Malam itu, kami berlima jadi berkumpul. Acara makan malam baru saja usai. Menu yang dipilih malam ini hidangan laut. Sensor pedas di lidahku memang manja. Sedikit saja terkena pedas, aku harus membatasi makanan yang masuk, jika tidak ingin berakhir dengan sakit perut.
Hujan sudah reda, namun jejaknya masih tertinggal pada bumi. Tanah yang basah, pasir, bahkan dedaunan. Aroma tanah basah yang menggelitik hidung membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Sehabis hujan, udara menjadi sedikit lebih dingin. Kami mencari gazebo yang kosong untuk tempat berkumpul. Kebetulan, di ujung taman ada sebuah gazebo kosong dan masih bersih. Kami berlima duduk melingkar di sana.
Sesekali aku mendapati Dani mencuri pandang dan itu membuat grafik jantungku naik turun. Bukan masalah masih cinta. Ceritaku dan Steve baru saja dimulai, lalu tiba-tiba entah dari mana muncullah Dani.
Sudahlah, aku malas berpikir lebih jauh. Kisahku dan Dani sudah berakhir di Dortmund ketika aku memilih meninggalkannya. Apa pun yang terjadi nanti, ya mungkin itu sudah jalan hidupku.
Aku terlalu sibuk bermain dengan pikiranku sendiri, saat kepalaku menoleh ke kiri, aku melihat Dani. Di sebelah kananku, Steve.
"Sudah tahu kan peraturannya? Nggak boleh jaim. Harus jujur. Kalau nggak mau cerita, berarti harus terima tantangan dari kita," kata Beck.
"Satu orang, satu pertanyaan. Keluar dari sini, kita nggak boleh buka rahasia temen," sahut Dion.
"Ok," kata Steve.
Dani hanya mengangguk. Tanganku bersiap memutar botol. Itu tugasku. Aku tidak diijinkan ikut bermain. Alasannya sepele, aku satu-satunya perempuan, mereka takut melempar pertanyaan yang tidak sopan. Namun aku tetap boleh memberi pertanyaan. Asyiknya jadi perempuan.
"Sebentar ...," kata Dani tiba-tiba.
"Apalagi?" tanya Beck.
"Kita boleh nyebut nama orangnya nggak?" tanya Dani.
Deg ...! Jantungku berdesir.
"Whatever! Kalau dirasa aman boleh disebut, kalau terlalu sakit hati nggak usah." kata Beck.
Sesuai aba-aba dari Beck, tanganku memutar botol. Rasanya menyenangkan bisa lihat wajah mereka saat botol diputar.
Putaran pertama mulut botol mengarah pada Beck.
"Truth or dare?" tanya Steve.
"Truth," jawab Beck.
"Ada berapa mantan?" tanyaku.
"Sekitar tujuh yang beneran pacaran," jawab Beck.
"Yang udah dibawa ke hotel, ke rumah, atau ke kasur?" tanya Dion sambil tertawa puas.
Pantas saja aku tak boleh ikut permainan. Pertanyaannya berbahaya.
"Semua pernah," jawab Beck tenang.
"Lah berarti kamu pernah bawa Maya dong! Kamu ngerti kan, aku udah lama suka sama Maya?" Dion mulai meninggi suaranya. Pasti dia emosi. Dion sudah lama suka Maya, tapi tak pernah diberi kesempatan. Dion kebakaran jenggot mendengar jawaban Beck. Dulu, Beck dan Maya pernah dekat, seberapa dekat, aku tak tahu.
"Hi ..., chillax Man!" Steve mulai memegang bahu Dion.
Sementara Dani meminta Beck bertukar tempat duduk dengannya. Wah, permainan baru aja dimulai, sudah ada yang mau ribut.
"Aku deket sama Maya, tapi nggak jadian. Tenang aja. Pacaran satu kantor itu nggak enak, Ion! Kalau putus mood kerja bisa rusak," kata Beck.
Giliran Steve dan Dani bertanya, tapi mereka lebih memilih diam melihat dua orang ini nyaris ribut.
Putaran kedua. Mulut botol itu berputar dan berputar, lalu berhenti di depan Dani.
"Truth or dare?" tanyaku dengan tenggorokan tercekat.
"Truth," balas Dani.
"Ceritakan tentang mantan terindah," pinta Beck
Dani mengambil napas panjang sebelum membuka mulutnya.
"Kurang lebih delapan tahun yang lalu di Dortmund, aku pernah tinggal satu atap dengan seorang wanita."
Hatiku mulai perih, mendengar kalimat pembuka dari Dani.
"Dari semua perempuan yang bersamaku, hanya dia yang membuatku gila dan melukaiku sedalam ini."
Oh Tuhan, sejahat itukah aku? Lalu mulai terbayang, bagaimana aku meninggalkan Dani di pagi itu.
"Hampir tiga tahun kebersamaan kami, tapi di suatu pagi, dia meninggalkanku di ranjang yang dingin."
Mata Dani mulai terlihat kosong. Ia menatapku sesaat. Ia mengangkat tangan kirinya, menunjukkan cincin di jarinya.
"Cincin ini hanya ditinggalkan begitu saja di laci. Dua belas hari menuju pernikahan kami, Ia kabur." Suara Dani mulai terdengar parau.
