kerjaan. Boleh bawa pacar, gebetan, selingkuhan, terserah! Asal tanggung sendiri akibatnya.]

Kita bertiga tertawa baca pesan Dani.

"Ah elah, kayaknya asik nih Dani," kata Beck.

Pesan dari Steve muncul di grup.

[Tuh, nggak akan ditodong sistem. Take it easy!]

Aku hanya menyimak perpesanan mereka. Hingga sebuah pesan dari Dani masuk.

[Jangan panggil saya, Pak. Panggil Dani aja, di luar jam kantor. Jangan panggil Honey, takut khilaf.]

Beck dan Dion memasang emoticon tertawa. Di layar monitorku tertulis Beck sedang menulis pesan.

[Emangnya Steve ama Kania?]

Gila nih si Beck. Dani langsung merespon.

[Eh, beneran ada yang pacaran? Udah mau nikah gitu atau gimana sih?]

Steve respon.

[Want to get married as soon as possibble.]

Duh, Steve! Dani tak lagi mengirim pesan. Aku, Beck, dan Dion kembali ke kamar masing-masing. Mandi biar segar. Seharian di depan layar monitor membuat otakku panas. Butuh pendingin.

Entah berapa lama gawaiku berbunyi, aku tak mengerti. Tak terdengar jelas, terganggu gemericik air shower. Aku hanya memakai kimono handuk, lalu mengangkat gawai. 

"Honey, please open the door."

Oh Steve sudah ada di depan kamar. Aku segera membuka pintu.

Wajah Steve memerah melihat apa yang kupakai.

"I am tired, need to sleep, Honey. Wake me up at 6," kata Steve. 

Lalu Ia membaringkan tubuhnya di kasur hotel. Aku melanjutkan mandi yang tertunda.

Semoga Steve bisa tidur. Setelah peristiwa trauma yang dialami, Steve susah tidur. Kalaupun bisa tidur, kadang Dia harus terbangun dengan mimpi buruk.

Ketika aku keluar dari kamar mandi, suara dengkuran Steve terdengar. Wah, dia bisa tidur. Mungkin lelah seharian. Aku segera berpakaian. 

Celana jeans,  blouse santai, dan sneakers sepertinya pilihan yang tepat. Rambut diikat naik ke belakang untuk memamerkan leherku yang jenjang.

Sudah hampir jam 6, saatnya membangunkan Steve. 

"Steve ... Steve ...." Tanganku mengguncang tubuhnya. 

Tubuh Steve bergerak, matanya terbuka, duduk sebentar di atas kasur hingga kesadarannya kembali. Lalu mandi.

Steve muncul di depanku hanya dengan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya. Aku melihat bekas luka di perut dan punggung Steve.

Merasa diperhatikan, Steve mendekat. Jantungku memompa darah lebih cepat. Tepat berdiri di hadapanku, tubuh Steve dengan selembar handuk. Ia meraih tanganku, menuntun untuk meraba bekas luka di perutnya.

"This is what i got when I was eleven," kata Steve.

Aku masih mengingat perkataan Ibu, bagaimana Steve ditemukan dalam kondisi mengenaskan akibat pelecehan seksual yang dilakukan beberapa temannya. Steve akhirnya melawan, setelah beberapa tahun diam dalam ketakutan.

"I was getting beaten up and being forced to do thing that i didn't want to." Sorot mata Steve yang rapuh.

Kini Steve membalikkan badan menunjukkan bekas luka di punggung. 

"I had wounds when I was fifteen. I was protecting my Mom."

Ia merelakan punggungnya menjadi sasaran pukulan Ayahnya yang mabuk daripada harus melihat Ibunya disakiti.

"I was in pain, traumatized, felt worthless, anxienty, anger, and fear. Woke up in sweat from a nightmare." Suara Steve mulai bergetar seperti meminta pertolongan atas apa yang diderita.

"Here ... I heard many voices in my head." Steve menunjuk pelipis kepalanya.

"Am i better off quitter?" Steve terduduk di tepi kasur. Kedua tangan menutupi wajahnya. Lama terdiam, matanya tertutup, seolah lelah melihat masa lalu.

"You have me now, Steve. We can share anything, anytime. I promise you this, Honey." Aku berbisik di telinga Steve, lalu memeluknya.

Steve mengangguk dan berkata dengan suara bergetar, "Thanks."

Untuk pertama kali, aku berani mencium bibirnya yang tipis bersama iringan hujan di luar. 

"You just kissed me, Kania." Steve mulai bisa tersenyum.

Steve berdiri, memilih pakaian. Tanpa beban Ia membuka lilitan handuk di depan mataku. Lalu berpakaian.

Ah dasar Om bule! Bagi Steve ganti baju di depan pacar itu biasa. Padahal aku panas dingin hampir mimisan.

Gawaiku bergetar, Dion mengirim pesan.

'Woi, jadi nggak siy? Lama banget deh. Kita lumutan ini nungguin kalian.'

'Bentar, bawel!' balasku.

'Laper woi!' protes Beck.

Steve tertawa membaca pesan tatkala kusodorkan gawaiku.

***

Kami bersenang-senang, makan malam, dan bermain sebuah game. Seperti truth or dare, menggunakan sebuah botol yang berputar. Bila posisi mulut botol mengarah pada seseorang, maka Ia harus menjawab pertanyaan dari seluruh peserta dengan jujur. Jika tak mau menjawab, ya berarti harus mau dikerjain.

Kami duduk melingkar. Aku duduk di antara Steve dan Dani. Tema yang terpilih adalah mantan. Makin malam makin seru, apalagi ketika mulut botol itu mengarah pada Dani. Aku memasang wajah sedatar mungkin menutupi gejolak hatiku, seolah tak terjadi apa-apa mendengar pengakuan seorang Dani Wibisono.