"Ia masih muda, cerdas, punya impian, dan belum ingin terikat. Umurnya belum genap 23 tahun. Kami memang selalu bertengkar jika membahas pernikahan." Dani tersenyum getir, matanya mulai berair.
Aku berusaha mengambil napas. Dadaku sesak. Susah payah aku menutupi perasaanku dengan wajah datar.
"Udah berusaha dikejar?" tanya Dion.
Dani mengangguk. "Kuberi dia waktu sebanyak yang dia mau. Setiap hari, sepulang kerja, aku selalu berharap, pengantinku pulang. Dia sedang memasak makan malam untukku. Kita bisa memulai semua dari awal. Aku ke sini juga karena Dia tak kunjung datang. Mungkin aku harus datang menjemputnya." Dani mulai menangis.
Dengan susah payah, aku melemparkan pertanyaan.
"Kenapa nggak move on, Dani? Dia nggak pantas buatmu."
Dani mengangkat wajahnya, menatapku, lalu tertawa getir.
"Itu bukan murni kesalahannya, Kania. Kita nggak bisa menuduh seseorang nggak pantas hanya karena dia meninggalkan pasangannya. Aku mencintainya, walau terlihat bodoh sekalipun." Dani menghapus lelehan air mata dengan punggung tangan.
Saat itu kulihat wajah Beck, Dion, dan Steve kusut. Mereka terlarut dengan cerita Dani.
"Apa kamu sudah pernah bertemu dengannya sekarang?" tanya Steve.
Dani mengangguk.
"Bahkan dia tahu semuanya. Dia sedang bersama orang lain saat ini. They love each other, Steve."
Mendengar jawaban Dani, Steve memejamkan mata, lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
"Apa masih mau dilanjutkan permainan ini?" Aku menawarkan pada yang lain. Sesaat hening. Aku sendiri sudah tak berminat.
"Go on," kata Steve kemudian.
Kembali kuputar botolnya dan kali ini menunjuk Steve.
"Truth or dare?" Dion bertanya.
"Truth," jawab Steve.
"Mantan yang membuat kacau?" tanya Dion.
"Talinda, ex-girlfriend," sahut Steve.
"Why?" tanya Dani.
"She's cheated on me, made my world messy."
"Who is Amanda's mother?" tanyaku bingung.
"Soraya. She has passed away in single-car crash."
Ketika kami melihat Beck, dia hanya berteriak, "pass!"
"Giliranmu, Dion," kataku.
"Bubar yuk, takut ketinggalan pesawat besok," sahut Dion.
"Alesan!" teriak Beck.
"Aku ngantuk, Bambang!" Dion sewot.
"Halah, bilang aja takut ketahuan pernah naksir Ka ...." Suara Beck terputus. Dion buru-buru menutup mulut Beck dengan tangannya.
Steve menengok ke arah Dion. Aku pun melihat Dion yang mulai salah tingkah.
"Yakin mau saingan sama Steve?" Goda Dani sambil tertawa.
"Udah malem, Guys. Nggak pada capek apa? Besok kerja loh," kata Dion.
Sadar besok harus kembali ke kehidupan nyata, semua langsung menyetujui usul Dion.
"Guys ..., kita check out hotel malem ini ya.Mau tidur di rumah Ibu," kata Steve.
"Berarti besok kita ke bandara sendiri-sendiri ya," kata Beck.
Aku dan Steve mengangguk.
"Thanks buat nongkrongnya," kata Dion.
"Makasih buat semuanya," kata Dani.
Mereka saling berpelukan satu sama lain sebelum meninggalkan aku dan Steve di sini.
Setelah mereka menjauh, Steve membuka gawainya. Setelah beberapa lama, ia menyodorkan gawainya padaku dan berkata, "Would you please explain this, Ms. Kania Wisnu Brata?"
Itu dokumenku yang menyatakan bahwa aku salah satu lulusan sebuah kampus di Dortmund, kurang lebih empat tahun yang lalu. Aku hanya mampu memegang gawai milik Steve sambil menunduk. Karena gugup, aku mulai menggigit bibir. Apa jadinya jika kukatakan bahwa wanita yang dicari Dani adalah aku? Air mataku perlahan turun. Steve masih terus berdiri menatapku.
"Have something to say? I am listening." Suara Steve mulai bergetar. Steve tetap berdiri beberapa meter di depanku. Bahkan Ia tak menyentuhku.
"Guys ..., jam tanganku ketinggalan di sini nggak ya?" Suara Dani memecah keheningan di antara Aku dan Steve.
Steve membantu Dani mencari jam tangannya yang ternyata tertinggal di dekat tempat dudukku.
Tanganku mulai lemas hingga tanpa sengaja gawai Steve terjatuh. Dani memungutnya, lalu membaca.
Sesaat Dani melihatku yang baru saja menangis.
"Kamu lulusan dari Dortmund juga ya? Wah, baru tahu."
Aku berteriak dalam hati, 'Astaga Dani, apa yang kamu lakukan?'
Dani menghampiri Steve, lalu menepuk pundak Steve.
"Steve, she is not my cup of tea. Badannya kurang tinggi." Setelah itu Dani berlalu meninggalkanku dan Steve.
Saat itulah Steve langsung memeluk dan menghujaniku dengan ciuman. Mungkin dia merasa lega mendengar perkataan Dani.
Sementara aku masih mematung tanpa membalas ciuman Steve. Dalam hatiku bertanya, 'Kenapa kau melindungiku, Dani?'